Menghitung Kekuatan Jokowi di Parlemen
Selama tiga kali pemilu terakhir, yaitu 2009, 2014, dan 2019, sistem pemilu di Indonesia hanya mampu membatasi jumlah partai politik menjadi 9 sampai 10 parpol, namun belum mampu menciptakan koalisi yang efektif.
Masih banyaknya partai yang lolos ambang batas parlemen ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memberikan makna bahwa representasi keberagaman masih diberi ruang untuk hidup di Dewan Perwakilan Rakyat.
Namun, di sisi lain, ia berpotensi membuat jalannya pemerintahan tidak efektif. Pemerintah tetap harus mengeluarkan energi ekstra untuk melakukan deal-deal politik dengan tiap anggota partai di parlemen, selain harus memberi ruang yang banyak kepada partai-partai koalisinya untuk menempati posisi menteri di kabinetnya.
Makin banyak partai dan anggota koalisinya, peluang terjadinya varian transaksi politik menjadi lebih banyak. Terlebih, terdapat kecenderungan anggota DPR dan fraksi partai memiliki agendanya sendiri-sendiri yang berpengaruh pada lemahnya kinerja legislasi. Situasi ini dapat berdampak pada menurunnya kecepatan pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan, siapapun pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memenangkan Pemilu 2019.
Sejauh ini, dari hasil hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survei dan hitung suara Komisi Pemilihan Umum (KPU), pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul dalam perolehan suara. Hasil hitung cepat Litbang Kompas, Jokowi-Amin memperoleh 54,45 persen dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno 45,55 persen.
Hasil sementara KPU hingga data masuk 84 persen (16 Mei 2019), Jokowi Amin 56,19 persen dan Prabowo-Sandi 43,81 persen. Sementara, hasil penghitungan oleh Kawal Pemilu suara untuk Jokowi-Amin 55,73 persen dan Prabowo-Sandi 44,27 persen, saat data masuk 83 persen. Melihat kecenderungan tersebut, kemenangan pilpres tampaknya memang akan menjadi milik pasangan Jokowi-Amin.
Kekuatan Dukungan
Jika Jokowi-Amin memenangkan Pemilu Presiden 2019, bagaimanakah kira-kira kekuatan koalisi mereka di parlemen? Dengan koalisi yang terbentuk, akankah efektif menjalankan tugasnya sebagai pendukung Pemerintahan Jokowi-Amin? Dua pertanyaan tersebut akan menjadi ukuran menghitung kekuatan Jokowi-Amin di parlemen selama periode 2019-2024.
Koalisi pendukung Jokowi-Amin, yakni Koalisi Indonesia Kerja (KIK) terdiri dari 10 parpol. Mereka adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Koalisi ini, berdasarkan hasil hitung cepat Litbang Kompas, mengumpulkan sekitar 60,91 persen suara.
Baca Juga: Tragedi Grace Natalie, Tragedi bagi Demokrasi?
Namun, karena Hanura, PSI, Perindo, PBB, dan PKPI diperkirakan tidak akan lolos parliamentary threshold, maka hanya perolehan suara lima partai yang akan diperhitungkan. Koalisi Indonesia Kerja dengan lima partai pendukung yang diprediksi lolos, yaitu PDI-P, Golkar, PKB, Nasdem, dan PPP mengumpulkan suara sekitar 53,67 persen versi hitung cepat Kompas.
Sementara itu, koalisi pendukung Prabowo-Sandi, yaitu Koalisi Indonesia Adil Makmur (KIAM) terdiri dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, dan Partai Berkarya. Ke lima partai pendukung Prabowo-Sandi ini mengantongi sekitar 38,56 persen suara versi hitung cepat.
Partai Berkarya kemungkinan besar tidak akan lolos ambang batas parlemen 4 persen, sehingga hanya empat partai saja dari koalisi pendukung Prabowo-Sandi yang akan masuk parlemen, dengan modal suara pemilih sekitar 36,42 persen.
Kekuatan Koalisi Parlemen
Berapa kursi parlemen yang kira-kira akan diperoleh Koalisi Indonesia Kerja dan berapa untuk Koalisi Indonesia Adil makmur?
Saat ini proses rekapitulasi suara memang masih terus berlangsung dan hasilnya sangat ditentukan oleh penjumlahan perolehan suara partai di 80 Daerah Pemilihan (Dapil). Akan tetapi, secara kasar, jika mengacu pada beberapa pengalaman pemilu sebelumnya, persentase jumlah kursi dapat diperkirakan dengan melihat komposisi suara masing-masing partai koalisi yang lolos ke parlemen.
