Pada saat Belanda berkuasa di Batavia, awal abad ke-19, sudah terbentuk Kotapraja Batavia. Kala itu sudah ada pantai yang kerap digunakan orang-orang Eropa untuk berwisata, bernama Zandvoort.
Oleh
JOHNNY TG
·4 menit baca
Pada saat Belanda berkuasa di Batavia, awal abad ke-19, ketika sudah terbentuk Kotapraja Batavia, ada sebuah pantai yang kerap digunakan oleh orang-orang Eropa untuk berwisata, namanya Zandvoort. Letaknya bersebelahan, tidak jauh dari Pantai Cilincing, Jakarta Utara, yang saat itu masih rimbun dengan pepohonan kelapa.
Zandvoort masih menyajikan air laut yang jernih dan bersih sehingga mereka suka menghabiskan waktu di pantai untuk berenang dan menikmati keindahan matahari tenggelam dan dikejauhan mereka bisa melihat hilir mudik kapal layar.
Di lokasi itu berdiri sebuah bangunan berlantai dua, Jacht (Yacht) Club namanya. Tidak jauh dari tempat itu terdapat tempat untuk parkir kapal-kapal yacht yang berlabuh di kawasan tersebut. Di tempat itu orang bisa menikmati aneka hiburan, makanan, dan minuman.
Menurut arkeolog Candrian Attahiyyat yang pernah tinggal di Sampur, nama Zandvoort mengacu pada salah satu pantai berpasir putih yang panjang di provinsi Belanda sebelah utara dan sudah ada sejak tahun 1100. Pantai Sampur adalah nama yang diberikan oleh warga Jakarta yang tidak bisa melafalkan kata Zandvoort.
Pantai Sampur bukanlah pantai berpasir dan landai seperti Ancol, melainkan lebih mirip dermaga. Ada semacam tanggul di sekitarnya sehingga orang bisa berjalan di atasnya.
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dibangun dam-dam sepanjang 7 kilometer dengan ketinggian 1,5 meter untuk menahan gelombang. Karena itu, orang dapat menikmati pantai di kawasan tersebut karena ombaknya relatif tenang.
Dari sebuah foto udara pesawat Belanda sekitar tahun 1930-an, selain memperlihatkan bangunan dam, di seberang Yacht Club yang dipisahkan oleh sebuah muara terdapat bangunan pabrik General Motors, pabrik otomotif dari Amerika Serikat.
Pada Mei 1927, NV General Motors Java Handel Maatschappij membuka pabrik perakitan otomotif di Tanjung Priok, Pelabuhan Batavia. Di pabrik yang terletak di kawasan Tanjung Priok ini dilengkapi dengan sirkuit untuk uji coba kendaraan.
Menurut Pak Manta, warga yang pernah tinggal di daerah Sampur tahun 1950-an, Yacht Club merupakan restoran di tepi pantai dan klub khusus penggemar olahraga air. Kalau bukan anggota klub, jangan harap bisa masuk. Makanannya enak dan kalau malam Minggu bisa dansa-dansi diiringi orkes lagu Hawaiaan.
Warga masyarakat sekitar bisa menikmati pantai untuk berenang atau sekadar bersantai dibelai angin laut sambil ngeliat kapal-kapal keluar masuk Tanjung Priok, katanya. (Kompas, Jumat, 4/2/1994, hlm 11).
Radhi Rafii, warga Koja Utara kelahiran tahun 1953, dan pernah tinggal di Jalan Digul yang berlokasi 200 meter dari Pantai Sampur, menceritakan, tempat itu menjadi primadona wisata pantai di Jakarta tahun 1970-an. ”Dulu banyak anak-anak berenang di pantai ini,” ujarnya.
Hal itu juga dibenarkan oleh Djaya, asal Indramayu, yang telah menjadi tukang perahu awal tahun 1970 di Sampur. ”Saya waktu itu ikut menyewakan ban untuk mereka,” katanya. Selain itu, Sampur pernah menjadi tempat latihan olahraga ski air, kejuaraan nasional, dan Pekan Olahraga Nasional (PON) sebelum dipindahkan ke Danau Sunter. Sayangnya, bangunan Yacht Club yang pada tahun 1972 dijadikan cagar budaya oleh Pemda DKI ikut tergusur saat diadakan pembebasan lahan untuk perluasan terminal peti kemas.
Perkembangan berikutnya, tahun 1980-an, kondisi Sampur makin tidak terawat. Kawasan rekreasi murah ini menjadi kumuh, kotor, bahkan menjadi tempat prostitusi liar. ”Tempat ini bukan lagi menyenangkan, melainkan menyeramkan,” kata Radhi.
Wali Kota Jakarta Utara H Suprawito saat itu, yang dihubungi di Balai Kota DKI Jakarta, mengakui kekumuhan Pantai Sampur. ”Buat apa kita bersihkan sebab tidak lama lagi kawasan itu akan digusur untuk dibangun terminal peti kemas,” kata Suprawito. Untuk tempat rekreasi pantai, kata Wali Kota, telah dialihkan ke kawasan Marina Ancol, 5 kilometer sebelah barat Pantai Sampur. (Kompas, Senin, 26/7/1993, hlm 7).
Pantai Sampur dan kawasan di sekitarnya di Kelurahan Koja Utara akan diratakan dan berubah menjadi terminal peti kemas yang merupakan perluasan terminal peti kemas III Tanjung Priok. Pada Juli 1997, terminal baru peti kemas Koja, Tanjung Priok milik PT (Persero) Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II beroperasi. Terminal yang dibangun dengan dana sekitar Rp 1 triliun itu dioperasikan antara PT Humpuss Terminal Petikemas dan PT Pelindo II. Terminal peti kemas Koja ini merupakan terminal ketiga dari tiga terminal peti kemas PT Pelindo II, Tanjung Priok.
Sumber: Kompas, Sabtu, 29 April 1967, halaman 1, Kompas, Selasa, 3 Desember 1985, halaman 2, Kompas, Selasa, 14 Januari 1986, halaman 3, Kompas, Kamis, 25 Juli 1991, halaman 7, Kompas, Senin, 26 Juli 1993, halaman 7, Kompas, Jumat, 4 Februari 1994, halaman 11, Artikel ”General Motors, Perintis Industri Mobil di Indonesia” di Tirto.id.