Sepak Bola Pulang ke Rumahnya
Dalam satu dekade terakhir, suara-suara miring menghantui Liga Primer Inggris. Mereka dilabeli ”jago kandang” karena mengklaim diri sebagai liga terbaik, tetapi tidak mampu menaklukkan dan mendominasi kompetisi Eropa.
Stigma itu dimentalkan pada musim ini. Dini hari WIB tadi, Jumat (10/5/2019), Arsenal dan Chelsea memastikan dirinya sebagai finalis Liga Europa. Arsenal menaklukkan Valencia dengan agregat 7-3, sedangkan Chelsea harus bersusah payah melewati drama adu penalti atas kuda hitam dari Jerman, Eintracht Frankfurt.
Hasil ini melengkapi kejayaan tim Inggris lain dua hari sebelumnya. Lewat drama epik membalikkan keadaan, Liverpool dan Tottenham Hotspur terlebih dulu menjejak partai final Liga Champions.
Dengan demikian, empat wakil Inggris akan tampil di partai puncak Liga Champions dan Liga Europa. Liverpool dan Tottenham akan berhadapan di Stadion Wanda Metropolitano, Madrid, sedangkan Arsenal dan Chelsea akan menuntaskan duel Derbi London di Stadion Olimpiade Baku, Azerbaijan.
Tim-tim ”Tiga Singa” menorehkan tinta emas di sejarah sepak bola Eropa. Kisah sempurna ini pertama kali terjadi sepanjang sejarah, sejak dua kompetisi beda kasta di Eropa ini berjalan seiring pada 1971. Wakil-wakil Inggris mengubah pertarungan ”Benua Biru” layaknya piala lokal.
Jargon ”football is coming home” atau sepak bola pulang ke rumahnya pun mulai beterbangan di media sosial. Kata-kata itu merupakan harapan publik Inggris kepada tim nasional yang urung menghadirkan prestasi, padahal sepak bola pertama kali ditemukan di ”Negeri Sang Ratu” tersebut.
Jargon yang berasal dari lagu ciptaan grup band Lighning Seeds pada 1996 untuk menyambut Piala Eropa itu kembali relevan. Meski timnas belum mampu berprestasi, wakil-wakil ”Tiga Singa” kembali menunjukkan taringnya yang terbebani dengan label liga terbaik di dunia dan negara penemu sepak bola.
Memberi napas
Prestasi serdadu Liga Primer pada musim ini cukup mengejutkan. Sebab, dalam satu dekade terakhir, mereka lebih banyak menjadi bahan bercandaan. Dari total 20 trofi dalam satu dekade, tim-tim Inggris hanya membawa pulang tiga di antaranya. Jumlah itu sama sekali tidak mencerminkan diri sebagai liga terbaik di Eropa.
Puncak kejayaan Inggris terakhir kali adalah saat menempatkan dua wakilnya di Final Liga Champions 2007, Manchester United dan Chelsea. Setelah MU merajai Eropa lewat drama terpelesetnya bek Chelsea, John Terry, dalam adu penalti, dominasi Liga Primer seperti menghilang.
Media-media Eropa, salah satunya The Mirror, menganalisis, kurangnya prestasi itu karena intensitas jadwal liga yang tinggi. Pemain tidak cukup berisitirahat karena menghadapi empat kompetisi dan tidak adanya jeda pada musim dingin. Mereka kerap bermain 4 kali dalam 10 hari.
Bintang Madrid, Gareth Bale, yang pernah bermain di Spurs, merasakan ”kekejaman” Liga Primer. ”Dalam setiap laga di Liga Primer, Anda harus 100 persen dalam 90 menit dengan intensitas tinggi atau akan kalah. Terutama saat jeda pada musim dingin, Anda tidak mendapatkan istirahat sama sekali, itu sangat melelahkan,” ucap peraih tiga gelar Liga Champions bersama Madrid itu.
Musim ini, baik Liverpool, Spurs, Arsenal, maupun Chelsea, belajar dari itu. Mereka semua hanya fokus pada dua kompetisi, liga domestik dan turnamen Eropa. Mereka sudah terbebas Piala FA sejak akhir Januari 2019 karena kalah di babak awal.
Sebagai pembanding, dua tim Liga Primer, MU dan Manchester City, masih aktif dalam Piala FA, Liga Primer, dan Liga Champions, hingga Maret, saat jadwal saling bertabrakan. Adapun duo Manchester ini gugur di perempat final Liga Champions.
Berkah kompetitif
Ketatnya persaingan Liga Primer pada musim ini merupakan salah satu faktor terkuat yang menghasilkan dominasi di Eropa. Musim ini, 20 tim di liga domestik Inggris sangat kompetitif. Persaingan terpecah menjadi tiga lapis, yaitu perebutan juara dan zona empat besar, serta lepas dari jurang degredasi.
Perebutan gelar masih terjadi hingga liga tersisa satu pekan lagi. Persaingan antara Manchester City dan Liverpool memperebutkan trofi hanya terpaut satu poin. Sementara itu, pertarungan zona empat besar antara Spurs, Chelsea, Arsenal, dan MU baru saja berakhir pada pekan lalu, pekan ke-37 dari total 38.
Level kompetitif ini memicu kondisi tim untuk selalu berada dalam puncak performa. Rumus ini setidaknya berlaku dalam setiap final satu negara di Liga Champions. Sejak berganti nama, tercatat tujuh kali final sesama negara, antara lain Spanyol (3 kali), Inggris (2 kali), Italia, dan Jerman.
