Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mengadukan Kementerian Koordinator Perekonomian karena dinilai menghalangi keterbukaan data dan informasi terkait hak guna usaha perkebunan kelapa sawit. Apabila data ini terus ditutup, berbagai konflik agraria yang menjadi perhatian Presiden serta dibahas dalam rapat-rapat terbatas tak akan kunjung selesai.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mengadukan Kementerian Koordinator Perekonomian karena dinilai menghalangi keterbukaan data dan informasi terkait hak guna usaha perkebunan kelapa sawit. Apabila data ini terus ditutup, berbagai konflik agraria yang menjadi perhatian Presiden serta dibahas dalam rapat-rapat terbatas tak akan kunjung selesai.
Apalagi, beberapa waktu lalu, dalam memutus sengketa Forest Watch Indonesia dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Mahkamah Agung menyatakan bahwa data dan informasi perkebunan kelapa sawit dinyatakan terbuka. Hal-hal yang terbuka antara lain nama pemegang izin, luas, lokasi, jenis komoditas, dan peta area.
Dalam surat kepada Presiden yang ditandatangani Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati dan dikirimkan pada 16 Mei 2019 tersebut dijelaskan latar belakang pengaduan ini adalah surat dari Kementerian Koordinator Perekonomian (Deputi Pertanian dan Pangan) kepada korporasi dan perusahaan sawit. Surat serupa pernah dikeluarkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang kepada Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) yang intinya agar data HGU dikecualikan dari data dan informasi yang dapat dimohonkan publik.
”Menanggapi hal di atas, kami meminta kepada Presiden RI untuk memerintahkan kedua menteri tersebut di atas mencabut surat tersebut dan mengevaluasi menteri serta pimpinan lembaga negara yang mengeluarkan perintah di dalam yang justru bertentangan dengan perintah Presiden untuk mencabut konsesi korporasi (swasta ataupun BUMN) yang menempati tanah-tanah rakyat,” tulis Walhi.
Nur Hidayati pun menekankan bahwa keterbukaan informasi HGU merupakan prasyarat utama apabila Presiden benar-benar ingin menyelesaikan konflik agraria di Indonesia.
Apalagi, dalam rapat terbatas tentang penanganan konflik agraria, Presiden menyatakan. ”Kalau yang diberi konsesi sulit (mengelolanya), cabut konsesinya. Saya perintahkan ini. Tegas. Demi rasa keadilan dan kepastian hukum, (rakyat) harus dinomorsatukan. Jelas rakyat sudah hidup lama malah kalah dengan konsesi yang baru diberikan (Kompas, 4 Mei 2019).”
Dalam suratnya, Walhi memberikan beberapa alasan dan pertimbangan arti penting HGU bagi penyelesaian konflik. Pertama, ketertutupan HGU melanggengkan konflik agraria akibat tidak jelasnya data. Di sisi lain, konflik agraria di perkebunan mencapai 306 kasus dari 555 kasus laporan konflik sumber daya alam ke Kantor Staf Kepresidenan. Luas perkebunan yang menjadi konflik tersebut 341.237, 87 ha dari total luas lahan yang disengketakan 627.430,042 ha.
Ketertutupan HGU melanggengkan konflik agraria akibat tidak jelasnya data.
Tak pernah selesai
Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Dimas N Hartono mengatakan, konflik agraria tak akan pernah kelar apabila informasi HGU tidak dibuka ke publik. Ia mencontohkan kasus konflik agraria di Desa Sembulu, Kabupaten Surian, dengan perusahaan sawit.
”Ketika ada izin HGU, masyarakat tidak boleh masuk. Namun, ketika masyarakat ingin melihat HGU-nya, tidak boleh. Padahal, masyarakat tidak pernah menjual lahannya ke perusahaan,” katanya.
Alasan kedua, ketertutupan HGU juga melanggengkan praktik koruptif izin perkebunan. Ini karena menghambat sinkronisasi data antarkelembagaan. Dari data mendasar, seperti luas perkebunan sawit di Indonesia, Kementerian ATR, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki data berbeda-beda.
Ketertutupan HGU juga melanggengkan praktik koruptif izin perkebunan. Ini karena menghambat sinkronisasi data antarkelembagaan.
Alasan ketiga, ketertutupan HGU menimbulkan ketidakpastian hukum. Seperti diberitakan, sejak dua tahun lalu, MA telah menyatakan data dan informasi HGU sebagai data yang bisa diakses publik.
Alasan keempat, meningkatkan bencana ekologis dan kerusakan lingkungan. Dicontohkan Walhi, sedikitnya 1,8 juta ha izin HGU (didominasi kebun sawit) berada di area kesatuan hidrologis gambut. Pada rentang 2017-2018, terdapat peningkatan titik panas dari 346 titik menjadi 3.427 titik di titik gambut yang di antaranya terjadi pada izin-izin HGU tersebut.