Menikmati India dalam Wajah Berbeda
Setiap negara punya ciri khas tersendiri. Begitu juga dengan India. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa di ujung timur laut India, ada kelompok masyarakat dengan ciri khas dan budaya yang berbeda jauh dengan India umumnya.
Setiap negara punya ciri khas tersendiri. Begitu juga dengan India. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa di ujung timur laut India, ada kelompok masyarakat dengan ciri khas dan budaya yang berbeda jauh dengan India umumnya.
Ketika bicara India, pasti yang terbayang dalam pikiran kita adalah sosok orang India seperti dalam film India atau Bollywood, dengan pakaian khas India, seperti sari, punjabi, dan kurta. Itu juga yang saya alami ketika mendapat undangan untuk liputan ke India pada akhir November 2018.
Saat menginjakkan kaki di India, saya tidak hanya bertemu dengan warga India yang seperti dalam film Bollywood, tapi juga bertemu dengan masyarakat India dalam sosok dan budaya yang berbeda. Tidak cuma itu, selama di India, saya menyaksikan banyak hal baru.
Ada dua destinasi yang akan saya kunjungi saat di India. Pertama, ke kota Agartala, ibu kota Negara Bagian Tripura, untuk mengikuti rangkaian acara 7th International Tourism Mart (ITM) 2018 yang digelar Kementerian Pariwisata India bekerja sama dengan pemerintah Tripura dan negara-negara bagian di timur laut India.
Selama tiga hari di Agartala, kami mengunjungi Istana Ujjayanta, bangunan kuno peninggalan Kerajaan Tripura yang dibangun tahun 1899-1901 oleh Raja Radha Krishan Manikya. Seluruh delegasi diajak mengunjungi Neermahal—istana di atas air—yang lokasinya sekitar 53 kilometer dari kota Agartala. Meski di atas air, udaranya panas.
Oh ya, selama di Agartala, baik di tempat acara maupun di hotel, menunya selalu ada kuliner khas India, yang kebanyakan masakan kari dan rempah-rempah, roti parata, serta menu makanan yang pedas. Dan, tentu saja, ada teh susu atau teh rempah (chai masala). Di setiap momen akan disuguhkan teh campuran susu, gula, dan rempah.
Kota Agartala mirip dengan beberapa daerah ibu kota kabupaten di Indonesia, yang belum punya mal tapi hanya deretan pusat perbelanjaan. Cuma, di kota ini, sapi berkeliaran bebas sehingga kalau berjalan mesti hati-hati jangan sampai menginjak kotoran hewan. Di pagi hari, sejumlah warga Agartala mengenakan sarung, nongkrong sambil sikat gigi.
Setelah Agartala, destinasi kedua yang saya datangi adalah Arunachal Pradesh, salah satu negara bagian di India, yang lokasinya berada di bagian paling timur India, berbatasan dengan China, Bhutan, dan Myanmar.
Cuma, di kota ini, sapi berkeliaran bebas sehingga kalau berjalan mesti hati-hati jangan sampai menginjak kotoran hewan.
Daerah ini berada di kawasan pegunungan dan memiliki cerita sejarah yang menarik karena dihuni 26 suku besar dan hampir semua penduduknya beragama Buddha, yang hidup dengan tradisi dan adat yang berbeda dengan India umumnya.
Untuk menuju Arunachal, kami menggunakan pesawat dengan penerbangan domestik dari Agartala ke Guwahati. Para jurnalis dari sejumlah negara dibagi dalam beberapa kelompok sesuai destinasi wisata. Saya satu rombongan dengan Mayumi Ishii dan Atsushi Umehara (wartawan dari Jepang) serta Gandhi Dharang, wartawan dari salah satu media di India, yang sekaligus menjadi pemandu kami.
Kami tiba di Bandar Udara Guwahati, Minggu (26/11/2018) pagi. Hiromoni, pengemudi mobil yang menjemput kami, langsung tancap gas menyusuri sepanjang jalan di wilayah Azzam. Setelah makan siang di restoran India, kami melanjutkan perjalanan menanjak menuju Bhalukpong. Di pinggir jalan, kami sering melihat kios yang menjual aneka olahan cabai yang sudah dikemas di dalam stoples kecil.
Atsushi paling tertarik pada olahan cabai. Mobil beberapa kali berhenti karena Atsushi ingin melihat dari dekat olahan cabai, sekaligus mewawancarai penduduk setempat. Atsushi tergila-gila pada bhut jolokia, cabai rawit India yang dikenal pedas, bahkan terkenal dengan sebutan ghost pepper.
Sebenarnya, ada jenis cabai lain, yakni byadgi chilli. Namun, bhut jolokia-lah yang paling menarik perhatian Atsushi. Konon, dari cerita-cerita, cabai superpedas ini dikembangkan pasukan tentara India sebagai senjata untuk membutakan mata musuh.
Cerita-cerita Atsushi soal bhut jolokia membuat perjalanan kami melewati wilayah dataran tinggi di Arunachal Pradesh tidak terasa. Padahal, selepas dari Bhalukpong, jalur yang kami lewati sungguh menegangkan.
Jalan menanjak dengan tebing dan jurang terjal. Beberapa kali kami harus berhenti karena berpapasan dengan mobil di tanjakan yang sempit atau karena ada pekerjaan pembuatan jalan. Kami beruntung, Hiromoni sudah mengenal jalur tersebut.
