Lucy menjadi salah satu daya tarik wisatawan ketika berkunjung ke Ethiopia. Lucy ditemukan tertimbun di bawah tanah di kawasan Afar, sekitar 600 kilometer dari Addis Ababa, ibu kota Etiopia, hampir separuh abad yang lalu.
Oleh
A Ponco Anggoro
·4 menit baca
Susunan rangka manusia yang tak sempurna disusun terbaring di salah satu kotak kaca di Museum Nasional Etiopia di Addis Ababa, ibu kota Etiopia. Di kotak kaca lain yang berdekatan lokasinya, rangka manusia yang utuh dipasang dalam posisi berdiri.
”Perkenalkan Lucy, nenek moyang manusia,” tutur Haileyesus Abate, pemandu senior di Museum Nasional Ethiopia, seraya menunjuk pada kedua kotak kaca, Selasa (22/4/2019).
”Saat ditemukan, 40 persen rangkanya lengkap. Ini memudahkan peneliti untuk menelitinya,” ujarnya.
Rangka Lucy di kedua kotak kaca memang hanya replika. Sementara rangka aslinya disimpan di bagian lain museum yang tidak bisa dilihat oleh pengunjung. Namun, rangka replika setidaknya sudah bisa memperlihatkan salah satu temuan berharga untuk mengungkap asal-usul dari manusia.
Hampir 45 tahun silam, persisnya 24 November 1974, Lucy ditemukan tertimbun di bawah tanah di kawasan Afar, sekitar 600 kilometer dari Addis Ababa. Salah satu peneliti, paleoantropolog Donald Johanson, seperti dikutip dari BBC, langsung meyakini tulang-belulang itu bagian dari kehidupan 3,2 juta tahun lalu. Ini karena lapisan tanah tempat tulang belulang ditemukan berasal dari 3,2 juta tahun silam.
Lantas dari mana asal nama Lucy?
Dari rangka yang ditemukan, manusia purba itu diyakini berjenis kelamin perempuan. Setelah Donald menemukannya, dan kembali ke kamp peneliti, dia memutar kaset grup band The Beatles yang dibawanya. Saat lagu ”Lucy in the Sky with Diamonds” dimainkan, salah satu anggota peneliti kemudian menyarankan agar temuan itu dinamakan Lucy. Maka, jadilah rangka manusia purba tersebut bernama Lucy.
Sementara sains mengenalnya dengan nama Australopithecus afarensis. Ini berarti Lucy masuk genus Australopithecus, sedangkan Afarensis merujuk pada Afar tempat Lucy ditemukan.
Penelitian bertahun-tahun kemudian mengungkap bahwa Lucy memiliki tinggi 1,1 meter dengan berat badan sekitar 29 kilogram. Dia diyakini meninggal saat beranjak dewasa.
Tak sebatas itu, penelitian pada tulang belulang, khususnya di bagian lutut dan tulang belakang, mengungkap hal yang paling penting, yaitu cara berjalan Lucy. Manusia purba itu mirip dengan manusia modern seperti kita, yaitu berjalan dengan kedua kaki.
Dengan berbekal temuan-temuan itu, tidak sedikit yang meyakini genus Australopithecus adalah nenek moyang dari genus Homo, yang di dalamnya termasuk manusia modern, dan juga spesies manusia purba yang telah punah seperti Homo habilis yang ditemukan di Tanzania, Afrika Timur, antara 1962 dan 1964, serta Homo neanderthalensis di Lembah Neander, Jerman, 1856.
Meski demikian, seperti dikutip dari The Independent saat peringatan 41 tahun ditemukannya Lucy, belum bisa dipastikan spesies dari Australopithecus yang membesarkan Homo. Hanya saja, karena Homo berevolusi sekitar 2,8 juta tahun silam, sangat mungkin kedua spesies berhubungan.
Apa pun itu, temuan Lucy merupakan salah satu temuan berharga untuk membuka tabir kehidupan manusia pada masa lampau.
Selain itu, sejak Lucy ditemukan dan rangkanya disimpan di Museum Nasional Etiopia, Lucy telah menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan yang sedang berkunjung ke Etiopia.
Kebanyakan turis berasal dari negara-negara di Eropa, selain ada pula dari negara-negara di Asia dan Amerika.
Sejarah Etiopia
Di Museum Nasional Etiopia, selain Lucy, pengunjung juga bisa melihat perjalanan sejarah Etiopia. Dimulai sejak Etiopia masih berbentuk kekaisaran dengan nama Abyssinia.
Foto dari setiap kaisar yang sempat berkuasa terpampang di dinding. Salah satu yang terkenal adalah Kaisar Menelik II. Kaisar yang berkuasa sejak 1889 sampai 1913 ini berhasil menaklukkan serangan pasukan Italia pada 1 Maret 1896 di dekat Kota Adwa.
Pertempuran yang dikenal dengan nama Perang Adwa itu berhasil menghentikan ekspansi Italia di kawasan tanduk Afrika atau di sebelah timur Benua Afrika.
Tak hanya itu, sebagai satu-satunya negara di Afrika yang bisa mematahkan serangan penjajah dari sejumlah negara di Eropa, Etiopia menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme sekaligus gerakan persatuan Afrika.
Museum lain
Selain Museum Nasional Etiopia, Museum Etnologi yang berada di lingkungan Universitas Addis Ababa menjadi salah satu tempat lain di mana kita bisa mengenal lebih dalam soal Etiopia.
Bangunan museum itu sendiri bersejarah. Bangunan merupakan eks istana Kaisar Haile Selassie (1930-1974). Dia menyumbangkan istananya kepada pihak universitas dan kemudian dijadikan museum.
Di museum ini, pengunjung bisa melihat kamar tempat dia tinggal lengkap beserta pakaian kebesaran yang biasa dikenakannya. Hal lain, barang-barang yang diberikan kepada kaisar dari negara-negara sahabat.
Tak hanya itu, sebagai museum etnologi, dihadirkan beragam benda yang menunjukkan ciri khas budaya masyarakat Etiopia. Dimulai dari lahir, beranjak dewasa, menikah, dan meninggal.
Salah satu yang terkenal, budaya minum kopi. Untuk diketahui, kopi arabika banyak disebut pertama kali ditemukan di Etiopia. Kopi kemudian menjadi konsumsi sehari-hari mayoritas masyarakat Etiopia, bahkan sudah melekat sebagai salah satu budaya Etiopia.
Di salah satu ruang di museum, pengunjung bisa melihat beraneka ragam kendi yang biasa digunakan untuk menyimpan minuman kopi. Selain itu, ada juga alat-alat tradisional yang digunakan untuk mengolah biji kopi menjadi kopi, seperti anglo, alu, dan lesung.