Daun Mangga
Kompas/Didie SW
Hanya ada satu laki-laki yang bisa membantumu. Dia belum begitu tua, namun kesaktiannya telah menyebar seantero negeri. Kata orang-orang dia titisan makhluk suci. Sejak lahir memiliki kemampuan di luar nalar manusia. Jadi ya jangan coba-coba mencernanya dengan akal sehatmu yang hanya selebar daun mangga itu, jelas kau tidak akan mampu.
Tapi, tidak akan mudah menemukannya. Dia tinggal di ujung pulau ini. Menuju kediamannya butuh waktu berjam-jam dengan jalan darat, sebab tak ada bandara di sana. Dengan kapal pun tak bisa karena dia masih satu kepulauan. Satu-satunya cara memang harus melintasi bermil-mil jalan yang kadang beraspal, namun lebih banyak tanah bergelombang dengan batu-batu besar yang siap membuatmu terjatuh, tersungkur.
Jangan lupakan pula hutan-hutan yang harus kau lewati. Tanaman-tanaman yang rimbun, sinar matahari yang sangat pelit, suara tonggeret yang tak pernah putus. Namun, jangan khawatir, udara segarnya akan membuatmu bertahan. Di antara semua organ tubuhmu, tetap hidung dan mulut yang terpenting bukan? Jadi hiruplah banyak-banyak angin yang bertiup di sekitarmu.
Seorang lelaki mengangguk-anggukkan kepalanya dengan penuh semangat hingga membuat perut buncitnya bergoyang. Matanya yang semula redup kini bersinar-sinar. Wajahnya yang muram berubah cerah. Seakan-akan dia telah sembuh dari penyakit ganas.
Laki-laki satunya kini juga tersenyum. Dia puas informasinya berguna. Di waktu-waktu yang lain, dia juga memberikan informasi yang sama. Memberitahukan pada orang-orang yang membutuhkan bantuan mengenai sosok sakti nun jauh di sana yang kesaktiannya tiada batas. Soal hasil, ah biarlah menjadi kejutan. Laki-laki itu melamun tatkala di tangannya ada 10 lembar uang seratusan ribu rupiah dari si lelaki berperut buncit.
Informasi itu ternyata menghasilkan uang lumayan. Ia namai itu uang kejutan. Benar dugaannya. Berjualan informasi adalah salah satu cara menghasilkan uang cepat di zaman yang sinting ini.
Ah, dengan uang itu ia nanti bisa membeli makanan enak dengan wanita incarannya yang selalu menunggu di dekat terminal bus di pinggiran kota. Wanita dengan pinggul besar dan dada hangat yang rambutnya hitam sebahu itu begitu manis dan menggoda. Ia sibuk membayangkan bagaimana panasnya pelukan dari si wanita bermata lebar itu. Dua hari ke depan dia akan hidup di surga dunia.
Tak ada suara yang keluar di antara kedua laki-laki itu. Hening yang menggigit dengan keriuhan senyap yang bergeliat di pikiran masing-masing. Laki-laki berperut buncit itu juga melamun. Pikirannya penuh. Ia menghitung kasar uang yang sudah disiapkan dalam pertarungan nanti. Jumlah Rp 1 miliar rasanya cukup. Namun, suara-suara gaib yang tiba-tiba muncul seakan tertawa. Mana bisa hanya menyiapkan Rp1 miliar untuk pesta demokrasi seakbar itu. Lha wong pilihan kepala desa saja bisa butuh uang Rp1 miliar sampai jadi. Jadi ya jangan heran banyak kepala desa yang kemudian ngembat dana desa yang nilainya miliaran rupiah itu.
Wajah laki-laki itu sejenak muram. Titik-titik keringat bermunculan di keningnya yang lebar dan putih. Tangannya gemetar dan perutnya mulas seakan ada pengaduk di dalamnya.
Namun, suara gaib lain seakan menengahi. Kalau memang yang ada hanya Rp 1 miliar, mau bagaimana lagi. Bukankah ada laki-laki sakti di ujung pulau sana yang bisa menggandakan uang. Apa gunanya dia? Mintalah pada laki-laki itu untuk menggandakan uangmu menjadi Rp 1,5 miliar, atau jika kau beruntung karena laki-laki sakti itu kasihan padamu, uangmu menjadi Rp 2 miliar. Yakinlah kursi parlemen ada di genggamanmu begitu uang-uang itu meluncur di tanganmu. Jadi tunggu apalagi? Segeralah menemui laki-laki tua itu karena jarum waktu juga terus melaju.
