Kekasihku, Penyair Itu
Sesungguhnya, dia tak terlalu istimewa. Khayalannya yang terkadang keterlaluan itu, yang membuatku ingin selalu bersamanya. Kekasihku, penyair yang sebenarnya selalu gagal dalam meramu puisi ataupun sajak. Puisi yang dia ramu terlalu kelam. Kelabu dan mendung. Namun lantaran hal itu, aku mencintainya.
Kekasihku, penyair itu telah memberikan sesuatu kepadaku sejak kami belia. Dulu, dia kawan lama. Di bangku sekolah, kali pertama kami bertemu. Waktu itu, kami tak begitu mengenal. Dia hanya seorang kawan yang tak terlalu menarik perhatian. Setiap hari, di taman sekolah, dia selalu terlihat merenung. Wajahnya yang seperti orang lelah kerap mendongak ke atas. Menatap langit. Terkadang matanya mengikuti gerak dedaunan yang digoyang embusan angin. Kepalanya akan bergerak perlahan, mengikuti terbangnya seekor burung yang kebetulan lewat. Setiap hari seperti itu. Awalnya apa yang dia lakukan menarik perhatian. Lama-kelamaan terasa membosankan.
Kami bertemu kembali bertahun kemudian. Dalam keadaan yang jauh berubah. Lebih dewasa. Lebih matang. Jauh lebih menarik. Dan mulai dibuat pening dengan problematika hidup. Sore itu, kepalaku seakan meledak. Pertengkaran ayah dan ibuku pecah. Seperti biasanya. Pertengkaran yang sebenarnya bukan hal baru. Ayah selalu tertarik dengan perempuan lain yang lebih muda. Ibu terlalu memaksakan diri untuk berusaha tuli dan bisu dengan apa yang dilakukan suaminya. Perselingkuhan dan pertahanan yang sia-sia tak ubahnya borok busuk yang menggerogoti keluargaku. Perlahan tapi pasti, rumah tangga itu akan mati. Problematika keluarga beradu dengan segudang masalah di tempat kerja. Saat itu, kali pertama rencana bunuh diri tebersit di kepalaku.
Dalam keadaan yang nyaris hancur, aku bertemu kembali dengannya. Di kedai kopi milik seorang kawan. Di meja nomor enam. Dia duduk seorang diri. Buku catatan terbuka di hadapannya. Sebuah pena dia genggam erat. Matanya menatap kertas kosong itu dengan hampa. Dari tempatku berdiri, aku mengamatinya dengan saksama.
“Dia sering ke sini. Katanya, dia seorang penyair,” ucap Tjiu, kawanku pemilik kedai kopi.
“Dia sering kemari? Kok aku baru kali ini melihatnya?” tanyaku perlahan.
“Ah, kebetulan saja. Kalau kau kemari, dia kebetulan tak datang. Dan sebaliknya. Ketika kau tak datang, dia kebetulan datang.” Tjiu mengulurkan secangkir espresso kepadaku.
Entah, energi gaib dari mana yang mengantarku berdiri di depan mejanya. Aku menatapnya lekat. Dia terlihat tak peduli. Kepalanya masih menunduk, mengamati kertas yang masih kosong melompong. Tangannya yang menggenggam pena tak bergerak sedikit pun.
“Kau Samudera? Kawanku SMP dulu?” tanyaku perlahan.
Kali ini dia mengangkat kepalanya. Benar saja. Dia kawanku dulu. Dia manusia yang gemar menatap langit, dedauan yang bergoyang, dan kepak burung yang sedang terbang.
“Aku mengingatmu.” Jawabnya singkat. Sejurus kemudian, kepalanya menunduk lagi.
