Paling Telat 4 Bulan, 167 Konflik Agraria Tertangani
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kantor Staf Kepresidenan membentuk desk berisi pejabat penanggung jawab dari lintas kementerian/lembaga terkait untuk menangani 167 konflik agraria yang bisa ditangani dalam jangka pendek. Istana memberikan batas waktu maksimal 4 bulan bagi desk tersebut untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
Terdapat 666 konflik agraria yang dilaporkan masyarakat dan tertangkap dalam "radar" Istana. Dari analisa “kemudahan” penyelesaian, kasus tersebut dibagi menjadi 167 kasus yang dapat diselesaikan jangka pendek, 92 kasus diselesaikan dalam jangka menengah, dan 154 kasus yang penyelesaiannya membutuhkan waktu lebih lama. Selebihnya, 253 kasus belum memiliki informasi pendukung yang lengkap sehingga belum bisa ditindaklanjuti.
“Mekanisme kerja desk ini sedang disiapkan. Gambarannya, sesuai arahan Kepala Staf Kepresidenan bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, desk ini bekerja intensif melalui rapat dan pertemuan untuk membahas rumusan solusi atas 167 kasus prioritas yang dibahas dalam rapat kemarin,” kata Usep Setiawan, Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA) dan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Sabtu (15/6/2019), di Jakarta.
Desk ini bekerja intensif melalui rapat dan pertemuan untuk membahas rumusan solusi atas 167 kasus prioritas.
Teknisnya, pendalaman dan rekomendasi solusi kasus jangka pendek tersebut diserahkan kepada Kepala KSP dan para menteri untuk diputuskan. Bagi kasus-kasus tertentu yang membutuhkan bobot keputusan politik dan kebijakan yang lebih tinggi, bila perlu akan dibawa ke rapat atau sidang kabinet yang dipimpin Presiden.
Usep mengatakan, terdapat beberapa aspek pertimbangan dalam menilai bobot penanganan kasus. Contoh, jumlah dan jenis aktor yang terlibat. Apabila melibatkan pemerintah selain badan usaha dan perorangan, kasus akan semakin berat. Faktor lain yaitu luas area konflik signifikan, jumlah masyarakat terdampak, dan tahap perkembangan kasus.
Kalau sudah ditangani instansi tertentu dan berprogress, maka semakin mendukung keringanan. “Indikator ini bukan indikator baku dan resmi namun berdasarkan analisa KSP karena memang tidak ada indikator baku dalam pemerintah untuk hal ini,” kata dia.
Karena bukan indikator baku, maka tidak kaku juga lama waktu penyelesaian karena nuansa dan variabel masalah tiap kasus berbeda-beda. Untuk kasus jangka pendek, kata Usep, akan sangat bagus apabila diselesaikan dalam jangka waktu kurang dari satu bulan. Paling telat, dalam waktu empat bulan 167 kasus diusahakan selesai. Jangka waktu ini diharapkan membantu kementerian/lembaga untuk prioritisasi penanganan kasus konflik.
Untuk kasus jangka pendek pelaksanaan dan pemantauannya dimaksimalkan hingga berakhirnya masa tugas Presiden pada Oktober 2019. Sementara untuk yang menengah dan panjang, karena dianggap lebih rumit variabel masalah dan tahapan penyelesaiannya, maka membutuhkan waktu penanganan yang melampaui pemerintahan Periode 2014-2019.
“Namun sekali lagi, tidak kaku, karena apabila dalam penanganan cepat dalam kasus jangka pendek sudah dapat menemukan pola penanganan untuk kasus lain yang serupa, maka dimungkinkan kasus-kasus yang membutuhkan pendalaman dalam waktu menengah dan panjang dengan karakteristik yang sama bisa disusun tata cara penyelesaiannya segera,” kata dia.
Penyebab konflik
Ditanya terkait contoh dari 167 kasus yang segera ditangani tersebut, Usep menyatakan belum dapat menyebutkan. Ia mengatakan 666 kasus yang diadukan masyarakat ke Istana dan dianalisis TPPKA, sebagian besar konflik agraria disebabkan mal-administrasi pelayanan pertanahan, tumpang tindih izin/konsesi atas tanah dan kekayaan alam, proses pemberian ganti kerugian yang tidak adil, dan berlarutnya penyelesaian akibat pendekatan yang semata-mata legal formal.
Sebagian besar konflik agraria disebabkan mal-administrasi pelayanan pertanahan, tumpang tindih izin/konsesi atas tanah dan kekayaan alam.
Konflik agraria ini berasal dari sektor perkebunan (53 persen) , kehutanan (26,8 persen), bangunan (6,4 persen), infrastruktur (5,5 persen), transmigrasi (2,7 persen), dan lainnya (5,4 persen). Karena itulah, rapat tingkat menteri (RTM) yang dipimpin Kepala KSP Moeldoko, 12 Juni 2019, menyepakati perlunya Desk Penanganan Konflik Agraria Lintas Kementerian dan Lembaga sebagai forum komunikasi dan koordinasi antar pejabat di KL yang bertugas dan bertanggungjawab menangani konflik agraria.
Desk ini simpulnya ada di KSP, melalui Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA) KSP. Penanggungjawab pelaksana untuk penanganan konflik agraria di luar kawasan hutan oleh Menteri ATR/Kepala BPN, dan Menteri LHK untuk yang di dalam kawasan hutan. Skema kerja koordinatif ini dikomunikasikan dengan Menko Perekonomian sebagai Ketua Tim Reforma Agraria Pusat (merujuk Perpres 86/2018), sekaligus koordinator dalam penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan hutan.
Ragu
Menanggapi pembentukan desk ini, Kepala Biro Politik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Khalisah Khalid ragu desk ini bisa menyelesaikan konflik-konflik agraria yang selama rezim turun-temurun tidak bisa terselesaikan dan bahkan kian banyak.
Walhi, imbuhnya, mendorong pembentukan Badan Penyelesaian Konflik bersifat adhoc yang bertanggungjawab langsung ke Presiden. Dengan badan baru ini, kewenangannya akan lebih kuat sehingga kementerian/lembaga sectoral/teknis harus tunduk.
Walhi mendorong pembentukan Badan Penyelesaian Konflik bersifat adhoc yang bertanggungjawab langsung ke Presiden.
“Itu kan janji Jokowi waktu ke Tegal Parang (Jakarta, markas Walhi Eksekutif Nasional), dan belum dipenuhi,” kata dia.