Namanya Salma. Usia gajah sumatera ini baru setahun. Namun, satu kakinya nyaris putus terlilit jerat dan jatuh ke dalam lubang. Tubuhnya pun kurang gizi. Potret pilu kehidupan gajah yang kian terancam di Sumatera itu hadir kembali.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
Namanya Salma. Usia gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) ini baru setahun. Namun, satu kakinya nyaris putus terlilit jerat dan jatuh ke dalam lubang. Tubuhnya pun kurang gizi setelah terpisah dari kelompoknya. Potret pilu kehidupan gajah yang kian terancam di Sumatera itu hadir kembali.
Epos penyelamatan hidup Salma dimulai saat satwa ini ditemukan pada Selasa (18/6/2019) di hutan Desa Batu Sumbang, Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur, Aceh. Salma terperosok ke dalam lubang batu sedalam 3 meter.
Saat ditemukan, tali tambang ukuran ibu jari masih terikat erat di pergelangan kaki kiri depan Salma. Ada luka di sana yang mulai membusuk dan mengeluarkan belatung. Badannya ringkih dan kulitnya keriput. Gajah kecil malang itu benar-benar sekarat.
”Kemungkinan dia jatuh ke dalam lubang setelah terpisah dari kelompoknya,” kata Muchlis, supervisor mitigasi konflik satwa Forum Konservasi Leuser (FKL) Regional I, yang dihubungi pada Sabtu, 22 Juni.
Perlu waktu dua hari untuk menemukan Salma setelah warga melaporkan ada anak gajah dengan kaki terjerat tersesat di hutan. Salma ditemukan 10 kilometer dari permukiman masyarakat.
Kerja mulia pun dilakukan untuk mengangkat Salma. Setelah diangkat, Salma lantas dibawa menggunakan perahu ke conservation response unit (CRU) pusat mitigasi konflik satwa di Serbajadi, Aceh Timur.
Muchlis menyebutkan, berat badan gajah itu saat ditemukan hanya 225 kilogram. Melihat ukuran tali jerat, ia menduga, sasaran buruan sebenarnya bukan gajah, melainkan satwa lain seperti rusa atau harimau.
”Makanya yang kena bukan induk, tapi anaknya,” kata Muchlis.
Saat ini, Salma masih dirawat di CRU Serbajadi. Walaupun belum sepenuhnya sehat, kondisinya mulai membaik. Salma sudah mau minum susu dan sudah mampu berdiri. Namun, selang infus masih dipasang di tubuhnya untuk menyuplai vitamin.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh Sapto Aji Prabowo menuturkan, tim medis menangani Salma dengan baik. Setelah dirawat empat hari, Salma sudah melewati masa kritis. Sapto bahagia menyaksikan Salma mulai akrab dengan pengasuhnya.
”Tetapi tetap perlu perawatan intensif, sambil tim mencari kelompok yang mungkin merupakan induknya,” ujar Sapto.
Kian terancam
Kehidupan gajah sumatera dan satwa kunci lainnya di Aceh kian terancam. Perdagangan organ satwa di pasar gelap memicu perburuan. Di antara banyak satwa lindung, kasus perburuan gajah paling banyak terjadi di Aceh. Sasaran bukan hanya gajah liar, yang jinak pun dibunuh.
Masih segar dalam ingatan kasus Bunta, gajah jinak di CRU Serbajadi. Bunta yang selama ini menjadi penengah konflik satwa dengan manusia dibunuh pada pagi buta.
Di antara banyak satwa lindung, kasus perburuan gajah paling banyak terjadi di Aceh. Sasaran bukan hanya gajah liar, yang jinak pun dibunuh.
Bunta diberikan buah kuweni yang telah diberi racun. Setelah mati, gadingnya dipotong dengan kapak. Dua pelaku pembunuh Bunta divonis 4 tahun penjara, sedangkan dua pelaku lainnya hingga kini masih buron.
”Vonis berat terhadap pelaku kejahatan satwa lindung untuk memberikan efek jera,” kata Sapto.
Kasus lain, anak gajah berusia 15 bulan bernama Amirah. Anak gajah ini terjerat pada 2 Mei 2018 di Pidie. Setelah dirawat selama lima bulan di PLG Saree, Aceh Besar, Amirah mati. Anak gajah ini terkena jerat yang dipasang untuk pemburu rusa.
Perangkap dan jerat satwa kerap menjadi alat utama perburuan. Periode 2014-2018, FKL menemukan 5.529 perangkap dan jerat satwa di dalam kawasan hutan. Jeratnya beragam, mulai dari kabel sling, pijakan berpaku, hingga jeruji besi.
Dampaknya memilukan. Sepanjang 2015-2018, sebanyak 33 gajah sumatera di Aceh mati. Selain karena jerat, ada gajah yang mati diracun, ditembak, dan disetrum. Gadingnya diambil. Bangkainya dibiarkan membusuk. Ironisnya, dari sekian banyak kasus kematian gajah, sedikit yang berhasil diungkap dan pelakunya ditangkap.
Sapto menuturkan, konflik gajah dengan manusia kian masif akibat berkurangnya habitat karena dialihkan menjadi kawasan budidaya. Saat ini, 85 persen populasi gajah di Aceh berada di luar wilayah konservasi.
Sekarang, populasi gajah di Indonesia sekitar 1.700 individu. Sebanyak 500 individu berada di Aceh, selebihnya tersebar di beberapa provinsi di Sumatera.
Perebutan kawasan antara manusia dan satwa membuat konflik kian sering terjadi. Dalam Qanun atau Perda tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh, kawasan yang merupakan habitat gajah masuk dalam kawasan budidaya dan perkebunan sawit.
Selain gajah, orangutan juga menjadi sasaran perburuan. Pada Maret 2019, satu orangutan ditemukan dalam keadaan kritis di pohon sawit di Subulussalam. Pada tubuh orangutan itu bersarang 74 peluru senapan angin.
Pemanfaatan ruang yang keliru memicu konflik gajah dengan manusia. Kawasan yang termasuk habitat gajah perlu dikelola secara khusus.
Direktur Pusat Kajian Satwa Liar Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Wahdi Azmi mengatakan, pemanfaatan ruang yang keliru memicu konflik gajah dengan manusia.
Menurut dia, kawasan yang termasuk habitat gajah perlu dikelola secara khusus. Misalnya, penerapan pola pertanian yang sesuai dengan karakteristik satwa di dalamnya.
Wahdi menyebutkan, pemasangan GPS collar menjadi salah satu solusi menekan konflik satwa. Cara lain yang juga harus diterapkan, lanjutnya, membuat barrier atau parit pembatas. Saat ini, parit pembatas yang sedang dibangun berada di Aceh Jaya, Bener Meriah, dan Aceh Timur.
”Paling penting, masyarakat sekitar kawasan hutan bisa hidup berdampingan dengan gajah. Manusia dan satwa sama-sama membutuhkan hutan untuk kehidupannya,” kata Wahdi.