Paket-paket kebijakan ekonomi yang diterbitkan pemerintah sejak beberapa tahun lalu dinilai belum mengatasi hambatan investasi. Pelaku usaha menghadapi situasi yang kompleks di lapangan.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono / Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Paket-paket kebijakan ekonomi yang diterbitkan pemerintah sejak beberapa tahun lalu dinilai belum mengatasi hambatan investasi. Pelaku usaha menghadapi situasi yang kompleks di lapangan.
Para pelaku usaha masih menunggu realisasi beberapa paket kebijakan ekonomi. Penguatan usaha, termasuk melalui kebijakan, dibutuhkan agar Indonesia lebih kompetitif.
Sekretaris Eksekutif Badan Pengurus Nasional Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ernovian G Ismy saat dihubungi di Jakarta, Jumat (17/5/2019) menyatakan, salah satu yang ditunggu pelaku industri adalah penurunan tarif listrik bagi industri. Tarif listrik yang kompetitif meningkatkan daya saing.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPPMI), Adhi S Lukman menambahkan, harga listrik dan gas yang belum turun menjadi catatan terkait paket kebijakan ekonomi. Pelaksanaan perizinan, kini melalui sistem pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS), juga belum sinkron dengan beberapa kementerian/lembaga dan daerah.
"Catatan lain dari sektor makanan minuman adalah kemudahan pasokan air juga masih menyisakan masalah karena UU SDA (undang-undang sumber daya air) belum selesai," kata Adhi.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal berpendapat, ada yang salah dalam iklim berusaha di Indonesia. Sejak paket kebijakan terbit beberapa tahun lalu, investasi terutama sektor manufaktur tidak pernah tumbuh tinggi, malahan terus turun.
"Solusi yang ditawarkan paket kebijakan masih parsial, seperti insentif fiskal, kenyataannya, insentif itu tak cukup karena persoalan industri manufaktur kompleks," ujarnya.
Paket kebijakan juga dinilai belum mengatasi hambatan mendasar dalam investasi, seperti pengadaan lahan, cara memperoleh bahan baku, serta peraturan yang rumit dan tak perlu. Menurut Faisal, pemerintah memang banyak melakukan deregulasi, tetapi terobosan tetap diperlukan. Investasi di sektor riil tetap harus diperkuat karena berperan besar sebagai penopang pertumbuhan ekonomi.
Cari jalan keluar
Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, defisit neraca perdagangan yang makin lebar membuat pemerintah harus kembali mempelajari situasi. Jalan keluar akan tetap dicari agar pertumbuhan ekonomi tidak terkoreksi lagi. Salah satunya dengan menarik investasi untuk substitusi impor.
"Kalau awalnya investasi selalu dikaitkan dengan bagaimana mendorong ekspor, mungkin tidak mudah sekarang ini, apalagi ada perang dagang AS-China," kata Darmin.
Menurut Darmin, tertekannya perekonomian Indonesia tidak sepenuhnya karena kebijakan pemerintah yang kurang efektif. Beberapa kebijakan sudah diperbarui sejak tahun lalu, seperti penyederhanaan izin dan perluasan sektor bagi industri pionir yang menerima insentif pembebasan pajak (tax holiday).
"Sebenarnya pemerintah sudah menyiapkan langkah-langkahnya. Kinerja ekspor memang tidak bisa seperti masa lalu," ujarnya.
Upaya mendorong investasi substitusi impor sejalan dengan kebijakan insentif tax holiday. Investasi yang dibidik adalah perusahaan bahan baku, baja, dan petrokimia. Harapannya, impor bisa berkurang secara bertahap.
Konsumsi domestik
Ekonom Unika Atma Jaya Jakarta, A Prasetyantoko, mengatakan, upaya menarik investasi menjadi bagian dari mendorong konsumsi domestik. Investasi diperlukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Selain investasi langsung, pemerintah juga bisa membidik penanaman modal dalam negeri, seperti untuk pariwisata. "Ruang pertumbuhan konsumsi bisa meningkat jika ada investasi," ujarnya.
Pemerintah dinilai penting menjaga konsumsi domestik sebagai penopang utama pertumbuhan ekonomi. Setidaknya ada dua aspek yang mesti diperhatikan, yaitu stabilitas harga dan daya beli.
Secara terpisah, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, pencairan tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13 diharapkan mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga di atas 5,1 persen pada triwulan II-2019.
Pemerintah memastikan THR cair sebelum akhir Mei 2019. Kementerian Keuangan menganggarkan Rp 40 triliun untuk THR dan gaji ke-13 bagi aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan pensiunan.