Menikmati Moda Raya di Lintasan Ibu Kota
Moda transportasi massal menjadi harapan solusi kemacetan panjang Ibu Kota. Setelah jalur Transjakarta dan kereta komuter, tahun ini Jakarta mendapat semangat baru dengan kehadiran moda raya terpadu (MRT).
Tidak hanya menembus titik kemacetan kota, kehadiran MRT juga memberikan alternatif perjalanan warga Ibu Kota. Rute perjalanan dari utara ke selatan wilayah Jakarta yang dilalui Transjakarta koridor Kota-Blok M dapat dilanjutkan hingga Lebak Bulus.
Moda transportasi massal menjadi harapan solusi kemacetan panjang Ibu Kota. Setelah jalur Transjakarta dan kereta komuter, tahun ini Jakarta mendapat semangat baru dengan kehadiran moda raya terpadu (MRT).
Nantinya, selain MRT, Ibu Kota juga sedang menanti kelahiran moda lintas raya terpadu (LRT) yang direncanakan beroperasi pada pertengahan tahun 2019. Semakin banyak moda transportasi massal, semakin beragam pula simpul integrasi transportasi yang bisa dijelajahi warga kota.
MRT merupakan salah satu wajah baru Jakarta yang dapat dinikmati warga Jabodetabek, termasuk wisatawan. MRT mempunyai pelintasan sendiri yang tidak mengganggu lalu lintas jalan raya.
Pelintasan MRT mulai dari Stasiun Lebak Bulus-Fatmawati-Cipete Raya-Haji Nawi-Blok A-Blok M hingga Sisingamangaraja melayang di atas tanah. Adapun setelah itu dari Stasiun Senayan-Istora-Bendungan Hilir-Setiabudi-Dukuh Atas hingga Bundaran HI berada di bawah tanah.
Kapasitas penumpang MRT sekitar 322 orang per kereta atau 1.950 orang per rangkaian. MRT diperkirakan bisa mengangkut 200.000-300.000 penumpang per hari.
Waktu tempuhnya cukup singkat, hanya 30 menit, degan waktu tunggu 5 menit dan waktu transit (buka tutup pintu) sekitar 22 detik. Inilah keunggulan utama MRT yang membedakannya dari moda massal lain, seperti bus Transjakarta dan kereta komuter.
Baca juga: Jakarta Berubah, Berubah Jakarta
Namun, perjuangan untuk mendapatkan wajah baru ini cukup merepotkan warga Jakarta. Kemacetan lalu lintas salah satunya. Meskipun telah dilakukan manajemen rekayasa lalu lintas, kemacetan masih terjadi karena berkurangnya lajur jalan, sementara volume kendaraan tetap sama.
Kemacetan semakin lama dirasakan akibat molornya target pembangunan MRT. Masalah lain adalah pembebasan lahan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan masyarakat dan instansi pemerintah lain. Dari sekitar 600 bidang lahan yang terdampak pembangunan MRT, sebanyak 157 bidang masuk skala prioritas pembebasan lahan.
Blok M
Hanya butuh waktu 1 menit dari Stasiun ASEAN, kereta MRT sudah sampai di Stasiun Blok M. Stasiun Blok M ini satu-satunya yang tersambung langsung dengan pusat perbelanjaan, Blok M Plaza. Wajah Blok M Plaza yang sempat menua dan kusam mendadak harus berubah dan ikut bersolek dengan kehadiran MRT.
Renovasi bangunan serta pembaruan tenant-tenant penjualan dilakukan untuk menarik pengunjung. Food court dibangun kembali karena berpotensi untuk menjadi tempat makan masyarakat setelah menikmati ”wisata” MRT.
Tak hanya Blok M Plaza, pusat perbelanjaan lain di kawasan Blok M, antara lain Blok M Square, Mall Blok M, dan Pasaraya, kembali bergeliat sejak beroperasinya MRT.
Tak hanya Blok M Plaza, pusat perbelanjaan lain di kawasan Blok M, antara lain Blok M Square, Mall Blok M, dan Pasaraya, kembali bergeliat sejak beroperasinya MRT.
Padahal, tahun 1970 hingga 2000-an, Blok M menjadi kawasan bisnis ramai dan terkenal bagi masyarakat Jabodetabek. Bermula dari pembangunan terminal bus dan Pasar Melawai oleh Gubernur Ali Sadikin pada 1968.
Kemudian, Blok M berkembang dengan dibangunnya bioskop megah ”New Garden Hall” di sebelah barat Terminal Blok M pada 1972. Tidak hanya itu, pusat perdagangan di tanah seluas 4.000 meter persegi dan terdiri atas enam lantai melengkapi kawasan ini pada 1978.
Fatmawati
Laju MRT berlanjut ke tiga stasiun layang yang ada di Jalan Fatmawati, yakni Blok A, Haji Nawi, dan Cipete. Jarak antarstasiun berkisar 2 menit hingga 3 menit dengan waktu transit 23-27 detik. Ketiga stasiun ini menjadi ”pintu masuk” bagi warga yang tinggal di sekitar Jalan Fatmawati.