Aku mengendikkan bahu. Di meja nomor lima, aku duduk sendirian. Espresso buatan Tjiu sangatlah nikmat. Perlahan aku menyeruputnya. Aku ingin menenggelamkan semua hal memuakkan ke dalam cangkir espresso yang hitam kelam itu. Amarah ayah dan ibu. Atasan yang memuakkan. Kawan kerja yang brengsek dan hobi cari muka. Ingin sekali aku membunuh semua itu dengan tegukan-tegukan espresso panas yang terhidang di hadapanku. Aku nyaris tak tahu apa yang harus aku lakukan selepas minum kopi, dan kejutan itu datang.
Wajah yang lelah. Penampilan yang berantakan. Raut muka yang seakan jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya. Kali ini dia berdiri di hadapanku. Menatapku dengan tatapannya yang sayu.
“Aku mencipta sebuah puisi barusan. Setelah kau menegurku tadi.” Ucapnya tanpa malu-malu.
***
Semenjak sore itu, kami kerap bertemu. Aku adalah muara ilham untuk dirinya. Kekasihku, pengarang itu memberikan sesuatu hal baru dalam hidupku. Tampaknya, bagi dirinya aku pun begitu. Hal-hal baru, dia temukan dalam diriku. Perempuan muda yang nyaris patah arang. Perempuan muda yang hampir tak memiliki harapan. Kami berdua seolah dipertemukan takdir, dan menjalin asmara di atas nasib. Penampilannya yang berantakan, matanya yang lelah adalah gairah tersendiri.
Puisi-puisi dia cipta saban hari. Tapi tak ada satu pun yang dikirimkan ke surat kabar. Dia hidup dari harta peninggalan mendiang kedua orangtuanya. Sebuah apartemen yang tak terlalu mewah di pinggiran kota menjadi tempat tinggalnya. Kamar apartemennya terletak di lantai tujuh. Kali pertama berkunjung ke sana, aku sedikit bergidik. Kamar itu tak ubahnya bahtera yang hancur lantaran dihantam ombak dahsyat. Peralatan makan. Pakaian kotor. Bahkan celana dalam berserakan di lantai. Tapi kekasihku sepertinya tak peduli. Aku berusaha membersihkan semua yang berserakan, tapi sia-sia. Kekasihku melarangnya.
Ranjangnya lebih mengerikan lagi. Kertas-kertas, alat-alat tulis dan buku-buku bacaan berserakan di atasnya. Kekasihku, penyair itu membersihkan sebagian kertas yang berserakan. Tak lama kemudian, kami beradu di atas ranjang yang masih disemaki kertas-kertas sisanya mencari ilham karangan. Problematika yang selama ini merongrong hidupku, seketika lenyap tak bersisa.
“Kau ilham dalam setiap cipta tulisanku,” bisiknya di saat kami sudah menyelesaikan semuanya.
“Kau juga ilham dalam setiap napasku saat ini.” Aku berbalas berbisik.
Cinta kami adalah cinta yang dewasa. Cinta yang dewasa tak memerlukan kata-kata. Dan kami mengulangi semuanya. Dengan hal yang paling purba dalam cinta.
***
Meski telah bersamaku, dia tak pernah berubah. Memang dia tak perlu berubah. Dia tetaplah seorang bohemian seperti dulu. Jiwanya bebas. Dia tak bisa diikat dengan simpul apa pun. Meski cinta kami selalu bertumbuh setiap hari. Tak ada yang bisa mengubahnya. Puisi-puisi karangannya beranak-pinak. Bertumpuk-tumpuk di lembaran-lembaran kertas yang dulu kerap kosong melompong.
“Apa kau tak ingin mengirimkan karangan-karanganmu ke media?” tanyaku di satu kesempatan.
“Belum ingin.” Jawabnya singkat.
Aku hanya tersenyum mendengar jawabannya. Sekian lama dia menenggelamkan diri di dunia, semakin tak ada yang bisa mengganggunya. Kawan-kawan yang dulu masih kukenal ketika awal bersamanya, satu per satu mulai pergi. Mereka menganggap dia tak ubahnya hama. Beberapa kawan menyayangkan ketika tahu aku menjalin hubungan dengannya. Bahkan Tjiu, kawanku yang baik itu merasa khawatir dengan hubungan yang kujalin.
