Menyusuri Wajah Utara-Selatan Jakarta
Menyambut HUT ke-492 Jakarta, Litbang Kompas menelusuri wilayah Jakarta dari Utara ke Selatan menggunakan angkutan umum bus Transjakarta dan moda raya terpadu. Hasil perjalanan tersebut untuk menengok sejarah masa lalu dan memotret perubahan Jakarta.
Menyambut HUT ke-492 Jakarta, Litbang Kompas menelusuri wilayah Jakarta dari Utara ke Selatan menggunakan angkutan umum bus Transjakarta dan moda raya terpadu. Hasil perjalanan tersebut untuk menengok sejarah masa lalu dan memotret perubahan Jakarta.
Perjalanan membelah Jakarta dari utara ke kelatan menggunakan angkutan massal sekarang punya alternatif. Tak melulu menggunakan kereta komuter dari Stasiun Kota menuju Stasiun Universitas Pancasila di batas Jakarta. Sejak selesai dibangunnya MRT awal 2019, perjalanan menggunakan Transjakarta Koridor 1 (Kota-Blok M) yang membelah wilayah tengah Jakarta bisa dilanjutkan hingga Lebak Bulus di titik Selatan.
Mencoba rute tersebut pada Minggu 16 Juni 2019 menggunakan bus Transjakarta Koridor 1 dan moda raya terpadu (MRT), perjalanan tersebut membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam. Waktu ini lebih lama ketimbang waktu perjalanan menggunakan kereta komuter yang saat diukur dengan aplikasi Google Map 55 menit. Tarifnya pun lebih mahal, Rp 3.500 untuk bus Transjakarta dan Rp 9.000 untuk MRT.
Meski demikian, perjalanan dua moda ini menyajikan pemandangan yang berbeda dan bervariasi. Tentu saja sambil melihat kembali ”Wajah Baru” Jakarta: moda MRT, trotoar lebar sepanjang Thamrin-Sudirman, hingga jembatan penyeberangan orang (JPO) dengan desain menarik dan instagrammable.
Batavia
Perjalanan dimulai dari titik-titik awal peradaban Jakarta, yakni kawasan Kota Tua. Sebelum naik bus Transjakarta di Halte Kota, Kompas meluangkan waktu untuk berkeliling kawasan yang pada abad ke-16 pernah menjadi pusat pemerintahan Kolonial Belanda dan pusat perdagangan yang dikelola Perusahaan Dagang VOC.
Sebenarnya awal peradaban Jakarta bukanlah di kawasan kota tua, tempat Museum Jakarta sekarang berdiri. Cikal bakal Jakarta adalah sebuah pelabuhan di hilir Sungai Ciliwung yang bernama Sunda Kelapa. Sejak saat itu, Sunda Kelapa berubah nama menjadi Jayakarta. Kota yang dipimpin oleh Pangeran Jayakarta ini terletak di tepi barat Ciliwung dan dihuni sekitar 10.000 penduduk.
Sunda Kelapa saat itu semakin terkenal dan diperebutkan oleh Pangeran Jayakarta, Kesultanan Banten, Inggris, dan Belanda melalui kongsi dagang VOC. Namun pada 1619, VOC mengambil tindakan dengan menghancurkan kota ini.
Memasuki halte, terjadi antrean penumpang, tapi berkat kesigapan petugas yang membantu proses tapping kartu, hanya membutuhkan waktu sekitar 3 menit.
Dua tahun setelahnya, Jayakarta berubah nama menjadi Batavia. Sisa-sisa sejarah peradaban Kota Batavia yang menjadi cikal bakal Kota Jakarta saat ini dapat kita lihat di Kota Tua.
Museum Sejarah Jakarta atau dulu berfungsi sebagai Balai Kota pada era kekuasaan Belanda menjadi landmark yang khas dengan Kota Tua. Area berbentuk persegi yang mengelilingi halaman luas di depan museum ini kini menjadi salah satu destinasi wisata di Kota Tua. Bangunan yang mengelilingi halaman itu digunakan untuk museum seperti Museum Keramik dan Museum Wayang.
