Kalangan pengembang menyambut baik kebijakan pemerintah menurunkan tarif Pajak Penghasilan kelompok hunian mewah beserta batasan nilai hunian mewah.
Oleh
N ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan pengembang menyambut baik kebijakan pemerintah menurunkan tarif Pajak Penghasilan kelompok hunian mewah beserta batasan nilai hunian mewah. Namun, peraturan tersebut masih memerlukan waktu agar berdampak di sektor properti.
Sekretaris Jenderal Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Totok Lusida menyambut baik kebijakan pemerintah yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 86 Tahun 2019. Dalam PMK tersebut, tarif PPh kelompok hunian mewah diturunkan dari 5 persen menjadi 1 persen.
Batasan nilai hunian mewah yang dikenai PPh dinaikkan dari Rp 5 miliar-Rp 10 miliar menjadi Rp 30 miliar dan batasan nilai hunian mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar 20 persen menjadi Rp 30 miliar.
”Peraturan ini dapat memacu properti untuk segmen menengah ke atas supaya sektor properti lebih kompetitif. Insentif ini sudah lama diusulkan REI kepada pemerintah,” kata Totok, Senin (24/6/2019), di Jakarta.
Menurut Totok, perpajakan memang menjadi salah satu faktor penting dalam mendorong sektor properti. Faktor lainnya, antara lain, perizinan, tata ruang, dan bunga perbankan. Setelah terbitnya regulasi tersebut, masyarakat masih perlu menyesuaikan diri dengan sistem perpajakan yang dilakukan secara daring di Indonesia.
Selain itu, terbitnya peraturan itu tidak serta-merta mendorong masyarakat menengah ke atas untuk membeli properti. Sebab, saat ini mereka lebih banyak berinvestasi di pasar keuangan. Oleh karena itu, perlu waktu dan proses agar aturan tersebut dapat berdampak di sektor properti, terutama untuk segmen menengah ke atas.
Secara terpisah, Managing Director Ciputra Group Harun Hajadi menyambut baik terbitnya PMK Nomor 86 Tahun 2019. Dengan dinaikkannya batasan nilai hunian mewah menjadi Rp 30 miliar, penjualan properti dengan harga sekitar Rp 5 miliar dapat didorong kembali.
Terbitnya peraturan itu tidak serta-merta mendorong masyarakat menengah ke atas untuk membeli properti.
”Dengan menaikkan batasan ini, kami mengharapkan transaksi di atas Rp 5 miliar akan hidup kembali. Dengan demikian, ada dampak ganda. Pertama diharapkan pasar properti di segmen itu bergairah. Kedua, pemerintah mendapatkan penghasilan pajak dari transaksi,” kata Harun.
Meski pasar menengah ke atas lebih kecil dibandingkan dengan menengah ke bawah, segmen tersebut tetap cukup banyak. Segmen ini didominasi investor atau pembeli untuk berinvestasi. Dengan regulasi tersebut, diharapkan mereka mempertimbangkan untuk berinvestasi kembali di properti. Sebab, berinvestasi di properti dinilai lebih aman dan nilainya terjaga.
Sementara itu, Marketing Director Paramount Land Alvin Andronicus berpendapat, ketika sektor properti melambat selama beberapa tahun terakhir ini, kebanyakan pengembang fokus untuk menggarap pasar yang membeli properti untuk dihuni atau pengguna. Harga properti paling tinggi untuk segmen tersebut ada di kisaran harga Rp 2 miliar sampai Rp 3 miliar yang merupakan harga untuk segmen menengah.
”Sekarang ini pasar yang disasar pengembang adalah pengguna. Pengembang yang sekarang menyasar segmen menengah ke atas sangat sedikit. Jadi, dampak ke keseluruhan sektor properti juga kecil,” kata Alvin.
Menurut Alvin, selama ini properti hunian mewah tidak berada di pasar primer, tetapi pasar sekunder. Kebanyakan pengembang tidak masuk di pasar tersebut. Untuk itu, perlu upaya mengajak investor untuk berinvestasi kembali ke sektor properti, termasuk segmen menengah atas.
Salah satu kelompok yang berpotensi membeli hunian mewah adalah orang asing. Namun, sampai saat ini regulasi mengenai pembeli orang asing dipandang belum pasti. (NAD)