Dengan modal suara sekitar 53,63 persen, (kemungkinan sangat kasar) KIK akan menguasai sekitar 59,54 persen kursi. Sementara, KIAM dengan modal suara 36,44 persen kemungkinan akan mendapatkan 40,46 persen kursi. Angka 59,54 persen untuk KIK dan 40,46 persen untuk KIAM didapatkan dari hasil ekstrapolasi perolehan hasil hitung cepat, dengan menghilangkan perolehan suara partai-partai yang tidak lolos parliamentary threshold lalu membuat total suara untuk partai-partai yang lolos menjadi 100 persen.
Dengan dasar modal suara yang terbentuk pada masing-masing koalisi, maka secara agregat kita bisa perkirakan KIK akan mendapatkan sekitar 342 kursi dan KIAM sekitar 233 kursi. Namun, karena pemilu kali ini menggunakan model penghitungan kursi Sainte Laque maka beberapa partai besar, khususnya PDI-P yang perolehan suaranya terpaut cukup jauh dengan partai-partai lainnya, berpotensi mendapat efek perolehan kursi yang lebih besar.
Kita belum tahu seberapa besar efek tersebut secara keseluruhan, tetapi kita asumsikan saja terjadi efek akibat penggunaan metode Sante Laque sebesar 1 persen. Artinya, menambah 1 persen untuk koalisi yang memperoleh suara lebih besar dan mengurangi 1 persen untuk koalisi yang perolehan suaranya lebih kecil.
Sebagai akibat dari model penghitungan Sainte Laque, KIK akan makin diuntungkan sehingga jumlah kursinya kemungkinan akan bertambah menjadi 348 kursi atau mendekati ⅔ dari total kursi anggota DPR RI yang 575 buah, dan KIAM akan mendapatkan sekitar 227 kursi.
Dengan kekuatan hampir ⅔ jumlah anggota legislatif, seharusnya posisi Pemerintahan Jokowi-Amin akan cukup kuat di DPR, sehingga agenda-agenda pembangunan dan pengaturan administrasi ketatanegaraan dapat dilaksanakan dengan mulus. Terlebih, koalisi pendukung pemerintah berpotensi membesar setelah pengumuman resmi KPU nanti. Indikasi bakal merapatnya beberapa partai politik, yang saat ini masih terikat pada KIAM, cukup kentara di mata publik.
Pertemuan Komandan Satuan Tugas Bersama Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono serta Ketua Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan dengan Presiden Joko Widodo beberapa saat setelah hitung cepat sejumlah lembaga mengunggulkan kemenangan bagi Jokowi-Amin, dapat dibaca sebagai tanda-tanda ke arah sana. Jika kedua partai itu betul merapat ke Jokowi, maka kekuatan koalisi pemerintah bisa mencapai 76 persen atau ¾ dari total kursi parlemen. Namun, efektifkah koalisi sebesar itu memuluskan langkah Jokowi selama lima tahun ke depan?
Koalisi Semu
Pengalaman selama beberapa rezim pascareformasi menunjukkan, bahwa jumlah kursi koalisi tidak mencerminkan kekuatan pihak eksekutif maupun oposisi. Raihan kursi koalisi pemerintah bisa saja sangat besar, tetapi tidak menjamin akan efektif mendukung atau membela kebijakan pemerintah.
Kinerja koalisi sejak Pemilu 1999 hingga 2014 dapat menjadi pelajaran bahwa koalisi yang tercipta lebih merupakan koalisi semu, bukan koalisi permanen. Setiap partai dan anggota fraksi di DPR selalu memiliki kemudahan untuk berpindah dukungan, tergantung isu yang diperdebatkan.
Kadang, dengan alasan merupakan representasi dari rakyat, fraksi koalisi pun turut mengambil jarak dengan pemerintah. Dalam isu-isu tertentu, fraksi pemerintah jarang menggali alasan yang lebih dalam yang bisa dipakai sebagai argumentasi mendukung kebijakan tertentu dari pemerintah, tetapi melihat dulu seberapa peluang sebuah kebijakan dapat memberi keuntungan bagi partai atau dirinya.
Jika tidak menguntungkan, mungkin mereka akan pindah menjadi oposisi untuk meningkatkan posisi tawar. Jika pun tidak merugikan partai, bargaining power kadang tetap dipakai untuk menunjukkan bahwa persetujuan atau penolakan dalam suatu kasus tertentu memiliki nilai bagi partainya maupun dirinya pribadi.
Kasus terbesar yang pernah terjadi dapat kita baca pada peristiwa pembentukan koalisi untuk mendukung pencalonan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden hingga saat-saat pelengserannya dari kursi eksekutif. Koalisi “Poros Tengah” yang terdiri dari partai-partai Islam yang semula menjadi motor penggerak dukungan bagi Gus Dur agar menjadi presiden, sebagian besar justru berbalik menjadi oposisi yang menurunkannya.
