Persidangan Mahkamah Konstitusi yang menangani perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden 2019 dipandang publik berjalan transparan dan independen. Publik menantikan keputusan Mahkamah Konstitusi yang seadil-adilnya di tengah perbedaan penilaian terhadap substansi pemeriksaan perkara.
Jajak pendapat Kompas pada 19-20 Juni 2019 diselenggarakan saat sidang Mahkamah Konstitusi (MK) masih berlangsung. Dari jajak pendapat terekam fenomena publik cukup antusias menyimak jalannya sidang MK. Mayoritas responden (72,7 persen) menyatakan menyaksikan sidang MK melalui media massa, dengan 18 persen di antaranya menyatakan sangat sering. Sementara 54,7 persen responden menyatakan kadang- kadang menyimak sidang MK itu tersebut.
Selama sidang berlangsung, publik juga menilai bahwa hakim konstitusi yang menangani perkara PHPU presiden terdiri atas hakim yang memiliki independensi dan integritas yang kuat dalam menangani sengketa hasil pemilihan presiden (pilpres). Keyakinan tersebut dinyatakan oleh mayoritas responden, yakni 70,5 persen.
Publik meyakini sembilan hakim konstitusi yang menangani sengketa hasil pilpres ini akan mengedepankan kepentingan rakyat sebagaimana dinyatakan oleh 68,6 persen responden.
Di mata publik, kelembagaan MK memiliki rekam jejak citra yang cukup positif. Mengutip hasil survei nasional periodik Litbang Kompas tahun 2015-2019 di semua provinsi di Indonesia, citra positif MK selama lima tahun terakhir rata-rata berada pada angka 65,7 persen. Dalam jajak pendapat telepon kali ini, citra positif MK mencapai 69,6 persen.
Netralitas institusi
Terdapat sejumlah institusi yang terkait dengan penyelenggaraan Pemilu 2019, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang masing-masing berperan sebagai penyelenggara dan pengawas. Sementara Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai aparat negara yang bertugas mengamankan pesta demokrasi 2019.
Terkait dengan KPU sebagai penyelenggara pemilu, lebih dari separuh responden (57 persen) percaya KPU telah mengambil sikap yang netral atau tidak berpihak kepada pasangan calon presiden-calon wakil presiden selama pemilu berlangsung. Sebagian besar responden bahkan mengapresiasi KPU yang telah melaksanakan tugasnya menyelenggarakan pemilu secara profesional.
Demikian pula peran Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu dipandang publik telah netral dalam melakukan pengawasan pesta demokrasi Pemilu 2019. Sebanyak 59,4 persen responden menyatakan keyakinan tersebut. Terhadap profesionalisme Bawaslu dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga pengawas pemilu, sebagian besar responden juga sepakat bahwa Bawaslu telah bertugas secara profesional.
Netralitas TNI dan Polri juga diapresiasi oleh publik dalam kaitannya dengan upaya menjaga keamanan penyelenggaraan pemilu. Sebagai aparatur yang bertugas menjaga keamanan dan kedaulatan negara, publik memandang kedua institusi ini dianggap netral atau tidak berpihak kepada paslon tertentu. Keberhasilan dalam menjalankan tugas mengamankan penyelenggaraan pada hari pemungutan suara 17 April 2019 menempatkan kedua institusi ini mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat.
Dugaan TSM
Terkait dengan substansi pemeriksaan perkara PHPU presiden, tampak bahwa responden memang sangat dipengaruhi oleh preferensi calon presiden yang mereka pilih dalam pemilu. Meski demikian, secara umum bisa disimpulkan bahwa dugaan kecurangan dan keberpihakan aparat relatif tidak disetujui responden.
Terhadap materi sidang berupa dalil yang disampaikan tim kuasa hukum pasangan calon nomor urut 02 (Prabowo Subianto-Sandiaga Uno) yang menyatakan telah terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), sebanyak 68,2 persen responden pemilih pasangan calon nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin menyatakan, tidak percaya terjadi pelanggaran atau kecurangan TSM tersebut. Namun, di sisi lain, 73,5 persen responden pemilih pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menyatakan percaya jika pelanggaran itu terjadi.
Adanya tuduhan bahwa telah terjadi penggelembungan suara secara besar-besaran dalam pemungutan suara, mayoritas pemilih paslon Joko Widodo-Ma’ruf Amin (80,5 persen) menyatakan penggelembungan suara tidak terjadi. Sementara itu, 65,6 persen pemilih paslon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menyatakan percaya jika hal tersebut terjadi.
Demikian pula terkait dengan tuduhan adanya tempat pemungutan suara (TPS) ”siluman” atau fiktif. Mayoritas (80,9 persen) pemilih Jokowi-Amin menyatakan tak percaya, sedangkan 51,7 persen pemilih Prabowo-Sandiaga menyatakan percaya.
Hasil jajak pendapat ini juga mengungkapkan 73,6 persen pemilih Jokowi-Amin menyatakan tidak percaya jika petahana menyalahgunakan program kerja pemerintah untuk kepentingan kampanye pilpres, sementara 62,9 persen pemilih Prabowo-Sandiaga menyatakan percaya jika tindakan tersebut dilakukan petahana.
Persoalan DPT
Dalam sidang MK yang berlangsung tanggal 19 Juni 2019, dalil kecurangan penyusunan daftar pemilih tetap (DPT) kembali dimunculkan oleh pemohon untuk diuji dalam persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan para saksi (Kompas, 20/6/2019). Pihak pemohon (tim Prabowo-Sandi) menghadirkan saksi-saksi yang menyampaikan dugaan 17,5 juta DPT invalid atau tidak wajar.
Sebelumnya, persoalan terkait dengan daftar pemilih tetap (DPT) juga telah muncul dalam tiga periode pemilu presiden, yakni Pilpres 2004, 2009, dan 2014. Pada Pilpres 2004 putaran pertama, pasangan capres-cawapres Wiranto-Salahuddin Wahid, selaku pemohon, mengajukan gugatan ke MK. Pasangan ini mempermasalahkan jumlah DPT sekaligus mempersoalkan kehilangan 5,4 juta suara di 26 provinsi. Hasil sidang MK terkait sengketa Pilpres 2004 menghasilkan putusan MK menolak dalil-dalil pemohon.
Pada Pilpres 2009, dua pasangan calon, yakni Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto serta pasangan Jusuf Kalla-Wiranto, mengajukan gugatan ke MK, yang di antaranya juga terkandung dalil terkait DPT. Pada saat itu KPU disebut telah melakukan pelanggaran yuridis dengan mengubah-ubah DPT. Hasil sidang MK memutuskan gugatan yang diajukan kedua paslon ditolak.
Persoalan DPT kembali mengemuka pada Pilpres 2014, saat itu pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa salah satunya juga mengajukan permohonan gugatan tentang dugaan pengabaian daftar penduduk potensial untuk menyusun DPT, termasuk dugaan penyusunan daftar pemilih khusus tambahan di 5.802 TPS. Pada sidang sengketa Pilpres 2014, MK menolak gugatan Prabowo-Hatta.
Putusan MK terkait dengan PHPU presiden 2019 akan dibacakan pada 28 Juni 2019, publik berharap semua pihak akan menerima putusan MK. Demikian pula pasca-putusan MK, diharapkan masyarakat kembali bersatu dan mengakhiri keterbelahan yang selama ini terjadi akibat perbedaan pandangan dan pilihan politik.