UKM PIB Jadi Tumpuan Pembedahan Nasionalisme yang Kritis
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Permenristek dan Dikti No 5/2018 mengembalikan gerakan nasionalis ke kampus. Hal ini diharapkan dapat membuka wawasan sivitas akademika kampus mengenai nasionalisme.
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 55 Tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi Bangsa dalam Kegiatan Kemahasiswaan ditargetkan bisa membuka wawasan sivitas akademika kampus mengenai nasionalisme dan moderasi beragama. Targetnya, pendekatan ini menjadi kontra narasi bagi pemikiran ekstrem dan transnasionalis yang masuk ke lingkungan perguruan tinggi.
"Metodenya melalui Unit Kegiatan Mahasiswa Pembinaan Ideologi Bangsa (UKM PIB) yang menjadi kegiatan wajib pada penataran mahasiswa baru," kata Ketua Umum Perhimpunan Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) R Saddam Al-Jihad ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (30/5/2019).
Ia menjelaskan, peraturan tersebut lahir melalui dialog Kelompok Cipayung Plus, sebuah forum kerja sama organisasi-organisasi kemahasiswaan berlandaskan nasionalisme dan keagamaan dengan pemerintah. Mereka menanggapi hasil riset Badan Nasional Penanggulangan Terorisme tahun 2018 yang mengungkapkan bahwa kegiatan di kampus banyak disusupi ajaran aliran politik transnasionalisme yang menolak Pancasila dan UUD 1945.
Saddam menjelaskan, ajaran tersebut dilakukan melalui kegiatan bimbingan keagamaan di kampus yang dilakukan oleh UKM. Hal ini mulai gencar dilakukan sejak tahun 1974 ketika pemerintah Orde Baru melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan aturan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).
Mendikbud saat itu, Daoed Joesoef, mengatakan, peraturan tersebut lahir karena suasana kampus tidak kondusif untuk perkuliahan. Berbagai organisasi terafiliasi partai politik aktif di kampus secara terang-terangan melakukan politik praktis. "Kampus adalah tempat membedah gerakan politik secara intelektual, bukan berpolitik. Makanya semua organisasi yang berasal dari luar kampus tidak boleh membuka cabang di perguruan tinggi," tuturnya. (Kompas, 8 Agustus 2016)
Akibatnya, organisasi mahasiswa yang menyebarkan moderasi beragama dan nasionalisme turut terkena imbas dan harus keluar dari kampus. Menurut, Saddam, hal ini membuat gerakan transnasional yang berasal dari dalam kampus itu sendiri berkembang. Permenristekdikti 55/2018 resmi mencabut aturan mengenai NKK/BKK sehingga gerakan nasionalis seperti Kelompok Cipayung Plus bisa kembali ke kampus.
Kelompok Cipayung Plus terdiri dari HMI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia, dan Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia. Mereka menandatangani Kesepakatan Cipayung pada 22 Januari 1972 sebagai bentuk komitmen kepada nasionalisme dan moderasi beragama.
UKM PIB dikelola oleh para kader Cipayung Plus yang mengadakan berbagai kegiatan mahasiswa mulai tahun ajaran 2018/2019. Mereka bekerja sama dengan rektorat, dekanat, dan unit kegiatan kampus lainnya. Bentuknya bisa berupa diskusi, seminar, dan pertunjukan seni.
Berpikir kritis
Saddam mengutarakan, UKM PIB tidak menggunakan metode penataran Pancasila seperti zaman Orde Baru. Mereka membuka berbagai diskusi membahas topik mengenai nasionalisme dan agama. Diharapkan, banyak mahasiswa yang bertanya dan mengajukan gagasan mereka terkait bentuk nasionalisme dan agama, termasuk juga berbagai kritik kepada pemerintah dan kampus.
UKM PIB tidak menggunakan metode penataran Pancasila seperti zaman Orde Baru. Mereka membuka berbagai diskusi membahas topik mengenai nasionalisme dan agama.
"Selama ini, indoktrinasi membuat sivitas akademika memakai kacamata kuda bahwa nasionalisme tidak sejalan dengan agama. Padahal, ada banyak teori, tafsir, dan dalil keagamaan yang menyatakan sebaliknya. Tujuan UKM PIB adalah mengajak mahasiswa membangun diskursus agar mereka berpikir kritis dan mau mencari informasi dari berbagai sumber. Mimbar debat disediakan di UKM PIB " ujarnya.
Sementara itu, peneliti politik di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakkir berpendapat, kader-kader Cipayung Plus sebenarnya masih banyak bersuara di perguruan-perguruan tinggi. Namun, mereka menghadapi tantangan berat karena penyebaran ideologi transnasional di kampus erat berhubungan dengan perubahan di masyarakat pasca tahun 1994 akibat gerakan islamisasi sehingga masyarakat semakin kaku dan intoleran terhadap perbedaan.
"Perlu disadari bahwa mahasiswa sudah banyak yang terindoktrinasi dengan paham intoleran sejak sebelum masuk kuliah. Rumah, sekolah, dan lingkungan pergaulan mereka menjadikan pemikiran intoleran sebagai norma," katanya.
Ia mengamati, sejak tahun 2010 dalam Kelompok Cipayung Plus terjadi perubahan dalam advokasi nasionalisme dan moderasi beragama. Sebelumnya, mereka banyak menggunakan teori politik dan sosial yang oleh masyarakat dinilai terlalu sekuler. Namun, kini mereka banyak melakukan pendekatan dengan berbagai tafsir kitab suci dan rujukan keagamaan lainnya yang membuka diskusi lebih lanjut dan pemikiran kritis. Hal ini berguna untuk memperkaya pandangan masyarakat bahwa nasionalisme dan menghargai perbedaan adalah bagian dari beragama.