Empat kali Lebaran saya lalui di daerah berjuluk ”Bumi Pancasila”. Pada suatu Ramadhan, saya menempuh perjalanan berat selama enam jam dari Palangkaraya demi menengok ”Kampung Toleransi”, tempat toleransi tidak sekadar slogan semata.
Oleh
Dionisius Reynaldo Triwibowo
·5 menit baca
Empat kali Lebaran saya lalui di daerah berjuluk ”Bumi Pancasila”. Pada suatu Ramadhan, saya menempuh perjalanan berat selama enam jam dari Palangkaraya demi menengok ”Kampung Toleransi”, tempat toleransi tidak sekadar slogan semata.
Bumi Tambun Bungai, Bumi Pancasila. Begitulah semboyan yang disematkan pada Provinsi Kalimantan Tengah karena keragaman suku, agama, dan budaya warganya. Sudah empat tahun saya ditugaskan harian Kompas untuk meliput berbagai peristiwa di provinsi ini.
Pada tahun 2017, saya mengunjungi salah satu desa yang dikenal dengan sebutan ”Kampung Toleransi”. Namanya, Desa Tumbang Kalang, di Kabupaten Kotawaringin Timur.
Sebelum masuk ke desa itu, mobil yang saya tumpangi tidak bisa menembus jalan berlumpur yang menanjak.
Butuh waktu lebih kurang enam jam menggunakan mobil untuk sampai tempat ini. Jaraknya 230 kilometer dari Kota Palangkaraya, tempat saya tinggal dan juga ibu kota Provinsi Kalteng. Jalan berlubang bahkan jalan bertanah saya lalui untuk sampai ke sana.
Sebelum masuk desa itu, mobil yang saya tumpangi tidak bisa menembus jalan berlumpur yang menanjak. Seingat saya, kami mencobanya sebanyak empat kali, tetapi ban mobil berputar di tempat dan sesekali jalan mundur, tergelincir.
Akhirnya, saya memutuskan untuk mencari ojek. Sayangnya, tak ada ojek di sekitar situ. Saya kemudian memberanikan diri memberhentikan salah satu sepeda motor yang melintas.
Pengendaranya kemudian saya ketahui adalah Ilham Fauzi, petugas KUA yang tinggal di Tumbang Kalang. Ia pun dengan baik hati memberikan tumpangan. Perjalanan kami lalui lebih kurang 10 kilometer. Beberapa kali sepeda motor tergelincir karena lumpur yang tebal dan tak ada aspal jalan.
Begitu sampai, sinar matahari memudar digantikan pendar merah. Suara azan pun terdengar dari Masjid Al-Haddi. Saya dan Ilham singgah sebentar di rumah Haidinsyah yang saat itu menjabat Kepala Desa Tumbang Kalang.
Di rumah Haidinsyah sudah ramai. Keluarga Haidinsyah sedang sibuk memasak di dapur. Ternyata mereka menyiapkan menu buka puasa.
Tak lama setelah meneguk air minum dan teh manis dingin untuk berbuka, Ilham izin pamit. Meski diajak Haidinsyah untuk berbuka di rumahnya, Ilham menolak. ”Anak istri menunggu di rumah,” ujar Ilham seraya pamit.
Di dalam rumah Haidinsyah terlihat pemandangan menarik. Di tembok rumahnya terpasang salib dan beberapa gambar kudus umat Kristiani.
Setelah berbuka, saya diajak Haidinsyah untuk mengunjungi Masjid Al-Haddi. Betapa terpukaunya saya, dari kejauhan terlihat empat bangunan megah dan kokoh.
Awalnya saya berpikir Haidinsyah adalah warga Muslim karena beberapa dari keluarganya mengenakan hijab. Ternyata ia memeluk agama Kristen Protestan. Ramai keluarga yang datang adalah keluarga dari kakak Haidinsyah yang memeluk agama Islam.
Setelah berbuka, saya diajak Haidinsyah untuk mengunjungi Masjid Al-Haddi. Betapa terpukaunya saya, dari kejauhan terlihat empat bangunan megah dan kokoh.
Keempatnya adalah Balai Basarah umat Hindu Kaharingan, Gereja Katolik Stasi Kudus, Gereja Kristen Eka Shinta, dan Masjid Al-Haddi. Gema azan dan lantunan doa dari masjid menembus dinding-dinding gereja dan balai Basarah.
