JAKARTA, KOMPAS — Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia tidak akan memengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Syaratnya, langkah itu dilakukan pada momentum yang tepat.
”Otoritas moneter di seluruh dunia saat ini tengah mengalibrasi kebijakan suku bunga dalam menghadapi dinamika pasar global dan ekonomi makro di regional,” ujar ekonom PT Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro, di Jakarta, Rabu (12/6/2019).
Saat ini, suku bunga acuan BI sebesar 6 persen. Besaran suku bunga ini sudah berlaku sejak 16 November 2018.
Menurut Satria, BI seharusnya tidak perlu terlalu khawatir soal defisit neraca perdagangan. Sebab, neraca perdagangan yang jeblok tidak menghalangi bank sentral di kawasan Asia-Pasifik untuk memangkas suku bunga acuan demi memperbaiki tingkat konsumsi di dalam negeri.
Neraca perdagangan Indonesia pada Januari-April 2019 defisit 2,564 miliar dollar AS.
Satria membandingkan, defisit neraca perdagangan di India pada April 2019 mencapai 15,33 miliar dollar AS. Namun, pekan lalu, Bank Sentral India memutuskan memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen.
”Selama dua bulan terakhir, bank sentral di Australia, India, Malaysia, dan Filipina menurunkan suku bunga acuan untuk mengantisipasi prospek pertumbuhan ekonomi di dalam negeri,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan, stabilitas ekonomi makro membuka ruang bagi penurunan suku bunga acuan BI. Kebijakan moneter akomodatif, sejalan dengan inflasi yang rendah, akan mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.
Sejumlah faktor yang menunjang momentum penurunan suku bunga, lanjutnya, antara lain perbaikan peringkat utang Indonesia oleh Standard and Poor\'s menjadi di atas level layak investasi, yakni dari BBB- menjadi BBB. Selain itu, bank sentral Amerika Serikat, The Fed, memberi sinyal penurunan suku bunga setelah pemotongan suku bunga dilakukan sejumlah bank sentral di Asia dan Uni Eropa.
Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) Tbk David Sumual menyampaikan, ruang untuk menurunkan suku bunga acuan BI juga akan bergantung pada posisi kedalaman defisit transaksi berjalan.
”Dengan semakin menurunnya defisit transaksi berjalan, ruang bagi BI untuk menurunkan tingkat suku bunga acuan juga akan semakin luas,” katanya.
Defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan I-2019 sebesar 6,966 miliar dollar AS atau 2,6 persen produk domestik bruto (PDB). Pada 2018, defisit transaksi berjalan sebesar 31,051 miliar dollar AS atau 2,98 persen PDB.
Menurut David, reformasi struktural untuk menarik penanaman modal asing langsung perlu jadi fokus pemerintah. Sebab, upaya menekan defisit transaksi berjalan akan sulit dilakukan jika pemerintah hanya mengandalkan ekspor.
”Di samping itu, perlu juga antisipasi pemerintah dalam mendorong sektor konsumsi, terutama program pemerintah mendorong konsumsi yang lewat APBN,” ujarnya.
Proyeksi
Pada Selasa (11/6/2019) di Badan Anggaran DPR, Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2019 sebesar 3,3 persen. Proyeksi pada Mei ini lebih rendah daripada proyeksi BI yang dirilis pada Februari, yakni 3,6 persen.
Perry menyebutkan, proyeksi yang lebih rendah ini antara lain karena prospek pertumbuhan ekonomi AS yang menurun, perbaikan ekonomi Eropa yang lebih lambat, dan perekonomian China yang diperkirakan belum kuat.
Terkait transaksi berjalan, BI memperkirakan defisit 2,5-3 persen PDB pada 2019. Adapun neraca pembayaran Indonesia 2019 diperkirakan surplus seiring prospek aliran dana asing masuk ke Indonesia.
”Sejalan prakiraan neraca pembayaran Indonesia 2019 itu, nilai tukar pada 2019 diperkirakan berkisar Rp 14.000-Rp 14.400 per dollar AS,” ucapnya.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Rabu, nilai tukar Rp 14.234 per dollar AS. Menurut data BI, sampai dengan 10 Juni 2019, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat 0,91 persen dibandingkan dengan akhir 2018.