JAKARTA, KOMPAS — Elemen masyarakat sipil, termasuk ormas-ormas keagamaan, hendaknya memelihara kemurnian politik elektoral dari infiltrasi kelompok-kelompok konservatif yang menggunakan agama dan doktrin-doktrin keagamaan untuk kepentingan sektarian kelompok keagamaan tertentu. Apabila ada ketidaksepakatan terkait dengan hasil Pemilu Presiden 2019, sebaiknya digunakan mekanisme konstitusional untuk memperjuangkan keadilan elektoral.
Demikian salah satu butir seruan Setara Institute yang disampaikan Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi, Selasa (21/5/2019), di Jakarta. ”Dalam konteks Pilpres 2019, Setara Institute mengapresiasi setinggi-tingginya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang mengeluarkan sikap resmi untuk tidak mendukung aksi massa terkait dengan pengumuman hasil Pilpres 2019, tidak mendelegitimasi penyelenggara pemilihan umum, dan mengimbau agar digunakan mekanisme konstitusional yang tersedia untuk memperjuangkan keadilan elektoral,” paparnya.
Selain kepada ormas-ormas keagamaan, Hendardi juga mengimbau kepada para elite politik nasional untuk memelihara kedamaian dan suasana kondusif dengan tidak menghasut penggunaan aksi-aksi jalanan dan tindakan melawan hukum sebagai respons atas proses dan hasil Pilpres 2019.
Pemilu kelima pascareformasi ini, menurut Hendardi, jelas belum ideal. Meskipun demikian, pemilu ini sudah menunjukkan tata kelola yang semakin melembaga dengan sistem pengawasan yang berlapis dan berjenjang serta dengan penyediaan institusi dan mekanisme penegakan keadilan elektoral, baik secara substansial maupun prosedural yang lebih baik melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), tim Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu), Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilihan Umum (DKPP), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pemilu kelima pascareformasi ini jelas belum ideal. Meskipun demikian, pemilu ini sudah menunjukkan tata kelola yang semakin melembaga dengan sistem pengawasan yang berlapis dan berjenjang.
Hingga kini, masyarakat pada umumnya telah menunjukkan sikap politik yang lebih matang terkait dengan Pilpres 2019 dan Pileg 2019. Dalam situasi demikian, elite politik hendaknya membuang jauh setiap skenario politik yang justru menarik mundur kemajuan politik dan peradaban publik yang sudah semakin baik pascareformasi.
”Setiap upaya untuk menggunakan cara-cara di luar mekanisme konstitusional yang disediakan oleh aturan main yang disepakati pada dasarnya merupakan tindakan pengkhianatan atas kesepakatan kolektif yang sudah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan pemilu dan penegakan keadilan di dalamnya,” tutur Hendardi.
Sebelumnya, Ketua PBNU KH Said Aqil Siroj melalui situs resmi NU mengimbau kepada seluruh bangsa Indonesia, umat Islam, dan nahdliyin untuk menyikapi hasil rekapitulasi Pilpres 2019 dengan dewasa. ”Mari kita sikapi dengan dewasa, tenang, besar hati, dan lapang dada. Siapa pun yang menang, apa pun hasilnya, harus kita terima,” ujarnya.
Kebesaran hati dan kelapangan dada menerima hasil Pilpres 2019, menurut Said, menunjukkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang dewasa, berbudaya, dan beradab. Karena itu, ia meminta agar tidak ada gerakan atau tindakan yang inkonstitusional.
Kebesaran hati dan kelapangan dada menerima hasil Pilpres 2019 menunjukkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang dewasa, berbudaya, dan beradab.
Hal serupa disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir yang meminta semua pihak dapat menyelesaikan persoalan secara konstitusional sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Sejak April, Haedar telah memperingatkan semua pihak agar menghindari sejauh mungkin usaha-usaha mobilisasi massa, provokasi, dan aksi-aksi politik yang dapat menimbulkan ketegangan, konflik horizontal maupun vertikal, serta anarki yang merugikan kehidupan bersama.
Jaga Indonesia
Seruan menjaga perdamaian pasca-Pilpres 2019 juga disampaikan 12 organisasi pemuda-pemudi lintas iman dan kepercayaan, Selasa (21/5/2019), di Jakarta dalam acara Doa dan Seruan Pemuda-Pemudi Lintas Iman dan Kepercayaan. Anak-anak muda itu berkumpul dan menyampaikan pesan persatuan, ”Merekat Jangan Meretak. Jaga Lisan, Jaga Tulisan, Jaga Indonesia”.
Sebanyak 12 organisasi itu meliputi Forum Temu Kebangsaan Orang Muda, Biro Pemuda dan Remaja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Student Peace Institute, Jaringan Gusdurian, Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia Cabang Jakarta Barat, Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia DKI Jakarta, Dewan Pengurus Nasional Parisadha Hindu Dharma Indonesia, PW Pelajar Islam Indonesia Jakarta Raya, Korwil Brigade Pelajar Islam Indonesia Jakarta, Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia, Serikat Jurnalistik untuk Keberagaman, dan Dewan Pengurus Nasional Pemuda Agama Khonghucu Indonesia.
”Kami orang muda lintas iman dan kepercayaan menyerukan: bagi peserta pemilu yang menemukan catatan atas penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat menempuh upaya penyelesaian melalui mekanisme sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,” kata Sekretaris Eksekutif KWI Antonius Haryanto.
Jajaran kaum muda lintas iman dan kepercayaan itu mengapresiasi perjuangan KPU, Bawaslu, dan DKPP yang telah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam menyelenggarakan pesta demokrasi sesuai dengan amanat konstitusi. Mereka juga memberikan dukungan kepada aparat TNI-Polri untuk menjamin keamanan pasca-pengumuman hasil rekapitulasi perhitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum sesuai dengan amanat undang-undang dan prosedur yang berlaku.
Jajaran kaum muda lintas iman dan kepercayaan itu mengapresiasi perjuangan KPU, Bawaslu, dan DKPP yang telah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam menyelenggarakan pesta demokrasi sesuai dengan amanat konstitusi.
”Bagi seluruh elemen masyarakat umum dan orang muda khususnya untuk bersama-sama menjaga ketenteraman dan keutuhan bangsa dengan tidak mengeluarkan ujaran (jaga lisan), tidak menuliskan hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (jaga tulisan) yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat (jaga Indonesia),” tuturnya.