KPU Nilai Anggota KPPS Diracun Bagian dari Upaya Delegitimasi
Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum, Rahmat Bagja, meminta masyarakat untuk menyikapi segala isu yang berkembang secara bijaksana. Ia mengatakan, sampai saat ini tidak ada laporan dari masyarakat ataupun temuan dari penyelenggara berkaitan dengan kematian yang tidak wajar.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum menilai isu ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara meninggal akibat diracun hanyalah bagian dari upaya mendelegitimasi Pemilu 2019. Sampai saat ini tidak ada laporan kematian tidak wajar anggota KPPS kepada Badan Pengawas Pemilu.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pramono Ubaid Tanthowi, di Jakarta, Minggu (12/5/2019), mengatakan, pembangunan opini peracunan anggota KPPS adalah halusinasi liar. Opini ini dibangun di tengah masyarakat semata-mata bertujuan untuk menguatkan tuduhan bahwa ada upaya pembungkaman bagi petugas yang diklaim mengetahui ada kecurangan masif.
Jadi, halusinasi ini saya duga dikembangkan oleh orang yang tidak paham dengan teknis pemilu.
Padahal, sistem pemilu yang ada, kata Ubaid, sangat transparan dan dengan mudah diketahui dan dikoreksi. Penghitungan dan pengisian hasil pemungutan suara di TPS dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat. Salinan rekapitulasi pun diberikan kepada pengawas TPS dan semua saksi.
Kemudian, apabila masih ada kesalahan pengisian, penyelenggara dan peserta pemilu secara bersama-sama dan terbuka melakukan koreksi di tingkat kecamatan ataupun pemungutan suara ulang apabila direkomendasikan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Pramono pun menduga arah pembangunan opini peracunan anggota KPPS adalah delegitimasi pemilu. Ketika tidak bisa mempersoalkan pemilu secara teknis dan administratif, proses pemilu dipersoalkan dari hal-hal yang nonteknis. Salah satunya soal gugurnya para petugas KPPS.
”Jadi, halusinasi ini saya duga dikembangkan oleh orang yang tidak paham dengan teknis pemilu. Undang-undang tidak memberi ruang untuk mempersoalkan hasil-hasil pemilu melalui mempersoalkan kematian petugas KPPS,” kata Pramono di Kantor KPU, Jakarta.
Pramono mengatakan, KPU telah bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang berwenang dan kompeten untuk mendalami persoalan tersebut. Lembaga tersebut adalah Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Bawaslu, Komnas HAM, dan Ombudsman RI.
KPU pun sudah melakukan pembahasan dengan lembaga-lembaga tersebut pada Rabu (8/5) pekan lalu. Kerja sama ini juga dilakukan untuk memitigasi meluasnya spekulasi liar peracunan petugas KPPS tersebut.
Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum, Rahmat Bagja, meminta masyarakat untuk menyikapi segala isu yang berkembang secara bijaksana. Ia mengatakan, sampai saat ini tidak ada laporan dari masyarakat ataupun temuan dari penyelenggara berkaitan dengan kematian yang tidak wajar.
”Keluarga yang ditinggalkan pun tidak melaporkan keanehan ataupun ketidakwajaran. Oleh sebab itu, masyarakat harus tetap tenang dan bijaksana dalam menghadapi isu yang berkembang,” kata Rahmat.
Pada awal pekan lalu, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah memunculkan pernyataan bahwa ada kemungkinan petugas KPPS meninggal akibat racun.
Belakangan juga beredar kabar di media sosial mengenai Sita Fitriati, seorang petugas KPPS yang meninggal asal Bandung, Jawa Barat. Kematian Sita disebut akibat diracun. Hoaks itu menyebutkan bahwa Sita meninggal akibat racun VX yang mengganggu sistem saraf tubuh.
Bahkan, keluarga yang bersangkutan telah melaporkan kabar tersebut sebagai hoaks kepada polisi.