Jakarta dan Urban Sprawl
Wilayah Jakarta sejak zaman kolonial hingga sekarang terus berkembang dari pesisir utara ke selatan hingga Bodetabek. Peradaban kota Jakarta bermula dari permukiman di Pelabuhan Sunda Kelapa, bagian dari Kerajaan Pajajaran, yang lantas direbut oleh Kerajaan Jayakarta dan mengubahnya menjadi Jayakarta.
Tanggal 22 Juni 1527 diyakini sebagai yang paling dekat dengan berdirinya Jayakarta. Tanggal itu pun dipilih menjadi hari lahir Jakarta.
Pekan ini, genap 492 tahun usia Jakarta. Mari coba kembali melihat perjalanan panjang ibu kota Republik Indonesia ini. Pada 1619, kota Jayakarta yang didiami sekitar 10.000 jiwa dihancurkan oleh Belanda. Belanda lalu membangun Batavia (1620), kota benteng dikelilingi kanal sebagai pengendali banjir dan sarana transportasi.
Baca juga: Berbagi Kue Ekonomi Jakarta
Batavia sebagai kota dagang menjadi gula bagi pendatang lokal ataupun asing. Mengutip data Sensus Penduduk 1673 dari buku Jakarta Sejarah 400 Tahun, penduduk Batavia 27.068 jiwa. Selain itu, ada 15.000 jiwa lain yang bermukim di pinggiran kota.
Urban sprawl
Dalam perkembangannya, Batavia menjadi tempat yang tidak layak huni. Batavia kebanjiran. Penduduk kekurangan air baku karena air sumur dan air sungai yang tercemar. Kanal yang tak bisa mengalir ke laut berbau busuk dan menjadi sumber penyakit tifus dan disentri.
Kondisi itulah yang membuat penduduk memilih pindah ke wilayah selatan Batavia. Tercatat pada 1779 penduduk Batavia turun menjadi 12.131 orang dan 160.986 orang memilih tinggal di luar kota di sisi selatan. Saat itulah menjadi catatan awal urban sprawl atau penjalaran kota tak terarah di Jakarta.
Baca juga: Jakarta Rayakan Keragaman
Perkembangan ke arah selatan tidak direncanakan kolonial Belanda. Menurut buku Dinamika Wilayah Pinggiran (Cahyadi, 2017), yang dikutip dari laman Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, fenomena urban sprawl sama tuanya dengan sejarah kota itu sendiri. Gejala penjalaran kota yang tidak terarah ini akan muncul jika kota telah mencapai kematangan ekonomi dan kesejahteraan penduduk meningkat.
Penduduk Batavia pada abad ke-18 yang makmur seiring berjayanya perusahaan dagang VOC memilih pindah ke luar Batavia untuk mencari kehidupan yang lebih layak.
Perkembangan kota yang tak terencana ke wilayah selatan membuat Gubernur Jenderal Daendels pada akhir abad ke-18 memindahkan pusat pemerintahan ke Weltevreden (sekarang kawasan Lapangan Banteng, Senen, Pejambon).
Weltevreden saat itu menjadi pusat permukiman orang Eropa dan Batavia lama tetap menjadi tempat bermukim warga non-Eropa. Batavia juga masih menjadi pusat perdagangan. Molenvliet (Jalan Gajah Mada-Hayam Wuruk) menjadi jalur lalu lintas ramai penghubung Batavia dan Weltevreden.
Sekitar tahun 1887 pelabuhan dipindah ke Tanjung Priok karena endapan lumpur di muara sungai menyulitkan kapal untuk berlabuh. Perpindahan inilah yang menurut Yudisthira dalam paper-nya, ”Analisis Arah Pergerakan Aktivitas Ekonomi Jakarta terhadap Daerah Sekitarnya dengan Menggunakan Pendekatan Urban Sprawl”, Jakarta memiliki dua inti perkembangan kota. Inti utama Batavia dan inti kedua adalah Tanjung Priok yang terletak 10 kilometer dari Batavia.
Meski Tanjung Priok menjadi inti kedua, perkembangannya ke selatan cenderung lambat. Diceritakan oleh Blackburn (2002), lingkungan Tanjung Priok endemik malaria sehingga sedikit sekali orang yang memilih untuk tinggal di situ. Tanjung Priok hanya pelabuhan, tempat singgah untuk melanjutkan perjalanan ke Batavia dan Weltevreden.
Permukiman penduduk pada abad ke-19 cenderung meluas ke tenggara, seperti Kramat, Salemba, Kebon Sirih, Prapatan, dan Pegangsaan. Hal ini didorong pembangunan trem dan jalur kereta ke arah tersebut.
Pertambahan jumlah penduduk membuat wilayah administrasi kota dimekarkan sampai batas Meester Cornelis (Jatinegara). Pada 1930, populasi kota Batavia (termasuk Weltevreden) mencapai 435.000 jiwa.
Direncanakan
Peningkatan jumlah penduduk membuat pemerintah kolonial Belanda pada 1940 berencana memperluas wilayah Batavia. Pemerintah telah membeli tanah partikelir di kawasan Menteng serta Gondangdia untuk hunian eksklusif orang Eropa. Kampung orang non-Eropa yang ada di sekitar kawasan itu dipindahkan ke lahan pertanian di sekeliling kota.
Akibatnya, perkembangan permukiman menjadi tidak terarah ke wilayah selatan dan menggeser areal pertanian. Dampak urban sprawl saat itu telah menjadi awal berkurangnya lahan terbuka (pertanian dan resapan air) menjadi kawasan terbangun.
