Tatapan Sendu dari Tanah Abang
Heri Hermawan (27) muram. Tanpa kaos penutup badan, ia termenung di sudut Pasar Tasik yang kosong. Tatapannya sendu. Seulas senyum dipaksakannya ketika dihampiri.
Sendunya kuli panggul di Pasar Tasik ini amat beralasan. Uang di saku Heri tersisa Rp 50.000, hanya cukup untuk makan sehari saja. Padahal, istri dan dua anaknya menunggu di rumah.
"Gimana lagi? Bingung nggak kerja. Stres nggak bisa dapat uang. Massa aksi berulah, kami rakyat kecil yang susah," ucap Heri, Kamis (23/5/2019) di Pasar Tasik.
Pasar Tasik berada di Jalan Cideng Timur Raya, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Disini ajang bertemunya penyuplai aneka pakaian—utamanya gamis asal Tasikmalaya, Jawa Barat—dengan pembelinya. Sebagian penjual berasal dari Jabodetabek.
Mereka berjualan hari Senin dan Kamis saja, pukul 04.00-08.00. Mobil-mobil bermuatan aneka jenis garmen ini langsung buka pintu sebagai penanda "kios" berjalan siap menyambut pembeli. Lantaran langsung mengambil dari konveksi, harga jual pakaian lebih murah sehingga kerap dijadikan rujukan bagi pedagang besar maupun pembeli eceran.
Dari perdagangan grosiran itulah, para kuli panggul seperti Heri turut kecipratan rezeki. Heri diupah Rp 300.000 sebagai hasil memanggul muatan dari tiga mobil setiap kali ada Pasar Tasik.
Lapak-lapak yang kosong di Pasar Tasik, Jalan Cideng Timur Raya, Jakarta, Kamis (23/5/2019).Sejak Rabu malam hingga Kamis dini hari, pria asal Rangkasbitung, Banten, bersama para kuli panggul lain menghabiskan waktu di mes yang terletak dalam kompleks Pasar Tasik. Mereka istirahat sampai transaksi di Pasar Tasik dimulai.
Apesnya, kemarin Heri tidak mendapat sepeser pun. Pengelola menutup Pasar Tasik akibat kerusuhan di kawasan Tanah Abang, sehari sebelumnya.
"Saya orang susah. Saya rugi karena aksi massa ini. Gimana mau nyari hidup?" katanya lemas.
Baca juga : Kerugian Ekonomi akibat Kerusuhan Diprediksi Rp 1,5 Triliun
Selain Heri, ada ratusan bahkan ribuan orang yang menggantungkan hidup di Pasar Tasik. Mereka mulai dari pedagang, pembeli, kuli panggul, sampai tukang ojek.
"Pasar tutup karena pengelola tidak mau mengambil risiko. Tahu sendiri kan, aksi massa jadi anarkistis. Kasihan pedagang dan pembeli kalau terjadi apa-apa," kata Jamaluddin (40), petugas keamanan Pasar Tasik.
Menurut Jamaluddin, pasar baru dibuka lagi Kamis (30/5). Pengelola telah menyebarkan pemberitahuan penutupan pasar kepada pedagang melalui grup WhatsApp. Pedagang sempat protes, tetapi menerima keputusan itu setelah menonton aksi massa yang anarkistis di televisi.
Pembeli yang datang kemarin pun kaget melihat pasar lengang dan akhirnya pulang dengan wajah kecewa.
M Agus (46), misalnya, sudah berencana berbelanja di Pasar Tasik, guna mengisi stok kiosnya di Pasar Grogol. Momentum menjelang Lebaran ini digadang-gadang menjadi lahan mencari tambahan uang.
"Stok baju di kios sudah habis dan saya tidak bisa jualan. Sudah dua hari berhenti jualan. Tadinya ingin dapat barang, biar sedikit tidak masalah, asal bisa diputar uangnya untuk dagang," ucapnya.
Melihat Pasar Tasik sepi, Agus pun mulai terbayang melayangnya untung yang bakal diraihnya. "Ya usaha macet, ekonomi tidak jalan, lumpuh. Orang dagang mau cari uang. Sekarang waktunya orang dagang cari uang karena momennya tepat untuk tambah penghasilan," katanya.
Selain dari Jakarta, banyak pembeli datang dari Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera. Ada pula konsumen asal Filipina dan Malaysia yang rutin ke Tanah Abang ini.
Seorang warga negara asing menyayangkan penutupan sementara Pasar Tasik. Padahal, garmen di Pasar Tasik disukai banyak orang di negaranya.
"Model (garmen) dari Indonesia berbeda. Harganya sama, tetapi beda modelnya. Kualitasnya juga bagus. Kainnya bagus. Perempuan di negara saya suka corak-corak garmen Indonesia," ucap warga Malaysia yang enggan menyebutkan namanya.
Ia mengaku rutin 2-3 kali sebulan ke Pasar Tasik untuk belanja pakaian. Sekali belanja, ia membeli 60-70 helai garmen. "Saya harap situasi di Indonesia baik-baik saja."
Tidak laku
Sementara, pedagang yang tetap berjualan di kawasan Tanah Abang, harus gigit jari lantaran pengunjung sepi.
Abdulah (45), pedagang daster di depan Pasar Blok B, berniat buka lapak demi mendapatkan uang untuk keluarga. Selama dua hari sebelumnya, ia tidak berdagang dan kehilangan pendapatan Rp 3 juta-Rp 4 juta.
Namun, setengah hari kemarin, baru dua potong daster yang laku, atau setara Rp 100.000.
Biasanya, omzetnya mencapai Rp 1 juta dari menjual 20-40 potong daster dan kaos oblong. Apalagi saat bulan puasa seperti ini, omzetnya biasanya meningkat menjadi Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per hari.
Pada Kamis siang, Pasar Blok A, B, C, dan G Tanah Abang masih tutup.
Arief Nasrudin, Direktur Utama Perumda Pasar Jaya, menjelaskan, sejak Rabu hingga Kamis, pasar di Tanah Abang tutup. Sebanyak 14.000 pedagang tidak berjualan. Saban hari, transaksi sekitar Rp 200 miliar lebih, sehingga kerugian akibat pasar tutup dua hari lebih dari Rp 400 miliar.
Baca juga : Tanah Abang Rugi Rp 400 Miliar Lebih
Sementara, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan, tutupnya Pasar Tanah Abang membuat pedagang kehilangan potensi pendapatan Rp 360 miliar.
Situasi inipun membuat pakaian jadi menumpuk di gudang-gudang pabrik tekstil di Bandung, Purwakarta, dan Tasikmalaya.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Provinsi DKI Jakarta Sarman Simanjorang memprediksi kerugian akibat lumpuhnya aktivitas perdagangan di Jakarta mencapai Rp 1 triliun-1,5 triliun.
Baca juga : Pasar Tanah Abang Baru Buka Sebagian