Telma Margareta Huka Memperjuangkan Literasi dengan Bahasa Ibu
Telma Margareta Huka memperjuangkan kelestarian penggunaan bahasa ibu di Papua sejak 2005. Baginya, pembelajaran dengan bahasa ibu lebih efektif untuk mengatasi masalah tingginya angka buta aksara yang dialami warga di daerah-daerah pedalaman Papua.
Kamis (9/5/2019) sekitar pukul 07.00, Telma mengendarai sepeda motor meninggalkan rumahnya di daerah Waena, Kota Jayapura, Papua, menuju kantor Suluh Insan Lestari di Kelurahan Hinekombe, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura.
Sebelum di Waena, Telma dan keluarganya tinggal di daerah Sentani. Namun, rumahnya rusak berat akibat diterjang banjir bandang pada 16 Maret 2019.
Ia beserta suami dan anak-anak pindah ke rumah milik salah seorang kerabat dekat di Waena. Koordinator Suluh Insan Lestari Papua ini menempuh perjalanan selama 30 menit dari Waena ke kantornya di Sentani.
Suluh Insan Lestari (SIL) atau dulu dikenal dengan nama Summer Institute of Linguistic adalah salah satu lembaga penelitian yang fokus dalam pelestarian bahasa daerah dan kegiatan literasi sekitar lima dekade terakhir di Papua. Total terdapat 275 bahasa daerah di Papua.
Setengah jam kemudian, Telma mengunjungi salah satu sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD) di Hinekombe yang berjarak sekitar 1 kilometer. PAUD Papua Cerdas Mandiri (Pacema) itu termasuk salah satu lembaga PAUD di Papua yang mengimplementasikan kurikulum berbasis bahasa ibu dalam kegiatan belajarnya. Rata-rata anak di sekolah itu berasal dari pegunungan tengah Papua.
Terdapat 5 guru dan sekitar 20 siswa dari total 70 siswa yang hadir pada hari itu. Sebagian besar siswa belum hadir karena masih berada di pengungsian korban banjir bandang. Telma berbicara dengan menggunakan bahasa Lani saat memberikan masukan bagi sejumlah guru terkait dengan pola mengajar. Bahasa Lani adalah bahasa ibu yang digunakan di sekolah Pacema itu.
Meskipun baru saja menjadi korban banjir dengan kehilangan rumah dan harta benda lainnya, Telma tetap bertugas dengan semangat. Dia mengawasi dan membimbing para guru mengimplementasikan kurikulum bahasa ibu di sejumlah kabupaten Papua.
”Pekerjaan ini adalah hidup saya selama 10 tahun terakhir. Diperlukan upaya yang tak boleh terhenti untuk menjaga kelestarian bahasa daerah di Papua,” ujar ibu empat anak ini.
Ratusan guru
Telma bersama lima rekannya di SIL Papua berkolaborasi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua menerapkan kurikulum berbasis bahasa ibu di 10 kabupaten sejak empat tahun lalu. Sepuluh kabupaten itu ialah Lanny Jaya, Tolikara, Mamberamo Tengah, Deiyai, Nabire, Waropen, Kabupaten Jayapura, Mimika, Merauke, dan Yahukimo.
Dalam pelaksanaan kurikulum ini, Telma dan rekan kerjanya berperan menyediakan bahan ajar bagi para guru. Mereka mengajar dengan menggunakan bahasa daerah yang biasa digunakan anak di keluarganya.
Setiap sekolah mendapatkan 60 buku materi yang meliputi cerita rakyat ataupun bentuk serta cara pelafalan angka dan huruf dalam satu tahun ajaran. Misalnya, bahasa Lani, Mee, Marind, Sempan, Kimyal, Mek Nalca, Mek Kosarek, Moi, Korowai Batu, dan Sentani Timur. Proses penyediaan bahan saja memakan waktu enam bulan.
Pekerjaan ini adalah hidup saya selama 10 tahun terakhir. Diperlukan upaya yang tak boleh terhenti untuk menjaga kelestarian bahasa daerah di Papua.
Penggunaan bahasa daerah dinilai lebih efektif bagi anak-anak di daerah pedalaman. Sebab, anak-anak ini lebih dominan menggunakan bahasa ibu di rumahnya daripada bahasa Indonesia.