Kasus ini bermula dari dugaan penyalahgunaan dana Yanatera Bulog Rp 35 miliar dan bantuan Sultan Brunei. Dengan segera kasus ini menjadi ajang bagi banyak pihak untuk memunculkan opini dan kepentingannya. DPR menunjukkan “tajinya” dengan menjatuhkan memorandum pertama dan kedua kepada Presiden Gus Dur.
Eskalasi ketegangan antara lembaga legislatif dan eksekutif pun kian tinggi. Dan, “kemarahan” bersama anggota DPR dan elite partai pun muncul, ketika Gus Dur menyebut perilaku anggota DPR seperti anak TK, sehingga sejumlah fraksi mengusulkan Sidang Istimewa MPR. Dalam voting terbuka menyikapi usulan tersebut, 363 dari 457 anggota Dewan yang hadir setuju, 52 menolak dan 42 abstain.
Pada 23 Juli 2001, Gus Dur yang diangkat sebagai presiden pada 1999 dengan suara dukungan 373 anggota Dewan pun dimakzulkan. Menjabat mulai 23 Oktober 1999, Gus Dur dijatuhkan pada 23 Juli 2001. Megawati Sukarnoputri sebagai ketua partai pemenang pemilu yang sesungguhnya, akhirnya naik sebagai Presiden RI.
Fenomena itu menunjukkan bahwa sebuah kasus korupsi dapat menjadi bola liar, sekaligus bola salju, yang menggulung rezim. Hal yang sama tergambar pada rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), lewat Kasus Century.
Baca Juga: Ke Mana Sisa Suara Rakyat Hasil Pemilu?
Menginjak periode kedua masa Presiden SBY, kasus Bank Century mengemuka. Kasus ini terkait persoalan kebijakan pemerintah dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Di sana terdapat dugaan pelanggaran dalam pencairan dana talangan (bailout) Rp 6,76 triliun untuk Bank Century.
Menghadapi kasus tersebut, kedigdayaan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memenangkan Pemilu 2009 dengan suara signifikan 60,8 persen dalam sekali putaran, tak dapat membantu turunnya pamor dan dukungan koalisi. Koalisi partai pendukung pemerintah yang memiliki 421 kursi atau 75,2 persen dari total 560 kursi di DPR tahun 2009, tidak bisa digerakkan untuk mendukung kebijakan pemerintah mengatasi bangkrutnya Bank Century.
Logika bahwa kalau tidak dibantu, maka kolapsnya bank tersebut akan berdampak sistemik, tidak dipercaya oleh sebagian anggota legislatif koalisi pemerintah. Alih-alih mendukung, 315 anggota DPR kemudian memilih opsi berseberangan dengan kebijakan pemerintah dalam kasus tersebut, yaitu menganggap bailout Bank Century menyimpang. Pernyataan itu didukung oleh sebagian fraksi pemerintah dan oposisi. Hanya 212 anggota DPR yang menyetujui adanya bailout Bank Century.
Kinerja DR
Dominannya kepentingan anggota DPR dan partai juga membuat fokus untuk melakukan kerja legislasi jauh dari memadai. Selama periode 2014-2019 misalnya, rezim Jokowi menghadapi kenyataan lemahnya disiplin anggota DPR dalam merampungkan RUU yang sudah ditetapkan menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Sejak menjabat sebagai anggota DPR pada Oktober 2014 sampai Januari 2019, hanya 22 (11,6 persen) RUU prioritas yang berhasil disahkan dari total 189 RUU di Prolegnas. Sepanjang 2018, DPR dan pemerintah hanya mengesahkan 5 buah (10 persen) dari 50 RUU yang ditargetkan rampung dibahas.
Jika Jokowi-Amin memenangkan Pemilu Presiden 2019, bagaimanakah kira-kira kekuatan koalisi mereka di parlemen?
Lemah dalam kinerja, namun sigap berebut jabatan, tampak dalam proses pengesahan Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Usulan revisi UU MD3 yang juga menyebutkan penambahan kursi pimpinan DPR segera ditanggapi. Dimasukkan sebagai agenda pada November 2016, hanya dalam hitungan hari UU tersebut masuk ke daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017.
Masing-masing partai yang sangat berkepentingan dengan posisi wakil pimpinan DPR segera berebut peluang. Sejumlah pihak menilai revisi tersebut bergulir sangat kilat dan sarat kepentingan politik. PDI-P sebagai partai pemenang pemilu legislatif 2014 merasa layak mendapatkan jatah kursi pimpinan. Partai Gerindra, sebagai partai dengan perolehan suara terbesar ketiga pada pemilu legislatif 2014 merasa layak mendapatkan satu jatah.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai dengan perolehan suara terbesar kelima, juga berharap bisa mendapatkan jatah kursi pimpinan DPR. Wakil Ketua Fraksi Partai Nasdem, Johnny G Plate bahkan sempat mengusulkan agar setiap fraksi di DPR memiliki representasi di unsur pimpinan DPR.
