Kepompong Ulat Bulu di Dalam Sarung Kyai Karnawi
Kompas/Supriyanto Cartoons
Temui Kiai Karnawi, jika kau telah sampai daerah ini. Itu pesan Dalbo kepada aku dan Sarmin jika sampai di Langkat. Untuk sekadar numpang tidur dan makan, tempat Kyai Karnawi terbuka lebar bagi penggembara seperti kami.
Datang pada sore menjelang malam di Stabat, kami turun dari bus ekonomi pas diguyur tempias hujan. Aku dan Sarmin berlari kecil-kecil mencari tempat berteduh, di depan terdapat warung makan. Kami tak tahu tepatnya di mana, Dalbo hanya mengatakan sebut saja Kyai Karnawi semua pasti tahu. Aku masih menahan dingin akibat baju basah dan lapar mendera, kulirik warung makan itu menggugah selera tapi uang di kantong tak cukup.
Saat diri ini berdiskusi dengan perut yang berkeroncong, dari balik pintu warung itu nongol pria muda perawakan ceking sambil sililitan sisa makanan.
”Kalian mau ke mana?”
Aku dan Sarmin saling menenggok dan menjawab berbarengan.
”Kyai Karnawi.”
”Oh Kak Kyai, kebetulan aku searah ke sana.”
Pria muda itu bergegas ke kereta becak motornya, aku dan Sarmin masih terdiam dan celingak-celinguk untuk memastikan karena kami tidak ada ongkos sama sekali.
”Ha...ha jangan pikirkan itu. Ini gratis.”
Maka naiklah kami di atas becak motor kumal dan dalam perjalanan bersama Biun, yang akhirnya kutahu namanya. Ia memang berprofesi sebagai ojek motor yang sering mangkal di warung makan itu. Biun sering mengantar pengunjung atau siapapun yang ingin berkunjung ke tempat Kyai Karnawi. Biun tak pernah memunggut bayaran karena tahu, tak semua yang datang ke tempat Kyai Karnawi orang berduit, bahkan sering orang luntang-lantung.
Rumah Kyai Karnawi memang menjadi jujugan orang-orang yang hilang atau bromocorah yang menemukan jalannya. Melewati jalan makadam yang sering becek terkena hujan, kami telah sampai di rumah Kyai Karnawi
Rumah itu tak begitu besar tapi halamannya begitu luas, aktivitas di dalamnya cenderung sepi-sepi saja. Saat aku dan Sarmin tiba, kami disambut oleh seoang perempuan setengah baya nan cantik dan mempersilakan untuk masuk. Kami disuguhkan berbagai makanan yang menggiurkan tak sabar untuk kami telan dalam perut. Sang tuan rumah paham dan mempersilakan untuk memakannya, aku dan Sarmin tak sungkan-sungkan lagi. Perut gembul dan kenyang membuat kami lemas.
Setelah kami makan, di ujung ruangan keluar seorang pria tinggi gagah, kulit putih dan hidung mancung ciri khas orang-orang Arab. Di samping ada pula perempuan muda manis nan molek mendampinginya.
”Silakan, jangan malu-malu. Di sini semua yang datang adalah saudara.”
Senyumnya begitu memukau, ada pancaran aura yang tak kasat mata. Siapapun memandangnya akan memberikan kesan teduh. Itulah Kyai Karnawi, aku merasa aman dan nyaman berada di tempat ini. Kami diterima dengan baik dan disediakan bilik untuk beristirahat. Di sini selalu diadakan sholat berjamaah dan pengajian, berbagai kalangan selalu datang membludak tapi anehnya dari jamaah itu tak satu pun disebut “alim”. Wajah-wajah sangar dan bertato sekujur tubuhnya atau wanita jadi-jadian yang begitu menor. Rumah Kyai Karnawi membuka diri unuk semua yang mereka anggap sampah masyarakat. Mulai preman, anak punk, pelacur, banci, gelandangan sampai yang paling hina sekalipun atau orang-orang yang merasa hidupnya tak terampuni.
”Tak ada dosa yang tak terampuni jika ingin tobat dan niat memperbaiki. Tak ada kata terlambat.”
