Regulasi yang ada dinilai belum efektif mengenakan pajak ke perusahaan teknologi digital karena merupakan produk hukum domestik. Oleh karena itu, Indonesia mendorong kerja sama global terkait perpajakan.
Oleh
MEDIANA/M PASCHALIA JUDITH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemajakan perusahaan teknologi yang memiliki transaksi daring dari dan ke Indonesia perlu mengedepankan kehadiran digital, bukan semata kehadiran kantor fisik. Pemajakan perlu mempertimbangkan kesepakatan bersama internasional.
Dalam simposium pajak di Fukuoka, Jepang, Sabtu (8/6/2019), menteri keuangan negara-negara G-20 sepakat merumuskan aturan pemungutan pajak ke perusahaan teknologi besar. Sejumlah perusahaan raksasa dinilai berusaha menurunkan tagihan pajak dengan mencatatkan laba di negara berpajak rendah meski konsumen terbesarnya bukan dari wilayah itu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR di Jakarta, Selasa (11/6/2019), menyatakan, usaha digital, seperti Google, Facebook, Amazon, dan Netflix, sulit dikenai pajak karena perusahaannya tidak ada di Indonesia. Namun, mereka memperoleh pendapatan dari Indonesia.
Imbasnya, basis sumber pajak negara tergerus. Oleh karena itu, Indonesia aktif bersama forum G-20 menggagas kerja sama perpajakan internasional dan peningkatan transparansi perpajakan di tingkat global.
Managing Partner Danny Darussalam Tax Centre (DDTC), Darussalam, mengatakan, dalam konteks perpajakan internasional, hak untuk memungut pajak penghasilan perusahaan teknologi digital baru bisa dikatakan ketika mereka setidaknya berstatus bentuk usaha tetap (BUT). Sayangnya, hingga saat ini, sistem pajak internasional yang menjadi ”aturan main” pemajakan masih bertumpu pada penentuan status BUT dengan mengandalkan kehadiran fisik.
”Perusahaan raksasa teknologi digital, seperti Google, Facebook, Amazon, dan Apple, bisa memperoleh penghasilan dari suatu negara tanpa harus mendirikan badan usaha fisik atau jadi subyek pajak dari negara itu. Itu menjadi salah satu karakter mereka,” ujarnya.
Saat menghadiri pertemuan G-20 di Jepang, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pertumbuhan pendapatan perusahaan teknologi terus berlipat, tetapi Indonesia tidak merasakannya, baik dalam pertumbuhan produk domestik bruto maupun pendapatan pajak.
Belum efektif
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 35 Tahun 2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap. PMK No 35/2019 mewajibkan orang pribadi atau perusahaan asing yang berbisnis di Indonesia mendaftar untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak (NPWP). Kepemilikan NPWP mempertegas bentuk usaha tetap sebagai subyek pajak luar negeri. Implementasi PMK ini berlaku sejak 1 April 2019.
PMK No 35/2019 dinilai belum efektif mengenakan pajak ke perusahaan teknologi digital karena merupakan produk hukum domestik.
Selain Pajak Penghasilan, PMK No 35/2019 juga mewajibkan mereka membayar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah apabila melakukan penyerahan obyek pajak.
Menurut Darussalam, kehadiran PMK No 35/2019 belum efektif untuk mengenakan pajak kepada perusahaan teknologi digital. Dia beralasan, PMK No 35/2019 merupakan produk hukum domestik. Dengan demikian, solusinya tetap harus ada peraturan di level kesepakatan global dan bukan domestik.
Alasan lainnya, semangat PMK No 35/2019 adalah mengadopsi proyek base erosion and profit shifting (BEPS) yang tujuannya adalah mencegah penghindaran pajak karena tiadanya BUT berwujud kantor fisik perwakilan atau kegiatan pendukungnya. Proyek BEPS merupakan inisiatif OECD untuk memperbaiki sistem pajak internasional yang memiliki celah untuk adanya penghindaran pajak.
”Jadi, peraturan itu (PMK 35/2019) bukan merujuk pada penetapan BUT untuk mencegah praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan raksasa teknologi digital,” ujar Darussalam.
Dalam konsensus global pemajakan digital yang direncanakan final pada 2020 akan menjadi suatu pedoman dan rujukan dalam perubahan instrumen hukum pajak, baik secara domestik maupun internasional. Darussalam berharap, perubahan penentuan BUT jadi dilaksanakan.
Atur strategi
Ketua Bidang Ekonomi Digital Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Bima Laga, yang dihubungi terpisah, mengatakan, pihaknya masih mendalami isi PMK No 35/2019 sehingga belum bisa memberikan komentar.
Kantor perwakilan Google di Jakarta, Indonesia, belum dapat memberikan konfirmasi mengenai hasil simposium pajak negara kelompok G-20. Sementara kantor perwakilan Facebook di Indonesia memilih tidak mau berkomentar.
Sebelumnya, pada 1 Desember 2017, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengumumkan, persoalan pajak dengan Google sudah dapat diselesaikan dan Google sudah membayar ke kas negara. Utang pajak yang dibayar Google adalah tahun pajak 2015 ke belakang.
Google membayar utang pajak 2016 dan tahun-tahun berikutnya berdasarkan perhitungan mereka sendiri dengan basis perhitungan yang disepakati untuk 2015 ke belakang. DJP mengklaim, nilai pajak terutang yang dibayarkan tidak sesuai keinginan DJP, bukan nilai tengah antara versi Google dan DJP (Kompas, 2/12/2019).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Information Communication Technology Institute Heru Sutadi berpendapat, perekonomian yang digerakkan oleh transaksi digital akan semakin berkembang. Oleh karena itu, Indonesia harus mempunyai strategi jitu untuk mengambil manfaat dan bukan sekadar jadi negara pasar. Indonesia memerlukan satu kepemimpinan yang kuat.
Menurut dia, selain BUT beserta pemajakan pencatatan semua transaksi, isu penting lainnya yang harus jadi perhatian pemerintah adalah perlindungan data pribadi pengguna. Isu ini juga termasuk turunannya, seperti jaminan keamanan layanan dari gangguan serangan siber.
Jalan lambat
Bank Dunia dalam laporan terbarunya The Digital Economy in Southeast Asia-Strengthening the Foundations for Future Growth (6 Juni 2019) mengatakan, revolusi digital telah membawa banyak manfaat bagi negara kawasan Asia Tenggara. Meski demikian, masih banyak pekerjaan rumah yang bisa dikerjakan oleh negara kawasan itu agar manfaat yang diperoleh lebih optimal.
Direktur Bank Dunia untuk Pengembangan Digital Boutheina Guermazi, dalam keterangan pers, menyebut adopsi teknologi digital di kalangan pebisnis dan pemerintah masih berjalan lambat. Kemacetan regulasi dan kurangnya kepercayaan pada transaksi elektronik, misalnya, berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi digital.
Laporan itu mengelompokkan enam bidang upaya yang bisa mendukung pengembangan ekonomi digital di Asia Tenggara. Bidang pertama yang dibahas adalah perluasan konektivitas jaringan internet. Meskipun setengah dari populasi wilayah Asia Tenggara menggunakan internet atau setara dengan rata-rata global, laporan Bank Dunia itu menemukan adanya persoalan. Misalnya, harga akses layanan internet belum turun, kecepatan masih kurang cepat, dan jangkauan pembangunan infrastruktur belum merata ke daerah-daerah.