Polarisasi dukungan terhadap dua pasangan capres-cawapres di Pemilu 2019 berpotensi menggerus ikatan sosial dalam masyarakat. Diperlukan teladan politik dari para elite untuk memperkecil jarak sosial di masyarakat.
Setelah kontestasi elektoral Pemilu 2019 usai, peringatan Kebangkitan Nasional 2019 layaknya menjadi momentum kembali mengingat semangat kebersamaan sebagai bangsa. Jejak awal bangkitnya kesadaran kebersamaan sebagai bangsa yang muncul 111 tahun lalu itu harus diwariskan dari generasi ke generasi. Potensi itu masih ada jika dilihat dari memori publik atas momentum sejarah bangsa ini.
Dalam jajak pendapat Kompas, kondisi itu juga terekam kendati makna yang muncul di benak masyarakat berbeda-beda saat mendengar istilah ”kebangkitan nasional”. Namun, benang merah pandangan masyarakat itu masih sama, yaitu ikatan kebersamaan bangsa dalam berbagai segi.
Sebanyak 40 persen responden mengasosiasikan kebangkitan nasional pada persatuan bangsa, sedangkan 31 persen responden teringat kemajuan pendidikan bangsa. Ada pula 13 persen responden yang teringat akan peran pemuda terhadap bangkitnya bangsa Indonesia, sedangkan 9 persen responden teringat akan kesadaran untuk merdeka.
Hal itu mengisyaratkan kebersamaan sebagai bangsa Indonesia masih terjalin. Meski demikian, kondisi itu menghadapi tantangan berupa keterbelahan sikap masyarakat akibat pemilihan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019. Jelang pengumuman hasil pemilu pada 22 Mei 2019, responden terbelah dalam memandang kebersamaan sebagai bagian dari masyarakat usai Pemilu 2019.
Gesekan-gesekan sosial dalam masyarakat, seperti saling ejek, saling tuding, dan saling tuduh, tak pelak mengganggu soliditas ikatan sosial masyarakat. Kondisi ini makin diperparah dengan penyebaran kabar bohong atau hoaks yang menimbulkan keresahan dan memantik kebencian masyarakat.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, jelang hari pemungutan suara pemilu pada 17 April 2019, jumlah hoaks, informasi palsu, dan ujaran kebencian meningkat. Jumlah hoaks naik hampir dua kali lipat dari 353 konten di Februari 2019 menjadi 453 konten pada Maret 2019. Dari 453 hoaks, terdapat 130 hoaks politik. Hoaks politik antara lain berupa kabar bohong yang menyerang pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu, dan penyelenggara pemilu.
Upaya rekonsiliasi pascapesta demokrasi menjadi keniscayaan agar polarisasi politik yang merusak tidak kian meluas. Rekonsiliasi harus dibangun lewat kesadaran bersama dengan mengutamakan persatuan di atas pilihan politik yang berbeda. Ikatan sosial harus dirawat bersama oleh pemimpin negara, elite politik, dan juga masyarakat.
Ikatan sosial
Publik berharap pemimpin nasional terpilih mampu menyatukan lagi bangsa setelah gesekan yang terjadi dalam kontestasi Pemilu 2019. Sebagian besar responden berharap ikatan sosial di masyarakat akan kembali menguat.
Guna mencapai hal itu, ada beberapa hal yang diusulkan responden. Sebanyak 44 persen responden menilai presiden dan wakil presiden yang terpilih harus menegakkan hukum terhadap oknum pemecah belah bangsa. Sementara itu, 31 persen responden menilai pemimpin nasional harus kembali mendorong kegiatan-kegiatan bersama yang bisa menguatkan ikatan sosial di masyarakat.
Sebanyak 17 persen responden lebih fokus pada terjadinya rekonsiliasi di antara elite politik. Selain itu, tidak kalah penting, pemimpin nasional harus terus mendorong penerapan sikap sesuai Pancasila.