Kedua laki-laki itu bangkit dengan pikiran masing-masing. Tanpa tegur sapa terakhir, keduanya melangkah ke arah yang berbeda.
***
Butuh waktu lebih dari sehari semalam dengan jalan darat menuju kediaman laki-laki sakti itu. Wajah cerah dan pakaian rapi lelaki berperut buncit tersebut kini berubah kusam dan kusut. Ratusan keraguan kini telah terkubur dalam-dalam di antara kelelahan yang menyerang. Tak ada satu pun yang muncul, kecuali tekadnya untuk segera sampai dan mendapat uang yang ia butuhkan.
Satu hal yang membuatnya bertahan. Dia adalah rivalnya di daerah pemilihan sama yang ia benci dengan sepenuh hati. Sungguh ia heran melihat rivalnya itu yang seolah tak pernah kekurangan uang. Seakan setiap ia bicara, semua kata yang jatuh menjadi uang seketika itu juga.
Tak heran rumahnya selalu ramai dengan orang. Sejak pagi hingga dini hari pintu depan selalu terbuka. Apa pun yang terjadi, selalu saja warga mencari laki-laki itu. Dulu lelaki berperut buncit itu mengira rivalnya membuka toko kelontong karena warga yang pulang selalu membaca berbagai macam barang. Ada yang membawa dua kilogram beras, seliter minyak, beberapa kilo gula, bahkan juga susu untuk anak balita. Rivalnya itu sungguh menyebalkan karena ia tak ubahnya pemimpin wilayah di dapilnya. Lelaki itu selalu muncul saat hajatan warga dan acara apa pun yang digelar pemerintah desa.
Rasa iri muncul pelan-pelan di hatinya. Sejak itu ia bertekad untuk mengalahkan rivalnya dengan perolehan suara yang signifikan. Dengan uang apa pun bisa terjadi bukan? Begitu kata iri hati itu padanya di suatu malam yang sepi dan dingin.
Ia juga telah menuruti semua nasihat tim suksesnya jauh hari sebelum pemilu digelar. Pertama dan yang utama, kata tim suksesnya itu, jangan pernah absen di acara warga, entah itu mantu, ngunduh mantu, tetak, bahkan takziah. Sejak saat itu mulailah lelaki berperut buncit itu berburu informasi mengenai orang yang mantu meski hasilnya lebih banyak orang yang meninggal. Tak terhitung berapa kali ia hadir di upacara permakaman yang demi Tuhan jangankan namanya, wajah yang meninggal saja tak pernah ia tahu sepanjang hidupnya. Dari takziah ke takziah itulah ia mulai memperkenalkan diri dan membagi-bagi uang secukupnya.
“Berapa isi amplop tetangga sebelah,” tanya laki-laki itu suatu kali pada tim suksesnya.
“Rp 50.000 Pak,” jawab dia.
“Serangan fajar berapa biasanya?”
“Sama Pak.”
“Baiklah, sounding ke warga kalau isi amplopku nanti Rp 70.000, tidak kurang dan tidak lebih.”
“Baik Pak.”
***
Uang Rp 3 miliar kini tersimpan di mobilnya. Laki-laki berperut buncit itu tersenyum puas. Ia cepat-cepat kembali ke rumah dengan kecepatan penuh. Tinggal lima hari lagi pemilu digelar. Ia harus cepat-cepat menaruh uang-uang itu di amplop untuk dibagikan pada warga.
Sepanjang perjalanan ia tersenyum sendiri. Laki-laki sakti itu sungguh baik hati. Semula ia hanya akan menukar Rp 1 miliar dengan imbalan Rp 1,5 miliar. Namun, laki-laki sakti itu menawarkan penukaran Rp 1,5 miliar menjadi Rp 3 miliar. Dari tangan laki-laki sakti itu, tiba-tiba muncul gambar para tokoh politik kawakan di Tanah Air yang wajah mereka wira-wiri di televisi.
