JAKARTA, KOMPAS – Organisasi masyarakat sipil terus mengawal proses legislasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan memaksimalkan waktu masa sidang untuk menyelesaikan program legislasi nasional tahun ini, dan memprioritaskan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi undang-undang.
Sebelum mengakhiri periode 2014-2019, para wakil rakyat diharapkan mewujudkan janjinya untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut. “Sudah dua periode ini, DPR tidak menghasilkan undang-undang yang menyumbang pada solusi diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, kecuali undang-undang yang mengatur tentang kebiri,” ujar Mantan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Nursyahbani Katjasungkana di Jakarta, Minggu (16/6/2019).
Karena itu, Nursyahbani menegaskan, sudah selayaknya DPR terutama para perempuan anggota legislatif periode ini mengukir prestasinya dengan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Begitu juga dengan pemerintah, diharapkan untuk menggandeng Komnas Perempuan dan organsisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam perlindungan hak asasi manusia perempuan dalam mendorong DPR segera membahas dan mengesahkan RUU tersebut menjadi UU. “Waktunya pendek banget sampai dengan September nanti,” kata Nursyahbani.
Harapan yang sama diungkapkan Koordinator Jaringan Kerja Program Legislasi Pro Perempuan (JKP3) Ratna Batara Munti. Ia meminta pemerintah wajib membuka ruang partisipasi publik, khususnya dari masyarakat yang berkepentingan adanya rumusan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang nantinya bisa efektif ketika disahkan menjadi UU.
“Jangan terpaku pada argumen dari pihak yang underestimate atas RUU itu, yang ingin memangkas terobosan penting atau mengaburkan tujuan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” kata Ratna.
Jangan terpaku pada argumen dari pihak yang underestimate atas RUU itu, yang ingin memangkas terobosan penting atau mengaburkan tujuan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Muatan utama jangan sampai hilang
Ratna menyatakan harapan ini disampaikan kepada DPR dan pemerintah karena sejauh ini ada upaya pihak tertentu ingin mengaburkan tujuan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Misalnya soal penanggulangan/pemenuhan hak korban dibatasi hanya untuk pencegahan.
“Karena itu kami berharap jika nanti dibahas di DPR, minimal harus menyelamatkan muatan utama dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, selain pencegahan, muatan yang penting seperti pemulihan korban, akses keadilan bagi korban juga harus masuk,” kata Ratna.
Muatan penting yang juga harus masuk dalam RUU tersebut adalah penegakan hukum pada pelaku, proses hukum yang sensitif, serta perubahan pola pikir aparat penegak hukum dan lingkungan masyarakat agar responsif bukan justru memberi stigma pada korban.
Jangan takut
Anggota Komnas Perempuan Sri Nurherwati mengimbau kepada pemerintah maupun DPR untuk mewujudkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan tidak khawatir ataupun takut dengan RUU tersebut.
“Seharusnya yang takut dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pelaku, bukan DPR, pemerintah, atau aparat penegak hukum. Karena RUU tersebut akan membantu pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menjalankan mandat untuk melindungi korban kekerasan seksual,” tegas Nurherwati.
Anggota Komisi VIII DPR Rahayu Saraswati Dhirakanya Djojohadikusumo menyatakan saat ini RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih dalam tahap pembahasan di Panitia Kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Komisi VIII. Pembahasan berikutnya akan dilakukan pada minggu mendatang.