“Dia manusia tak jelas. Tak bekerja. Kerjanya hanya menulis tapi tak menghasilkan uang. Apa yang membuatmu bertahan dengannya?” Tjiu terlihat begitu serius.
“Apa yang membuatku bertahan dengannya, tak bisa kuceritakan kepadamu.” Aku tersenyum simpul.
“Cinta memang membuat orang menjadi gila.” Desah kawan baikku itu perlahan.
Semua orang menyayangkan hubungkan kami. Penyair yang tak jelas nasibnya, tak perlulah ditemani. Banyak yang melarang. Banyak yang ingin kami berpisah. Aku bertahan. Dia kekasihku, penyair itu pantas mendapatkan hal paling purba dalam peradaban manusia. Cinta. Dariku tentu saja.
***
Kecambah itu tercipta. Di atas ranjang yang selalu berserakan kertas-kertas. Kecambah yang akan menjadi bakal manusia baru. Kecambah yang ditanam kekasihku, penyair itu. Di rahimku, benih itu bertumbuh. Tepat dua tahun kebersamaan kami berdua. Aku tak tahu harus bahagia atau meraung lantaran resah.
Tepat di sore yang kami janjikan. Di kedai kopi milik Tjiu, dia sudah menunggu. Di meja nomor lima dia sedang menunduk, menekuri kertas kosong di hadapannya. Entah, aku merasa bahwa dia memiliki firasat itu. Tentang kecambah yang melekat di dinding rahimku. Keterkejutan di raut mukanya yang aku duga sebelumnya, tak pernah aku temui. Wajahnya yang seperti orang kelelahan hanya menatapku dalam-dalam. Sesekali senyumnya terkembang.
“Aku akan memberikan jawaban yang pasti esok hari. Datanglah ke apartemenku pukul empat sore.” Ujarnya sebelum beranjak pergi.
Pukul empat sore hari berikutnya, aku menepati janji. Pergi ke apartemen kekasihku, penyair itu. Udara terasa begitu panas. Daun-daun berubah kering menyedihkan. Rumput-rumput meranggas sekarat. Dari kejauhan aku melihat orang-orang berkerumun. Aku berusaha tak peduli. Suara-suara jeritan dari mereka sesekali terdengar. Seseorang sedang bersiap terjun dari jendela sebuah kamar apartemen di lantai tujuh. Aku melangkah terus, menuju kamar kekasihku.
Tatkala aku sampai di kamar kekasihku, tak ada yang kutemui. Kamar itu kosong. Ranjang masih berserakan seperti biasanya. Aku tersenyum. Di sanalah kecambah itu ditanam. Tirai jendela bergoyang-goyang diembus angin. Jendela tanpa balkon itu terbuka lebar. Aku melangkah ke dalam. Sepucuk surat dan sebuah buku catatan diletakkan di atas meja. Aku mengambilnya, kemudian berlalu tepat saat derap-derap langkah menuju kamar kekasihku.
‘Maafkan aku, Sayang. Rawatlah dia dengan baik. Katakan saja kepadanya, bapaknya mati lantaran kepengecutan yang tak bisa dia bunuh.’
Aku membaca tulisannya itu dengan mata sembab. Perlahan aku menuliskan di bawah kalimat itu.
‘Aku menunggu kedatanganmu. Tapi sampai sore yang sekarat dihajar malam, kau tak kunjung datang. Aku akan menunggumu, meski kau kini tak ubahnya hantu. Karena aku memahami alasan kenapa kau memilih mati.
Hari ini. Lima Agustus, tepat di tanggal kematianmu.’[]
Artie Ahmad, lahir 21 November 1994 di Salatiga. Saat ini menulis cerita pendek dan novel. Novel terbarunya Sunyi di Dada Sumirah Penerbit Buku Mojok.