”Mereka tak perlu dihakimi atas perbuatannya dan siapa lagi yang mau menerima mereka.”
Kyai Karnawi lebih menghargai mantan penjahat atau pelacur daripada yang pura-pura alim tapi menghujat sesamanya. Munafik tak diterima di sini.
Mengajak tanpa menginjak.
Menasehati tanpa menyakiti.
Membimbing tanpa merendahkan.
Itu tiga pedoman yang selalu didengungkan Kyai Karnawi. Oleh karena itu aku dan Sarmin tak perlu disuruh atau dipaksa untuk ikut sholat atau pengajian. Semua harus dari hati nurani, itu berlaku semua jamaah yang datang ke Kyai Karnawi.
Kedua wanita yang selalu ada dilingkarannya itu adalah kedua istrinya, konon mereka bekas pelacur yang takluk akan pesona Kyai Karnawi.
Kau ingin tahu kisahnya? Akan aku ceritakan
***.
Metaformosis itu kuncinya. Ulat bulu menjadi kupu-kupu cantik berkat kepompong. Cari dan jadilah kepompong itu. Wejangan itu selalu disampaikan Kyai Karnawi kepada diriku dan para pengikutnya yang selalu setia mendengar ceramah-ceramahnya. Beliau berbeda dengan penceramah lainnya mungkin agak nyeleneh, jika yang lain memakai sorban dan baju takwa mentereng tapi Kyai Karnawi hanya memakai sarung, kemeja lengan panjang, kopiah dan sandal jepit.
”Ini pakaian duniawi, bukan sesungguhnya.”
Ucapan-ucapannya tak bisa aku cerna dengan mudah, terkadang harus berpikir dua kali. Ada makna-makna yang tersirat, apalagi saat ada yang datang kepadanya untuk ngalap berkah dan memberikan uang atau sesuatu sebagai tanda terima kasih tapi ditampiknya. Jika beliau berceramah disambut begitu ramai dan selalu merebut untuk mencium tangannya.
Bisa saja Kyai Karnawi jadi kaya raya seperti penceramah lainnya yang sering masuk televisi itu. Dulu beliau pernah diundang untuk ceramah di salah satu stasiun televisi swasta. Saat selesai ceramah, pihak stasiun televisi memberikan upah ceramah tapi ditolak. Pihak stasiun televisi tetap bersikeras, akhirnya beliau terima tapi uang itu tidak dipakai olehnya. Tapi dibagi-bagikan ke pengemis dan tetangganya yang selalu membantu beliau saat mengadakan pengajian rutin.
”Uang itu hanyalah alat, pada titik tertentu kau harus punya kendali bukan sebaliknya.”
Di mana-mana beliau dihormati tapi Kyai Karnawi selalu tawaduk, rumahnya tidaklah begitu besar di pinggir kampung ini tapi tiap hari tak pernah sepi. Orang-orang Kyai Karnawi sampai kewalahan membendung kedatangan para tamu.
”Mereka tamu Tuhan, janganlah kau usir.”
Sekali lagi kata-kata yang ambigu yang tak bisa kucerna di otak ini. Seperti waktu itu ada seorang pelacur bernama Sulasih bertandang menjelang malam.
”Kyai, bisakah kau doakan aku agar laris?”
Sebuah permohonan yang tak biasa, tapi kyai Karnawi tak menolak bahkan bermunajat kepada-Nya agar Sulasih laris manis. Mendengar dan melihat itu, Sulasih pun pulang dengan senyum yang membuncah.
***
Selepas didoakan oleh Kyai Karnawi, Sulasih tak pernah sepi pelanggan. Dalam sehari bisa melayani 10-20 orang sekaligus, ia jadi primadona di lokalisasi itu. Semua teman sejawatnya iri pada Sulasih karena tak ada seperti itu dalam sejarah lokalisasi tersebut. Pundi-pundi uang mengalir kepadanya, Sulasih senang dan germo tertawa.
”Doa Kyai Karnawi memang manjur. Aku bisa kaya-raya dan bisa bangun rumah emak di kampung,”cerita Sulasih.