Kehadiran MRT mengubah wajah kawasan Jalan Fatmawati. Masuk ke Jalan Fatmawati dari perempatan Panglima Polim serasa memasuki terowongan panjang yang terbentuk dari jalur layang MRT. Ruas jalan yang terpisahkan oleh pembatas jalan terlihat semakin sempit karena naungan jalur MRT.
Jauh sebelum dilintasi MRT, kawasan Fatmawati telah menjadi pusat bisnis dan permukiman. Kawasan sepanjang 8 kilometer ini dikenal sebagai pusat perdagangan karpet, tekstil, bahan bangunan, serta mebel dan interior. Geliat bisnisnya cukup tinggi dan sering menimbulkan kemacetan karena arus kendaraan yang keluar masuk toko.
Sepanjang jalan dipenuhi bangunan pertokoan, baik ruko maupun pusat perbelanjaan (ITC Fatmawati). Lapis di belakang pertokoan adalah kawasan permukiman padat dengan beberapa akses jalan masuk.
Sekarang roda usaha kawasan bisnis tersebut belum pulih sepenuhnya. Ketiadaan tempat parkir menjadi salah satu penyebabnya. Lambat laun, beberapa pemilik usaha menutup usahanya dan pindah ke tempat lain. Apalagi sebelumnya ada beberapa pemilik usaha yang terkena pembebasan lahan sebagai salah satu bangunan penunjang stasiun.
Tampaknya, setelah pusat desain interior redup, kawasan Fatmawati akan menjadi pusat kuliner baru. Sebetulnya, sebelum pembangunan MRT, beberapa usaha kuliner telah berdiri seperti di kawasan Cipete. Geliatnya makin terasa dengan beralih fungsinya beberapa toko desain interior menjadi kafe atau restoran. Seperti Kafe ”Kopi Dicari Mama” yang berlokasi persis di bawah Stasiun Haji Nawi.
Ke depan, ketiga stasiun ini akan menjadi kawasan berorientasi transit (TOD), memanfaatkan pusat perbelanjaan yang sudah berdiri sebelumnya. Di antaranya kawasan TOD Blok A (Pasar Blok A) dan kawasan TOD Cipete (ITC Fatmawati).
Lebak Bulus
Persinggahan terakhir sebelum masuk Stasiun Lebak Bulus adalah Stasiun Fatmawati. Meski namanya Fatmawati, stasiun ini tidak berlokasi di Jalan Fatmawati, tetapi berada di Jalan TB Simatupang.
Integrasi moda di kawasan ini cukup bagus. Penumpang yang ingin melanjutkan perjalanan ke arah Serpong, Bintaro, dan Kampung Rambutan bisa singgah di stasiun ini. Disediakan park and ride—kantong parkir bagi penumpang yang akan memarkirkan kendaraan pribadinya sebelum atau sesudah naik MRT—serta tempat integrasi moda Transjakarta.
Stasiun terakhir adalah Lebak Bulus. Di Lebak Bulus juga terbangun depo MRT fase I. Depo MRT fase I dibangun di atas lahan seluas 10,5 hektar di Lebak Bulus. Lokasinya berada di Jalan Pasar Jumat dan area Stadion Lebak Bulus.
Depo ini menjadi satu-satunya depo MRT untuk fase pertama. Depo ini digunakan untuk menyimpan dan merawat sedikitnya 84 kereta MRT dari total 96 kereta yang dioperasikan pada tahap awal. Area depo akan dilengkapi ruang kontrol perjalanan kereta MRT fase pertama.
Tiga stasiun layang yang ada di Jalan Fatmawati adalah Blok A, Haji Nawi, dan Cipete. Jarak antarstasiun berkisar 2 menit hingga 3 menit, dengan waktu transit 23-27 detik.
Stasiun MRT Lebak Bulus juga dilengkapi dengan fasilitas park and ride. Lahan parkir ini berada di bekas lahan Polri seluas 8.000 meter persegi yang lokasinya terlalu jauh dari stasiun MRT.
Perjalanan melihat ”wajah baru” Jakarta dari Kota Tua hingga Lebak Bulus memberikan pengalaman tersendiri. Tak hanya melihat kondisi etalase utama kota Jakarta yang sudah dipercantik, tetapi juga membayangkan Jakarta di masa lampau.
Sayang, wajah baru Jakarta saat ini baru terjadi di jalur utara-selatan yang memang merupakan etalase Jakarta. Masih banyak bagian lain Jakarta yang membutuhkan perubahan.
Tak harus wajah fisik infrastruktur yang indah dan artistik. Keinginan masyarakat dan pemerintah untuk ikut membuat Jakarta nyaman dan aman bagi warganya merupakan modal besar Ibu Kota untuk terus berbenah. (LITBANG KOMPAS)