Dunia ndustri dan pemerintah diharapkan bisa bekerja sama dalam menyiapkan sistem investasi sumber daya manusia yang menguasai kecerdasan buatan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kebutuhan implementasi teknologi kecerdasan buatan dalam revolusi industri 4.0 di Indonesia perlu didukung dengan keahlian sumber daya manusia yang sesuai. Dunia ndustri dan pemerintah diharapkan bisa bekerja sama dalam menyiapkan sistem investasi sumber daya manusia yang menguasai kecerdasan buatan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi "Big Ideas: The Impact of Artificial Intelligence on Jobs in Southeast Asia" yang diselenggarakan di Kedutaan Besar Australia, Jakarta, Selasa (21/5/2019).
Pembicara dalam acara itu adalah Managing Director Grab Neneng Goenadi; Senior Expert E-commerce Roadmap PMO, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Indra Purnama; Associate Vice President of Data Bukalapal, Bima Tjahja; dan Director Finance Function Effectiveness PWC, Donny Agustiady.
Bukalapak, sebagai salah satu perusahaan teknologi besar di Indonesia, misalnya, senantiasa membutuhkan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk mendukung performa platform digital mereka dan kepuasan penggunanya.
AI adalah teknologi yang berkemampuan seperti manusia dalam mengolah data. Teknologi itu kerap dilengkapi sensor pengindraan manusia, seperti kamera, mikrofon untuk pendeteksi tutur, hingga kemampuan gerak (robotik).
Bima Tjahja mengatakan, Bukalapak banyak berinvestasi di AI karena teknologi dibutuhkan hampir di seluruh sistem operasi platform digital perusahaan tersebut. Bagaimanapun, investasi dalam teknologi AI perlu didukung keahlian sumber daya manusia (SDM) yang tepat.
"Apa yang dinikmati pengguna saat ini adalah buah karya orang-orang di balik itu. Saat ini, kami punya 1.100 praktisi teknologi. Kebanyakan dari mereka adalah orang Indonesia yang sudah berkarya di luar, lalu kita tarik ke Indonesia," katanya.
Sayangnya, menurut Indra Purnama yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI), pemenuhan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki keahlian terkait teknologi itu masih menjadi tantangan di Indonesia.
"SDM yang memiliki keahlian yang sejalan dengan kebutuhan implementasi AI masih kurang. Padahal kebutuhan dan perkembangan teknologi saat ini begitu cepat," ujarnya.
Kebutuhan industri
Indra mengatakan, belum ada angka pasti berapa banyak SDM dengan keahlian tersebut yang dibutuhkan industri. Hal ini karena belum banyak industri yang telah mengimpelentasikan kecerdasan buatan yang mau membuka data tentang kebutuhan perusahaannya.
Namun demikian, ia berharap baik industri dan pemerintah dapat bekerja sama untuk meningkatkan keahlian SDM dengan memperhatikan pengembangan kemampuan dasar manusia.
"Untuk mengatasi itu, pemerintah bisa mendorong agar institusi pendidikan seperti perguruan tinggi lebih banyak bekerja sama dengan industri. Untuk jangka panjangnya, institusi pendidikan perlu meningkatkan keahlian siswanya agar bisa adaptif mengikuti perkembangan teknologi dan mengolah kemampuan dasar manusia, seperti dalam berpikir logis dan analitikal," tuturnya.
Managing Director Grab Neneng Goenadi, pada kesempatan yang sama, mengatakan, implementasi kecerdasan buatan di Indonesia atau negara-negara lain sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. Kenyataan itu, menurutnya juga tidak perlu dikuti jika bisa dimanfaatkan sebaik mungkin.
"Kecerdasan buatan dipakai untuk inovasi yang lebih efektif dan efisien. Kalau kita tidak mengantisipasinya, kita akan ketinggalan, karena semua orang akan menggunakan itu pada akhirnya," ujarnya.
Terus meningkat
Penggunaan kecerdasan buatan dalam industri dilaporkan terus meningkat. Hal itu terlihat dari hasil survei "Asia/Pacific (Excluding Japan) Cognitive/Artificial Intelligence Adoption" oleh International Data Corporation (IDC) tahun 2017 yang mencakup enam industri di 10 negara.
Di Asia Tenggara, tingkat adopsi AI oleh bisnis adalah 14 persen, meningkat dari 8 persen pada 2016. Tingkat adopsi AI di Indonesia mencapai 24,6 persen, terbesar di Asia Tenggara, disusul Thailand dan Singapura.
Sebanyak 52 persen perusahaan yang disurvei menggunakan AI karena keinginan mengetahui perilaku konsumen. Sebanyak 51 persen responden menyatakan ingin meningkatkan otomatisasi dalam produksi, sementara 42 persen menyatakan ingin meningkatkan produktivitas.