Mata Sulasih begitu berbinar-binar bahwa impiannya segera terlaksana berkat doa Kyai Karnawi. Tiap hari ia begitu semangat melayani pelanggannya yang antri demi mendapatkan surga duniawi. Hari beranjak ke minggu, minggu merambat ke bulan dan tahun pun berganti. Sulasih merasa apa yang ia inginkan terpenuhi dengan sedikit anomali. Lama kelaman ia merasa kewalahan untuk menghadapi manusia-manusia yang datang padanya terus menerus untuk jadi pemuas napsu.
Saat kelelahan melayani pelanggan terakhir dan tergeletak di ranjang mewahnya. ia melihat ke atas langit-langit dan menerawang. Lalu berpikir apa yang pernah diucapkan Kyai Karnawi saat pertama ia memohon doa penglaris itu. Dan Sulasih mencoba keras memahaminya, kemudian terdiam sesaat dan bibir tersungging seperti ia tahu jawaban atas semua ini.
Malam itu sama seperti malam petama kali ia datang ke rumah itu, pria itu tetap tak berubah, begitu bersahaja. Duduk di ruang tamu seakan menanti dirinya, tersenyum menatap dirinya.
”Jika kau merasa sudah siap, mari kita mulai.”
***
Kadang orang-orang sekitar Kyai Karnawi heran mengapa harus mengambil istri seorang pelacur. Sebelum ini banyak anak gadis kenalannya ingin taaruf. Tapi beliau menolak tanpa alasan apapun. Jika itu kisah istri pertama Sulasih, maka istri keduanya tak jauh beda. Kinarsih juga seorang pelacur jalanan yang tak sengaja menumpang mobil Kyai Karnawi saat menghadiri undangan pengajian di Binjai. Kinarsih tak tahu mobil yang ditumpangi seorang kyai penuh karisma. Perihal yang ia tahu hanya wajah tampan itu saat berhenti di perempatan lampu merah yang biar ia mangkal.
Ia pikir pria gagah itu mau membooking dirinya dan mempersilakan masuk ke mobil. Tapi sesaat tahu perjalanan itu menghadiri pengajian, Kinarsih merasa kikuk bahkan ingin diturunkan di pinggir jalan. Kyai Karnawi mencegahnya. Sesampai di tempat pengajian, Kyai Karnawi disambut oleh para jamaahnya. Mereka melihat Kyai Karnawi bersama seorang wanita dan bertanya siapakah itu? Beliau hanya tersenyum dan berkata wanita itu adalah istrinya.
Para jamaah mendengar itu langsung berebutan untuk mencium tangan Kinarsih untuk mendapatkan karomah dari istri seorang kyai. Kinarsih tersentak melihat pemandangan tersebut karena tak pernah selama hidupnya diperlakukan seperti ini dan tak terasa airmata berlinang. Perasaan haru campur aduk dalam penyesalan.
Saat acara selesai, Kinarsih hanya terdiam dalam mobil dan hanya berkata meminta maaf. Ia ingin insyaf dan berhenti dari pekerjaannya, tetapi tak tahu harus berbuat apa karena takut dosanya telah banyak. Kyai Karnawi tersenyum dan hanya berkata, "Kau tak perlu bingung dan sudah dibuka jalannya. Pulanglah denganku." Kinarsih terkejut atas jawaban Kyai Karnawi dan merasa bingung menelah ucapan itu.
”Iya pulang denganku, tadi aku sudah mengakui engkau adalah istriku. Maka jadilah istriku sesungguhnya sekarang.”
Kinarsih terbelalak apa yang diucapkan Kyai Karnawi, apakah ini mimpi atau bukan, dan yang pasti wajahnya merah tersipu malu.
Mungkin kau tak percaya kisah ini, mungkin begitu juga aku. Pernah sekali aku bertanya kepada beliau, mengapa suka beristrikan seorang pelacur. Kyai Karnawi berbisik pelan di telingaku.
”Mereka itu tiada duanya...”
________________________
Ferry Fansuri, adalah travel writer, fotografer, dan entrepreneur lulusan Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Ia tinggal di Surabaya. Karya tunggalnya kumpulan cerpen Aku Melahirkan Suamiku Leutikaprio (2017).