Di sisi lain, kuatnya ikatan sosial juga sangat bergantung pada masyarakat. Kesadaran warga dibutuhkan untuk mencegah perpecahan dan merajut lagi persatuan di lingkungannya masing-masing. Publik harus juga aktif memperkuat semangat kebersamaan sebagai bangsa di atas pilihan politik yang berbeda-beda.
Sebanyak 47 persen responden menilai upaya menjalin silaturahmi dengan mereka yang berbeda pilihan politik menjadi langkah yang harus dilakukan masyarakat. Ada 20 persen responden yang menilai publik harus kembali aktif dalam kegiatan kebersamaan di lingkungannya. Sementara, 17 persen responden menilai masyarakat harus menjaga diri agar tidak ikut menyebarkan hoaks yang merusak. Selain itu, 11 persen responden menilai masyarakat perlu memercayakan penyelesaian konflik lewat penegakan hukum.
Selain kepemimpinan presiden dan wapres terpilih, keterlibatan aktif masyarakat dalam menguatkan kembali ikatan sosial dan peran serta elite politik tak kalah penting. Apalagi, polarisasi sikap masyarakat terjadi karena konflik elite yang menyeret masyarakat ke dalam keriuhan yang tiada henti.
Elite bertanggung jawab untuk mendengungkan semangat persatuan dan kebersamaan sebagai bangsa Indonesia, bukan hanya kepentingan golongannya semata. Elite politik hendaknya juga aktif mengupayakan rekonsiliasi yang menyejukkan.
Upaya bersama ini menjadi krusial dan menjadi prasyarat bagi perbaikan masa depan bangsa Indonesia. Pasalnya, semangat kebersamaan sebagai satu bangsa menjadi modal untuk bangkit menjadi bangsa yang mampu mandiri dalam politik, ekonomi, dan budaya.
Optimis
Kemandirian politik, ekonomi, dan budaya menjadi salah satu hal yang hendak diraih bangsa Indonesia. Sebagian menilai Indonesia sudah mandiri dalam politik, ekonomi, dan budaya. Namun, ada sebagian lagi yang menilai kondisi Indonesia saat ini belum mandiri dalam ketiga bidang tersebut.
Publik memiliki keyakinan sangat besar bahwa pemimpin nasional dan anggota legislatif dari berbagai tingkatan yang terpilih dalam Pemilu 2019 bisa memimpin Indonesia menjadi mandiri dalam politik, ekonomi, dan budaya.
Publik juga terlihat optimis dalam memandang kemampuan yang dimiliki bangsa Indonesia saat ini. Penilaian positif diberikan mayoritas responden terhadap kemampuan Indonesia menjalankan perannya dalam pergaulan internasional (70 persen). Indonesia bukan lagi sekadar mampu menjadi tuan rumah berbagai kegiatan internasional, melainkan juga menunjukkan eksistensinya di dunia. Salah satunya mampu tampil sebagai Presiden Dewan Keamanan PBB sejak 1 Mei 2019.
Indonesia juga dinilai telah berdaulat di seluruh wilayah teritorial negara. Persepsi ini muncul dari 65 persen responden meskipun masih ada sekitar 30 persen yang menilai sebaliknya. Sumber daya manusia (SDM) Indonesia juga dinilai tidak kalah kualitasnya dibandingkan SDM dari luar negeri. Sebagian besar responden (61 persen) menilai SDM Indonesia sudah mampu bersaing di tingkat internasional.
Kemampuan Indonesia dalam perdagangan internasional masih mendapat catatan lebih dari separuh responden. Namun, ada 40 persen responden yang menilai Indonesia telah mampu menguasai perdagangan di pasar internasional. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemimpin mendatang apalagi karena perdagangan internasional itu terkait erat dengan perekonomian nasional.
Indonesia juga masih harus menghadapi dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang kian memanas. Optimisme dan catatan dari publik selayaknya diperhatikan dan dijadikan modal pemimpin negeri agar semangat untuk bangkit membangun bangsa terus terjaga demi Indonesia yang mandiri. (LITBANG KOMPAS)