”Dengan bahasa daerah, anak-anak dilatih untuk memahami bentuk serta makna huruf dan angka. Setelah itu, barulah mereka belajar membaca dan berhitung dengan bahasa Indonesia,” papar Telma.
Telma turut melatih tenaga pengajar materi berbasis kurikulum bahasa ibu yang disiapkan untuk 32 PAUD dan 19 sekolah dasar. Total ia bersama rekan di SIL Papua telah melatih 550 tutor PAUD dan guru SD sejak 2015. Para guru itu berasal dari 10 kabupaten yang mengimplementasikan kurikulum berbasis bahasa ibu.
Rata-rata setiap tutor dan guru mengajar 30 siswa berusia 3-6 tahun di satu PAUD dan SD. Khusus PAUD, jam belajar untuk anak hanya 2 jam.
”Saya fokus membimbing mereka untuk memahami modul pembelajaran berbasis bahasa ibu selama tiga hingga lima hari dalam sepekan. Metode mengajar berupa tatap muka, praktik mengajar, praktik menyanyikan lagu anak, dan permainan,” tutur Telma.
Anak Papua
Pada mulanya Telma telah bergabung di SIL sebagai tenaga honor sejak 2005. Dia bertugas melaksanakan monitoring program keaksaraan yang dilaksanakan SIL di sejumlah kabupaten, yakni Kabupaten Jayawijaya, Jayapura, Pegunungan Bintang, dan Mamberamo Tengah.
Ia sering bepergian ke daerah-daerah pedalaman di empat kabupaten untuk melihat implementasi program kurikulum bahasa ibu yang dilaksanakan SIL untuk warga yang buta aksara dari usia 16 tahun sampai dengan 45 tahun.
Faktor kondisi geografis yang sulit menjadi tantangan tersendiri bagi Telma. Misalnya, pada 2006, Telma bersama salah satu rekan kerjanya hampir tenggelam saat melintasi salah satu sungai yang deras di daerah Assologaima, Kabupaten Jayawijaya.
Pada tahun yang sama, ia melaksanakan tugas monitoring dengan berjalan kaki 11 jam ke Kampung Yapil, Kabupaten Pegunungan Bintang. Perjalanan dari Distrik Okbab ke Yapil hanya berjarak 10 kilometer. Namun, ia harus mendaki gunung dengan ketinggian melebihi 1.000 meter di atas permukaan laut.
Selain kondisi geografis, faktor keamanan di tempat tugas Telma juga rawan gangguan dari kelompok kriminal bersenjata di kawasan pegunungan tengah Papua, seperti Lanny Jaya.
”Dalam pelaksanaan program kurikulum berbasis bahasa ibu di Lanny Jaya pada 2015, kami telah menjalin kesepakatan dengan kelompok itu. Mereka tidak akan mengganggu kami asalkan hanya terkait dengan memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak setempat,” ungkapnya.
Semua upaya Telma di tengah berbagai tantangan hanya untuk memberikan pendidikan yang layak bagi anak Papua. Sebab, ia menemukan banyak anak di daerah pedalaman yang tak bisa membaca dan berhitung. Banyak guru yang tidak berada di tempat tugas sehingga pendidikan bagi anak-anak ini belum berjalan dengan optimal.
Dari penelitian SIL bagi 100 pelajar sekolah dasar kelas I-VI yang tersebar di empat distrik di Lanny Jaya pada 2015 sebelum mulai mengimplementasikan kurikulum itu, banyak anak yang belum memahami pemelajaran materi angka dan huruf dengan bahasa Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan angka lama sekolah di kabupaten-kabupaten di Papua rata-rata hanya tujuh tahun.
”Mudah-mudahan penggunaan kurikulum bahasa ibu dapat mengurangi angka buta aksara secara drastis. Anak-anak di pedalaman Papua lebih termotivasi untuk mengejar cita-citanya lebih tinggi pada masa depan,” ujar Telma berharap.
Telma Margareta Huka
Lahir: Ambon, 11 Mei 1969
Suami: Hans Dortheis Imbiri
Anak:
- Cicylia Imbiri
- Ricky Imbiri
- Nicko Imbiri
- Lilyane Imbiri
Pendidikan
- SDN 10 Ambon (1976-1982)
- SMPN 6 Ambon (1982-1985)
- SMAN 2 Ambon (1985-1988)
- Universitas Kristen Indonesia Paulus Makassar Jurusan Teknik Elektro (1998)