“Tidakkah kamu ingin seperti mereka?” tanya laki-laki sakti itu. Dan lelaki berperut buncit tersebut mengangguk kuat-kuat. Tentu saja dia ingin seperti mereka semua. Uang Rp 3 miliar tak hanya bisa untuk modal maju maju di parlemen daerah, namun juga bisa untuk bersenang-senang sejenak dengan istri Pak Camat yang sejak dulu sudah ia incar. Sepertinya perempuan itu juga memberikan sinyal sama. Sama-sama tertarik. Mereka akan bersenang-senang sebelum pelantikan. Yah, tidak apalah periode ini dia maju sebagai legislator di tingkat daerah. Lima tahun lagi, saat uangnya sudah tumbuh, ia akan maju ke Senayan.
***
“Uang sudah dibagikan,” lapor salah satu anggota tim suksesnya.
“Tidak ada yang terlewat?”
“Tidak. Saya jamin!”
“Bagus. Pastikan semua saksi juga sudah siap. Berapa kira-kira suaraku?”
“Dengan amunisi ini, saya yakin 200.000 pemilih bisa Pak. Bapak tenang saja. Satu kursi di DPRD Provinsi.”
“Bagus.”
***
Suara ayam berkokok membangunkan laki-laki berperut buncit yang baru saja terlelap. Wajahnya kesal. Dia bangun dengan sebuah gerutuan panjang. Ayam-ayam itu benar-benar mengganggu dengan kokokannya yang memekakkan telinga. Tak biasanya para ayam jantan berkokok sekencang itu. Dini hari ini kokokan mereka benar-benar bergemuruh. Suaranya nyaris membuat dinding rumah bergetar dan gerbang depan rumah ambruk. Benar-benar membuat pusing kepala.
“Puluhan orang Pak,” kata Syamsul, orang kepercayaan lelaki buncit itu, dengan napas terengah-engah. Wajahnya ketakutan sangat saat masuk ruang kerjanya. Lelaki berperut buncit itu rupanya tertidur di ruang kerja saking lelahnya.
“Apanya? Puluhan orang apa?”
“Yang datang ke rumah Bapak. Satpam masih berusaha mencegah mereka masuk rumah. Satpam-satpam minta warga tenang. Tapi entah sampai kapan. Orang-orang lainnya juga terus berdatangan. Saya takut Pak. Halaman depan sesak dengan orang.”
“Ada apa Sul? Ada apa sebenarnya?”
“Orang-orang kampung Pak. Mereka datang. Protes. Teriak-teriak. Marah-marah.”
“Kenapa?”
“Uangnya. Uang yang Bapak bagikan kemarin, semuanya berubah jadi daun mangga. Warga marah sekali, mereka merasa ditipu. Tidak mau memilih Bapak kecuali diberi uang asli. Warga merasa dipermainkan. Semua uang yang saya bagikan kemarin berubah menjadi daun mangga,” kata Syamsul seperti mau menangis.
Lelaki berperut buncit itu melotot. Sekali lagi, perutnya tiba-tiba mulas seperti ada pengaduk di dalamnya. Bergegas ia mengintip dari jendela di lantai dua. Ia sibakkan korden perlahan. Di bawah seratusan orang tampak berteriak-teriak marah. Masing-masing dari mereka membawa selembar daun mangga. Mereka acungkan daun-daun mangga itu sambil berusaha masuk rumah.
Para satpam dan beberapa pengawalnya sibuk menghalau warga yang murka. Namun, mereka tampak kerepotan. Warga ingin laki-laki berperut buncit itu keluar dan memberi penjelasan. Lelaki berperut buncit itu kini ketakutan. Ia tak lagi bisa membayangkan kursi parlemen. Yang ia tangisi adalah uangnya yang hilang bersamaan dengan denyut jantung yang melemah ketika ia tiba-tiba tersungkur di ubin yang dingin sambil memeluk korden di lantai dua. Uang di saku kemejanya berhamburan, menjadi daun-daun mangga yang berserakan.
________________
Ayu Prawita, lahir di Jember dan menetap di Karanganyar, Jawa Tengah. Penyuka buah mangga ini juga seorang jurnalis dan pengajar.