Pasca-kemerdekaan tahun 1948, Pemerintah Indonesia merencanakan membangun kota baru di sisi selatan Jakarta, yang disebut Kota Satelit Kebayoran Baru. Pembangunan kota yang berjarak 8 kilometer dari Koeningsplen (Lapangan Merdeka) itu untuk menciptakan pusat pertumbuhan baru sebagai langkah mengurangi kepadatan di Weltevreden.
Pasca-kemerdekaan tahun 1948, Pemerintah Indonesia merencanakan membangun kota baru di sisi selatan Jakarta, yang disebut Kota Satelit Kebayoran Baru. Pembangunan kota yang berjarak 8 kilometer dari Koeningsplen (Lapangan Merdeka) itu untuk menciptakan pusat pertumbuhan baru sebagai langkah mengurangi kepadatan di Weltevreden.
Tanah seluas 730 hektar itu dibagi untuk perumahan rakyat, perumahan sedang, vila, rumah flat, pertokoan, dan industri. Selain itu, juga direncanakan taman sekitar 118,4 hektar serta lahan pertanian di pinggiran (33 hektar). Lokasi wilayah baru yang disebut kota satelit itu bersinggungan dengan jalur Kereta Api Tanah Abang-Serpong.
Meski namanya kota satelit, sebenarnya kota ini tidak bisa lepas dari induknya. Penduduk yang bermukim di Kebayoran masih tetap bekerja di sekitar Lapangan Merdeka.
Baca juga: Mencari Kemolekan dari Sisi Obesitas Ibu Kota
Menjalar ke Bodetabek
Hingga 1965, jumlah penduduk Jakarta kian meningkat hingga menjadi 3,8 juta jiwa. Pertambahan jumlah penduduk itu mengutip dari Blackburn (2002) juga diikuti dengan pertambahan luas wilayah Kotapraja menjadi tiga kali lipat dari batas kota yang lama pada 1950.
Wilayah Jakarta dari Kebayoran Baru menjalar ke barat daya hingga Kebayoran Lama dan bergerak ke selatan ke Pasar Minggu. Selain itu, berkembang ke timur laut, dampak ditetapkannya Pulo Gadung sebagai kawasan industri.
Era selanjutnya, perkembangan kota menyentuh wilayah tetangga Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Bodetabek). Munculnya pusat-pusat pertumbuhan baru di kawasan itu bukan tanpa sengaja diciptakan oleh pemerintah. Tahun 1976, melalui Instruksi Presiden Nomor 13, untuk membatasi perkembangan dan urbanisasi ke Jakarta, pemerintah mengembangkan kegiatan industri dan perdagangan di wilayah sekitar Jakarta.
Baca juga: Tantangan Menjaga Identitas Jakarta
Faktor pembangunan kawasan industri di Bogor menjadi pemicu perkembangan Jakarta ke arah selatan. Penjalaran wilayah itu ditunjang kehadiran Jalan Tol Jagorawi pada 1978. Hal yang sama diikuti perkembangan ke wilayah barat (Tangerang) yang difasilitasi dengan Tol Jakarta-Tangerang.
Kota Baru
Penjalaran wilayah hingga ke Bodetabek secara administratif memang tidak mengubah batas administratif Jakarta. Luas wilayah administratif Jakarta dan Bodetabek tidak berkurang. Namun, urban sprawl membuat perubahan aktivitas, dari yang berkarakter desa menjadi lebih berkarakter kota (suburbanization atau peri-urbanization).
Selanjutnya adalah perkembangan kota baru yang digadang-gadang sebagai kota mandiri yang menyediakan semua fasilitas, termasuk kawasan industri, perkantoran, perdagangan, pendidikan, wisata, dan permukiman. Fenomena ini dipelopori Kota Mandiri Bumi Serpong Damai (BSD) pada 1984.
Baca juga: Kota yang Ngeselin tetapi juga Ngangenin
Namun, konsep itu gagal karena tidak berhasil memindahkan lokasi kerja ke BSD. Mobilitas para komuter antara Serpong dan Jakarta semakin tinggi menciptakan kemacetan lalu lintas dan polusi udara.
Namun, konsep tersebut gagal karena tidak berhasil memindahkan lokasi kerja ke BSD. Mobilitas para komuter antara Serpong dan Jakarta semakin tinggi menciptakan kemacetan lalu lintas dan polusi udara.
Copy paste kota satelit Kebayoran yang diulang oleh BSD diikuti munculnya kota baru serupa oleh pengembang lain, antara lain Lippo Karawaci, Bintaro Jaya, Citra Raya, Bukit Sentul, Kota Legenda, Alam Sutera, dan Citra Maja Raya.
Sebenarnya keberadaan kota baru memberikan manfaat nyata. Di antaranya memecah arus migrasi sehingga Jakarta tidak menjadi tujuan migrasi utama. Selain itu, memunculkan pusat-pusat pertumbuhan baru, membantu pemerintah mengatasi kebutuhan perumahan, hingga meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar.
Baca juga: Susah Senang Hidup di Tengah Kilau Ibu Kota
Namun, karena masing-masing pemerintah kota/kabupaten di Bodetabek belum tegas menerapkan aturan mengenai tata ruang wilayah, muncul berbagai dampak negatif. Di antaranya penguasaan lahan skala besar oleh swasta, alih fungsi lahan pertanian dan kawasan resapan air, dan tersisihnya penduduk setempat ke wilayah pinggiran yang lebih jauh lagi.
Ke depan, megapolitan Jabodetabek akan semakin besar dan menjadi satu kesatuan sistem perkotaan yang saling terhubung satu sama lain. Diperlukan kerja sama pemerintah Jabodetabek untuk mengatasi perkembangan sehingga mengurangi berbagai dampak negatif.