Saya berdiam sebentar. Meski bukan Muslim, satu yang saya pahami, suara azan seperti suara yang membawa keteduhan, terasa damai. Suara yang sering saya dengar sejak kecil. Boleh dikata, saya mendengarnya hampir seumur hidup saya, tetapi tak pernah bosan.
Kali ini saya menikmati suaranya sambil duduk di samping gereja.
Bumi Pancasila
Desa yang dihuni 502 keluarga itu berasal dari berbagai suku, antara lain Batak, Jawa, Banjar, dan suku asli Dayak. Bercampurnya budaya, suku, dan ras menjadi gambaran kecil kehidupan toleransi warga Kalteng.
Keberagaman itu muncul karena banyak faktor, seperti transmigrasi, hubungan pernikahan, dan pekerjaan. Sejak tahun 1980-an, banyaknya perusahaan kayu dan perkebunan sawit yang dibuka di sekitar desa membuat banyak pendatang dan pekerja yang berasal dari sejumlah daerah di Indonesia tinggal menetap di situ.
Hal itulah yang menjadi alasan, mengapa pemerintah membangun empat tempat ibadah di desa tersebut. Tempat ibadah itu menjadi bentuk upaya pemerintah merekatkan warganya dalam keberagaman.
Pada 11 Juni 2011, Provinsi Kalteng dideklarasikan sebagai Bumi Pancasila oleh Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang bersama Yayasan Indonesia Satu. Deklarasi dilaksanakan di Tugu Soekarno di Jalan Ahmad Yani, Kota Palangkaraya. Di tugu ini, Soekarno meletakkan batu pertama yang menandai penetapan Kalteng sebagai provinsi baru di Indonesia pada 1957.
Saat itu, muncullah semboyan ”Bumi Tambun Bungai, Bumi Pancasila”. Tambun dan Bungai diambil dari nama tokoh spiritual suku Dayak yang mempertahankan wilayah Borneo ratusan tahun silam. Semangat dua kakak beradik ini diyakini menjadi semangat persatuan yang sejalan dengan nilai Pancasila.
Cerita dua bersaudara itu ditulis Tjilik Riwut dalam kesusasteraan Dayak yang berjudul Tetek Tanum (Kalimantan Membangun halaman 392, tahun 1979). Hingga saat ini, sebutan ”Bumi Tambun Bungai” bertransformasi menjadi semangat masyarakat Dayak untuk bersatu dalam bingkai NKRI.
Falsafah Betang
Keberagaman di Kampung Toleransi tidak tercipta begitu saja. Leluhur suku Dayak sudah mengajarkan hidup toleransi dari falsafah rumah betang atau rumah panjang khas suku Dayak.
Antropolog Dayak, Marko Mahin, mengatakan, rumah betang menjadi simbol keberagaman karena di rumah itu satu keluarga dibebaskan memilih agama masing-masing. Bahkan, tiap penghuni saling mendistribusikan kesejahteraan kepada penghuni lain.
”Orang Dayak itu pemburu dan petani, jadi kalau satu orang dapat rusa dari hutan, maka dinikmati bersama-sama. Kebiasaan itu jadi tradisi dan dijaga sampai saat ini,” kata Marko.
Menurut Marko, bagi masyarakat Dayak, agama menyempurnakan identitas kesukuan mereka. Orang Dayak tidak akan memilih kalau agama dipandang mengajarkan dan menyebarkan kebencian.
Kampung Toleransi menjadi contoh kecil keberagaman di Indonesia yang penuh ragam suku, budaya, dan agama. Kampung Toleransi menjawab persoalan kemajemukan di Indonesia dan menunjukkan bahwa di pelosok Kalimantan Tengah toleransi terus dijaga dan dirawat. Hal itu mengalir di tiap nadi warga Kampung Toleransi.
Pada momen Lebaran ini, hal yang paling saya tunggu adalah kami yang non-Muslim bersilaturahmi ke rumah handai taulan yang beragama Islam.
Banyak makanan, kue-kue lokal, dan senda gurau di sana. Saat Natal, kami pun bersiap menerima kunjungan teman-teman yang non-Kristen.
Sederhana. Namun, begitulah kehidupan di Bumi Pancasila.