Sebagai contoh saja pada 2007, saat final Liga Champions mempertemukan MU dan Chelsea. Kala itu, Liga Primer berlangsung begitu ketat. MU juara liga domestik dengan 87 poin, hanya unggul 2 poin dari Chelsea dan 4 poin dari Arsenal.
Sama halnya dengan final sesama Spanyol pada 2014 dan 2016, antara Atletico Madrid dan Real Madrid. Dalam dua final itu, persaingan gelar di kompetisi domestik begitu riuh. Pada 2014, Atletico mengamankan gelar saat pekan terakhir, terpaut 3 poin dari dua rivalnya, sedangkan pada 2016 Barca juara hanya lewat keunggulan 1 poin dari El Real.
Sepak bola memang sebuah misteri. Seperti yang dikatakan mantan Pelatih Jerman Barat Sepp Herberger bahwa bola itu bundar. Permainan di rumput hijau berlangsung 90 menit dan tidak ada satu teori pun yang berlaku di dalamnya.
Masalah persaingan ini sekaligus menjawab runtuhnya ”Kerajaan Spanyol” dalam partai puncak turnamen Eropa. Musim ini merupakan pertama kalinya tidak ada wakil Spanyol di final Liga Champions ataupun Liga Eropa sejak 2012.
Kepindahan Cristiano Ronaldo dari Madrid ke Juventus sedikit banyak mengubah lanskap La Liga menjadi kurang kompetitif. Musim ini, Barca memastikan gelar juara saat masih tersisa empat pekan. Jarak poin Barca dengan rival terbesar, Madrid, mencapai 15 poin.
”Kehilangan Ronaldo menghilangkan atmosfer persaingan di La Liga. Dampaknya begitu besar kepada industri ini. Kurangnya persaingan itu terlihat dari penurunan nilai komersial liga ini,” kata CEO Two Circles, perusahaan pemasaran olahraga, Gareth Balch.
Semifinal leg kedua antara Liverpool dan Barca membuktikan semuanya. Barca tidak berdaya saat disergap pasukan Jurgen Klopp di Anfield. Mereka yang sudah tidak mendapat persaingan di liga domestik terkejut dengan intensitas permainan ”The Reds” yang dalam puncak performa lewat persaingan liga dengan City.
Jurnalis Spanyol, Lluis Mascaro, dalam koran Sport mengungkapkan bagaimana pemain-pemain Barca memasuki zona nyaman. Mereka bermain seperti sudah mendapatkan piala seusai unggul 3-0 di leg pertama. Akibatnya, mereka takluk 0-4. ”Memalukan, tidak ada kata lain yang bisa mewakili,” tulisnya pada judul halaman depan Sport.
Keajaiban
Terlepas dari itu semua, sepak bola memang sebuah misteri. Seperti yang dikatakan mantan Pelatih Jerman Barat Sepp Herberger bahwa bola itu bundar. Permainan di rumput hijau berlangsung 90 menit dan tidak ada satu teori pun yang berlaku di dalamnya.
Momen magis itu terjadi hanya dalam 48 jam di leg kedua semifinal. Liverpool dalam 90 menit membalikkan keunggulan 0-3 Barcelona pada leg pertama. The Reds menang 4-0 di kandang, Stadion Anfield. Spurs membalikkan keadaan dengan mencetak tiga gol dalam 45 menit di markas Ajax Amsterdam untuk menyingkirkan wakil Belanda lewat agregat, 3-3, unggul agresivitas gol tandang.
Kendati demikian, momen magis itu tidak datang dengan sendirinya. Menurut The Guardian, tidak ada keberuntungan mutlak di sepak bola. Yang ada, sebuah usaha untuk memproduksi keberuntungan tersebut.
Contohnya malam ajaib leg kedua Liverpool dan Spurs. Kemenangan itu jatuh dari langit. Skuad kedua tim berjuang dengan determinasi tinggi untuk terus menekan dan menguasai pertandingan. Lewat puluhan percobaan, keberuntungan itu baru hadir di momen tepat.
”Hanya tekad dan determinasi besar yang membawa kami ke sini. Ini bukan persoalan taktis lagi, melainkan kepada semangat juang,” kata Cristian Eriksen, gelandang Spurs yang mengaku terinspirasi kebangkitan Liverpool.
Meskipun duel sesama negara, pertarungan dua final ini bisa jadi lebih panas. Di Liga Champions, Spurs bertekad besar meraih gelar pertamanya sebagai raja Eropa. Sementara itu, Liverpool ingin melunasi mimpinya setelah kalah di final pada musim lalu dari Madrid.
Di Liga Europa, Arsenal begitu membutuhkan trofi tersebut untuk mendapatkan tiket langsung ke Liga Champions, musim depan. Rivalnya, Chelsea, begitu penting meraih kejayaan untuk menjaga para pemain bintang, seperti Eden Hazard, tidak pergi pada musim panas ini. Apalagi Chelsea dalam larangan aktivitas transfer pada musim depan.
Sepak bola boleh jadi sudah kembali ke rumahnya, Inggris. Akan tetapi, empat ”serdadu Inggris” memiliki misi pribadi. Mereka ingin membawa pulang kejayaan sebenarnya alias trofi juara ke lemari piala masing-masing. (AP/AFP/REUTERS)