Utang luar negeri swasta per April 2019 naik dibandingkan dengan Maret 2019 dan April 2018. Peningkatan utang luar negeri swasta ini antara lain dipicu keinginan mencari suku bunga pinjaman yang lebih rendah di luar negeri.
Oleh
Ferry Santoso/Dimas Waraditya Nugraha
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Utang luar negeri swasta per April 2019 naik dibandingkan dengan Maret 2019 dan April 2018. Peningkatan utang luar negeri swasta ini antara lain dipicu keinginan mencari suku bunga pinjaman yang lebih rendah di luar negeri.
Pada April 2019, utang luar negeri Indonesia sebesar 389,337 miliar dollar AS. Dengan nilai tukar berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Selasa (18/6/2019), yakni 14.334 per dollar AS, maka utang luar negeri Indonesia itu setara Rp 5.580 triliun.
Utang itu terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral 189,727 miliar dollar AS dan utang swasta 199,614 miliar dollar AS.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengungkapkan, sektor swasta memerlukan pembiayaan dengan suku bunga yang rendah. Meskipun ada risiko nilai tukar, pelaku usaha swasta memiliki perhitungan, misalnya kemampuan bayar melalui devisa ekspor.
Kendati demikian, tambah Adhi, utang luar negeri mulai dihindari pelaku usaha yang belum atau tidak memiliki orientasi ekspor. Itu karena kondisi perekonomian global tidak menentu sehingga risiko nilai tukar lebih besar.
”Pelaku usaha memiliki aset jaminan yang cukup, melakukan lindung nilai, dan usaha industrinya tetap tumbuh,” kata Adhi menjelaskan kehati-hatian pelaku usaha yang memiliki utang luar negeri.
Pelaku usaha memiliki aset jaminan yang cukup.
Ketua Dewan Pertimbangan Apindo Sofjan Wanandi berpendapat, utang bisnis sektor swasta, termasuk BUMN, dengan menerbitkan obligasi yang meningkat, baik untuk ekspansi maupun investasi baru. Obligasi ini juga tercatat sebagai utang.
Sejauh ini, Sofjan menilai utang sektor swasta belum mengkhawatirkan. Apalagi, persyaratan pemberian pinjaman dari bank di luar negeri cukup ketat. Di sisi lain, pelaku usaha berhati-hati dalam meminjam.
Kebutuhan tinggi
Secara terpisah, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, menilai, peningkatan utang luar negeri swasta menunjukkan biaya pinjaman dari luar negeri lebih murah dan minim risiko nilai tukar ketimbang pinjaman dari dalam negeri.
”Biaya pinjaman usaha di dalam negeri mahal dan menghambat potensi ekspansi maupun investasi,” ujarnya.
Menurut Eko, pertumbuhan utang luar negeri sektor swasta dan BUMN tersebut merefleksikan kebutuhan pendanaan sektor riil yang cukup tinggi. Investasi berorientasi ekspor perlu diperkuat untuk meningkatkan kemampuan pembayaran utang.
Eko menambahkan, jika investasi asing semakin baik, utang luar negeri swasta juga akan terus meningkat. Namun, pemerintah tetap perlu memperhatikan kemampuan swasta membayar utang.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, memandang, kondisi utang luar negeri mencerminkan sektor swasta yang semakin ekspansif.