Rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke luar Jawa diharapkan tidak hanya memindahkan fungsi pemerintahan. Namun, harus pula menyertakan pembangunan industri.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke luar Jawa dinilai dapat menjadi solusi untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi daerah-daerah di luar Jawa. Untuk itu, harus ada langkah-langkah yang disiapkan pemerintah guna memastikan hal itu terjadi selain dibutuhkan pula konsistensi dari pemerintah.
”Usulan pemindahan ibu kota harus memiliki skenario berkaitan dengan teori efek ganda yang juga membahas dampak atas pusat pertumbuhan ekonomi. Apakah pemindahan ibu kota ke wilayah Kalimantan akan memberikan dampak perkembangan bagi wilayah lain, misalnya Sulawesi dan Papua?,” kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad saat dihubungi Kompas, Sabtu (11/5/2019).
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, dominasi ekonomi yang dilihat dari nilai produk domestik bruto atas dasar harga berlaku (PDB ADHB) di wilayah Jawa pada triwulan I-2019 sebesar 59,03 persen. Nilai ini naik dari 58,67 persen pada triwulan I-2018.
Sementara untuk wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua, nilai PDB ADHB di triwulan I-2019 masing-masing sebesar 8,26 persen, 6,14 persen, dan 2,19 persen.
”Maka perlu kehati-hatian dalam menempati lokasi ibu kota baru dalam pembangunan regional di Indonesia, termasuk untuk pemerataan pembangunan dan ekonomi,” ujar Tauhid.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro menyampaikan, pemindahan ibu kota hanya pada fungsi pemerintahan, yaitu eksekutif, kementerian/lembaga; legislatif, parlemen (MPR/DPR/DPD); yudikatif (kehakiman, kejaksaan, MK); pertahanan dan keamanan (TNI, Polri); serta kedutaan besar dan perwakilan organisasi internasional yang ada di Indonesia (Kompas, 30 April 2019).
Menurut Tauhid, pemindahan ibu kota jangan hanya memindahkan fungsi pemerintahan, tetapi juga harus menyertakan pembangunan industri. Sebab, pusat pemerintahan akan menjadi cerminan jendela bagi negara lain untuk melihat Indonesia.
”Kalau hanya pemerintahan, aliran uang masih akan terus berkutat di Jawa karena faktor produksi yang masih banyak di Jawa, mulai dari industri, bahan baku, hingga pusat ekspor dan impor,” ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani juga mendorong pemindahan ibu kota negara bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi baru di daerah-daerah di luar Jawa.
”Pemindahan ibu kota akan membuat perimbangan ekonomi, tidak lagi hanya terpusat di Jawa. Saya juga menilai, perbedaan pulau tidak menjadi masalah yang terlalu serius karena perkembangan teknologi akan semakin memudahkan perizinan usaha,” katanya.
Namun, Hariyadi menegaskan, pemerintah harus memiliki konsistensi dan kesinambungan terkait rencana pemindahan ibu kota. Pasalnya, rencana pemindahan ibu kota terus berganti seiring dengan bergantinya presiden.
Berdasarkan catatan Kompas, rencana pemindahan ibu kota ini sudah muncul sejak era presiden pertama RI, Soekarno, pada 1957. Kemudian, muncul kembali di era Presiden Soeharto pada 1997, lalu muncul di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009, dan kini Presiden Jokowi. Namun, dari pemerintahan ke pemerintahan, pemindahan tak kunjung terwujud.
Ke depan, Hariyadi berharap, pemerintah segera mengundang pelaku usaha untuk turut berdiskusi membahas rencana pemindahan ibu kota.