Sesekali kami bertemu yak, binatang asli Pegunungan Himayala yang bentuknya mirip kerbau, tapi berbulu hitam lebat.
Kamp tentara India
Oh ya, kendati di wilayah pegunungan sepi, ribuan tentara tetap berjaga di wilayah tersebut. Mungkin karena daerah perbatasan. Banyak kamp tentara India yang kami lewati. Namun, di kamp itu ada kafe dan toko suvenir. Menuju Dirang, kami mampir minum teh susu di sebuah kamp.
Semakin menanjak, perjalanan kami semakin menegangkan dan semakin sedikit kampung dan penduduk yang kami lihat. Sesekali kami bertemu yak, binatang asli Pegunungan Himayala yang bentuknya mirip kerbau, tapi berbulu hitam lebat. Di beberapa bukit batu, kami melihat ibu-ibu tengah memecah batu.
Menjelang maghrib, kami sampai di Desa Monpa yang terkenal dengan nama Dirang Dzong. Perkampungan kuno ini berada di sebuah bukit tinggi yang dikelilingi benteng batu dan bersebelahan dengan jurang yang berisi sekitar 50 keluarga.
Kami bertemu dengan penduduk lokal yang berdiam di rumah-rumah batu berusia ratusan tahun dan beberapa anak yang tengah bermain di luar benteng. Tumpukan kayu bakar terlihat di hampir semua rumah kuno tersebut.
Baca juga: Mendapat Kekerasan Saat Meliput Dampak Pembangunan MRT
Karena sudah gelap dan tubuh kami mulai menggigil kedinginan, Gandhi mengajak kami mampir di sebuah homestay yang ternyata milik orangtua dari Pema Wangge, sahabat Gandhi yang bekerja di World Wildlife Fund (WWF) India.
Suguhan chai masala menghangatkan badan kami. Kami nongkrong di dapur dekat perapian bersama dua pasang turis dari Perancis yang saat itu juga tengah menghangatkan badan.
Saat Atsushi dan Mayumi bercerita tentang yak, tiba-tiba Kandhu Wangmu (24) putri pemilik homestay, bergerak keluar dari dapur dan mengambil potongan daging yak yang dijemur, kemudian memanggangnya. Sesaat kemudian kami menikmati gurihnya daging yak panggang tersebut.
Melanjutkan perjalanan di tengah kegelapan sekitar dua jam, di tengah kedinginan, kami memasuki homestay yang hanya dijaga seorang ibu. Di sana, kami menikmati sayur sawi rebus hangat dan telur dadar dengan cabai yang terasa nikmat sekali. Di tengah makan malam, Pema menyusul kami, menemani dengan berbagai cerita tentang Dirang Dzong, terutama sejarah penduduk Dirang Dzong.
Baca juga: Panjat Pohon dan Naik ”Trail” demi Hitung Cepat Kompas
Sekadar informasi, selama liputan di Arunachal Pradesh, kami menginap di homestay. Selain bisa duduk di dapur langsung, kami juga memesan makanan kepada tuan rumah sesuai selera. Oh ya, di Arunachal Pradesh, kebanyakan penduduknya vegetarian. Makanan dari sayur-sayuran organik menjadi menu keseharian.
Melepaskan lelah dengan berjoget
Dari Dirang, petualangan kami berlanjut. Hiromoni membawa kami mengelilingi kawasan Pegunungan Himalaya yang menjadi pengalaman tak terlupakan.
Sepanjang jalan, mata kami dipuaskan dengan pemandangan alam yang eksotik. Puncak Himalaya yang berselimut salju seakan menjadi magnet bagi setiap orang yang memandang. Terutama saat di Sela Pass (4.170 meter di atas permukaan laut), dengan Danau Sela yang menawan, serasa berada di negeri awan.
Saat lelah, kami mampir di warung makan. Saat tangan terasa beku karena suhu udara hampir mencapai 0 derajat celsius, kami akan meminta Hiromoni menghentikan mobil di pinggir jalan. Lalu, kami akan berjoget ala tarian India dengan iringan lagu-lagu India untuk menghangatkan badan.
Dua hari kami berada di Tawang, kota yang paling sering dikunjungi wisatawan karena terkenal dengan negeri atau rumah biara. Liputan di biara-biara, bertemu dengan biarawan dan biarawati, termasuk biarawan anak-anak yang sangat sederhana, seakan membawa kami pada perjalanan spiritual.
Di Biara Urgelling, misalnya. Biara kuno yang dibangun tahun 1489 Masehi itu, yang merupakan tempat kelahiran Tsangyang Gyatso (Dalai Lama Ke-6), kami mendapatkan banyak cerita tentang perjalanan sejumlah dalai lama.
Saking ingin menggali lebih banyak informasi, kami dua kali mendatangi biara tersebut. Apalagi kamera saya pada saat datang pertama hampir habis baterai. Jadi, saat datang lagi, kesempatan itu saya manfaatkan untuk mengambil foto sebanyak-banyaknya.
Dari perjalanan liputan bersama dua wartawan Jepang tersebut, satu hal yang membuat saya kagum, mereka sangat menikmati ketika berjalan jauh, saat turun ke lembah dan naik ke bukit meskipun jaraknya lebih dari 1 kilometer. Selain keindahan alam yang menakjubkan, keramahan penduduk yang wajahnya lebih mirip orang Tibet ini juga membuat saya ingin kembali lagi ke Arunachal Pradesh.