Setiap fraksi di DPR juga merasa mewakili kelompok sosial tertentu, sehingga penetapan undang-undang kadang berjalan alot dan koalisi di parlemen tidak mencerminkan soliditas dukungan.
Misalnya dalam pembahasan Perppu Ormas yang akhirnya disahkan pada Oktober 2017. Proses pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas menjadi undang-undang diwarnai pembahasan yang alot sehingga diperlukan voting.
Tujuh fraksi yang menerima Perppu tersebut sebagai undang-undang yakni fraksi PDI-P, PPP, PKB, Golkar, Nasdem, Demokrat, dan Hanura. Sementara, Demokrat bersama dua fraksi koalisi pemerintah, yakni PKB dan PPP bersedia menerima Perppu tersebut dengan catatan agar pemerintah bersama DPR segera merevisi Perppu yang baru saja diundangkan itu.
Sebaliknya, tiga fraksi lainnya yakni PKS, PAN, dan Gerindra menolak Perppu Ormas karena menganggap bertentangan dengan asas negara hukum sebab menghapus proses pengadilan dalam mekanisme pembubaran ormas. Mereka juga khawatir regulasi tersebut disalahgunakan dan menjadi alat pembubaran yang represif.
Selama lima tahun ke depan, sejumlah isu dapat menjadi bola liar apabila koalisi tidak solid dan pemerintah tidak mampu mengelola komunikasi dengan baik. Isu-isu seperti pembangunan infrastruktur, korupsi, utang luar negeri, tenaga kerja, ketimpangan, dan segregasi sosial dapat menjadi pemantik pergeseran kekuatan koalisi.
Kecuali ada ikatan yang lebih permanen, tak mudah bagi Jokowi maupun partai-partai mengendalikan anggota legislatif yang terpilih secara langsung dalam pemilu. Pemilu legislatif dengan sistem daftar terbuka membuat independensi anggota DPR lebih tinggi daripada dalam sistem daftar tertutup.
Presidensial-multipartai
Labilnya koalisi di parlemen membuat pilihan untuk menyederhanakan partai dapat dilihat sebagai jalan yang rasional dalam kalkulasi politik pemerintah. Dengan jumlah partai yang sedikit, hubungan antara pemerintah dengan partai anggota koalisi lebih mudah dikendalikan, dan dapat mengarah ke sebuah koalisi permanen untuk jangka waktu yang lebih lama.
Selain itu, secara esensial sistem presidensial yang berada di dalam sebuah lanskap politik multipartai memang membutuhkan koalisi partai yang solid, karena pada umumnya presiden tidak didukung oleh sebuah partai yang menguasai mayoritas kursi.
Jokowi-Amin misalnya, diusung oleh partai utama PDI-P yang hanya memiliki sekitar 20 persen, sedangkan yang 80 persen (mayoritas) merupakan pemilih partai lainnya. Pemilu serentak (presiden dan legislatif) 2019 yang diharapkan menimbulkan efek menarik kerah (coattail effeck), ternyata tidak signifikan mengangkat suara partai pengusungnya.
Elektabilitas Jokowi-Amin yang diusung oleh PDI-P dan koalisi partai ternyata tidak berpengaruh pada perolehan suara partai tersebut atau partai-partai di dalam koalisi yang mengusung mereka. Dengan demikian sistem presidensial Indonesia akan tetap didukung oleh multipartai yang tidak memiliki partai dominan.
Presidensial-multipartai akan melahirkan presiden minoritas dan menciptakan pemerintahan terbelah (divided government), karena seringkali jumlah kursi mayoritas parlemen bukan dimiliki satu partai atau koalisi partai yang mengusung presiden terpilih.
Pada awal Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla periode I (2014-2019) misalnya, hanya bermodalkan 37,14 persen kursi, padahal koalisi lawannya memiliki 62,86 persen. Kondisi itu menyebabkan presiden sangat sulit mendapatkan dukungan politik di parlemen. Meskipun pemerintahan presidensial punya periode kekuasaan pasti (lima tahun), namun dukungan parlemen menjadi salah satu penentu usia dan efektivitas eksekutif.
Dengan kondisi seperti itu, kompromi dalam pembentukan dan perombakan kabinet dapat menciptakan gambaran wajah pemerintahan yang terlalu akomodatif dan kurang profesional. Intervensi partai koalisi dapat mengganggu hak prerogatif presiden, karena presiden cenderung akan banyak mengakomodasi kepentingan parpol. (LITBANG KOMPAS)