Penyakit Huntington sejatinya sudah dikenal oleh masyarakat Eropa sejak abad pertengahan, umumnya disebut "penyakit orang gila menari". Alasannya, salah satu ciri penyakit Huntington adalah pasien tak bisa mengendalikan gerak-gerik tubuhnya.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Penyakit Huntington masih asing di telinga orang Indonesia. Biasanya, penyakit terkait penurunan kerja saraf otak yang lazim dikenal adalah parkinson dan demensia. Studi mengenai penyakit Huntington juga belum dilakukan di Tanah Air, padahal tidak menutup kemungkinan penyakit ini ada di antara kita.
Penyakit ini sejatinya sudah dikenal oleh masyarakat Eropa sejak abad pertengahan, umumnya disebut "penyakit orang gila menari". Alasannya karena salah satu ciri penyakit Huntington adalah pasien tidak bisa mengendalikan gerak-gerik tubuhnya. Seluruh tungkai dan kepalanya bergerak, terkadang bahkan memukul tubuh pasien itu sendiri.
Selain bergerak tanpa kendali, penyakit Huntington juga mengakibatkan penderitanya mengalami gangguan kejiwaan karena penurunan kinerja sel otak. Organ-organ tubuh seperti jantung dan paru-paru juga mengalami kerusakan fungsi sehingga mengakibatkan pasien mudah terkena berbagai penyakit lain. Umumnya, penyakit Huntington berujung kepada kematian akibat kerusakan saraf otak yang berimbas kepada organ lain.
Pada tahun 1872, seorang dokter dari Amerika Serikat bernama George Huntington menemukan kasus satu keluarga yang memiliki penyakit menari ini. Ia berhipotesis bahwa penyakit ini diturunkan secara genetis dari orangtua ke anak. Sejak saat itu, penyakit ini dikenal dalam komunitas ilmiah sebagai penyakit Huntington (Huntington\'s Disease).
Gen ayah
Profesor Studi Genetika Molekuler Universitas Milano, Italia, Elena Cattaneo ketika memberi kuliah di Lembaga Eijkman, Jakarta pada Januari lalu menjelaskan bahwa penurunan gen Huntington lebih kuat dan berbahaya dari ayah ke anak dibandingkan dari ibu ke anak.
"Reproduksi gen berpenyakit ini pada anak bisa dua hingga tiga kali lebih banyak jika didapat dari ayah dibandingkan dari ibu," paparnya.
Ia mengatakan, penyakit Huntington adalah karena mutasi Exon 1 pada Kromosom 4. Di dalam setiap Exon ada gen yang disebut CAG. Pada manusia sehat gen CAG tersusun secara berurutan sebanyak 9 hingga 35. Akan tetapi, jika jumlah urutan CAG adalah 36 ke atas, orang tersebut mengidap penyakit Huntington.
"Orang dengan jumlah urutan CAG 40 hingga 45 biasanya mulai menunjukkan gejala penyakit Huntington di umur 40 tahun," kata Cattaneo. Semakin tinggi jumlah CAG, semakin dini gejala tersebut tampak.
Riset
Penelitian mendalam mengenai penyakit Huntington dilakukan oleh pakar saraf dari Amerika Serikat, Nancy Wexler, pada tahun 1960-an. Ia mendapati ibunya menunjukkan gejala penyakit ini di usia senja. Sebelumnya, kedua paman yang merupakan saudara ibunya juga meninggal karena penurunan fungsi otak akibat penyakit Huntington.
Asumsi sebelumnya adalah penyakit Huntington hanya menyerang laki-laki. Perempuan sebagai pembawa gen biasanya tidak menunjukkan gejala. Akan tetapi, kasus yang menimpa ibunya membuat Wexler bertekad melakukan riset mengenai asal muasal berkembangnya penyakit ini.
Ia kemudian memboyong tim peneliti yang terdiri dari 50 orang dokter, pakar saraf, dan mahasiswa kedokteran ke Danau Maracaibo di Venezuela pada tahun 1979. Di sekitar danau itu terdapat kampung-kampung yang hampir semua warganya mengidap penyakit Huntington. Selama 20 tahun mereka meneliti 18.000 orang dengan penyakit itu di Danau Maracaibo.
Wexler dan timnya menyusun silsilah warga dan menemukan bahwa mereka memiliki satu nenek moyang yang sama, seorang perempuan bernama Maria Concepcion Soto. Ia menunjukkan gejala penyakit Huntington ketika berusia dewasa muda di awal abad ke-18. Anak-anak yang dilahirkannya juga memiliki gejala yang sama.
Soto dan keturunannya kemudian diasingkan penduduk ke bantaran Danau Maracaibo. Mereka terpaksa menikahi kerabat yang masih berhubungan darah sehingga anak cucu yang dilahirkan semua memiliki penyakit Huntington. Penelitian terhadap keturunan Soto ini yang membuahkan penemuan adanya mutasi gen CAG pada Exon 1 di Kromosom 4.
"Melalui penelitian Wexler dan tim juga kami mendapati bahwa anak-anak yang terlahir dengan urutan CAG lebih dari 60 sudah menunjukkan gejala dari umur di bawah 10 tahun dan tidak bisa hidup mencapai pubertas," ujar Cattaneo.
Belum terobati
Cattaneo mengatakan, obat penyakit Huntington belum ditemukan. Kemajuan teknologi medis sejauh ini adalah melakukan terapi sel punca guna menekan jumlah urutan CAG. Di Italia misalnya, sel punca disuntikkan ke sumsum pasien. Sel kemudian membentuk sel-sel baru yang memperbaiki sel-sel yang sudah rusak. Metode ini memperlambat manifestasi gejala penyakit Huntington pada pasien.
Sejak tahun 2016 Universitas Copenhagen si Denmark melakukan penelitian mengenai transplantasi sel glial otak ke tikus berpenyakit Huntington. Sel glial adalah bagian dari otak yang rusak akibat penyakit ini. Ketika tikus dengan penyakit Huntington dibedah otaknya dan ditransplantasi sel glial sehat, kondisi mereka membaik. Gejala penyakitnya juga berkurang.
Dikutip dari laman resmi Universitas Kopenhagen, profesor Pusat Translasi Neuromedisin Universitas Kopenhagen, Steve Goldman mengutarakan para peneliti berharap bisa mempraktikkan metode ini kepada para pasien penyakit Huntington setidaknya dalam dua tahun ke depan.
Sementara itu, Direktur Lembaga Eijkman Amin Soebandrio mengatakan, kasus penyakit Huntington sejauh ini belum terlaporkan di rumah-rumah sakit. Fokus penelitian sel punca adalah untuk pengobatan penyakit thalasemia.