Namun, ”jalan-jalan” kali ini di Kota Tua terganggu oleh kehadiran pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di setiap sudut Kota Tua hingga di trotoar. Pejalan kaki terkadang harus turun di badan jalan untuk menghindari PKL yang menggelar dagangannya di trotoar. Tak tampak petugas satpol PP yang berusaha menjaga ketertiban.
Sebenarnya, pada 2016 pemerintah telah membangun Lokasi Binaan Taman Kota Intan seluas 1,2 hektar untuk kios-kios PKL dan kawasan parkir kendaraan di Jalan Cengkeh. Namun, kapasitas Lokbin Taman Kota Intan tidak mencukupi untuk menampung semua PKL di Kota Tua.
Tercatat oleh satpol PP Jakarta Barat, ada 1.100 PKL yang tersebar di sekeliling Kota Tua. Sementara di lokasi binaan Taman Kota Intan, jumlah PKL yang tertampung hanya 456 PKL.
Selain itu, tidak semua PKL mau pindah ke Lokasi Binaan Taman Kota Intan. Terdata, dari 400 pedagang, hanya 256 PKL yang mau pindah ke Jalan cengkeh. Sisanya berjualan di Jalan Kunir, Jalan Lada, dan Jalan Bank.
Halte Kota
Setelah berkeliling Kota Tua, perjalanan naik Transjakarta dimulai dari Halte Kota. Halte ini merupakan halte tertua Transjakarta yang dibangun pada 2004. Halte Kota ini berlokasi di persimpangan Jalan Jembatan Batu dan Pintu Besar Utara, tepat di seberang Stasiun Kota.
Memasuki halte ini harus melewati terowongan penyeberangan orang (TPO) dari pintu depan Museum Mandiri atau dari depan Stasiun Kota. Terowongan yang dibangun pada 2005 ini dibuat untuk mengurangi aktivitas penyeberangan orang melalui Jalan Pintu Besar Utara dan Jalan Lada. Terowongan bukan sekadar jalur penyeberangan, melainkan juga berfungsi untuk tempat kios pedagang.
Baca juga: Andai Jakarta Tak Lagi Menjadi Ibu Kota
Namun, menjadi tidak praktis saat pengunjung dari Museum Jakarta tidak bisa masuk langsung ke halte Transjakarta. Calon penumpang harus menyeberang melalui zebra cross di depan Museum Bank Mandiri terlebih dulu, baru masuk ke TPO.
Memasuki halte, terjadi antrean penumpang, tapi berkat kesigapan petugas yang membantu proses tapping kartu, hanya membutuhkan waktu sekitar 3 menit. Halte Kota ini selain dilewati Koridor 1 juga dilewati Koridor 12 (Tanjung Priok-Penjaringan), 12A (Kota-Pelabuhan Kali Adem), 12B (Pluit-Senen), dan W1 (Kota-Pelabuhan Sunda Kelapa).
Tak lama (2 menit) kemudian, bus Transjakarta Koridor 1 (Kota-Blok M) datang. Tepat pukul 13.07 perjalanan dimulai.
Molenvliet
Setelah dari Halte Kota, perjalanan berlanjut melewati jalan Gadjah Mada-Hayam Wuruk. Ada lima halte sepanjang jalan yang dipisahkan oleh Kali Batang Hari. Di antaranya halte Glodok, Mangga Besar, Olimo, Sawah Besar, dan Harmoni Central. Semua halte tersebut menggunakan akses JPO.
Saat bus Transjakarta yang melalui jalan sepanjang 3,2 kilometer, terbayang saat jalur tersebut sudah menjadi jalur transportasi ramai penghubung antara Batavia dan Weltevreden pada abad ke-19. Sebelum tercipta moda transportasi, masyarakat menggunakan kanal sebagai transportasi sungai. Kemudian pada 1869 jalur yang dikenal sebagai Molenvliet tersebut dilewati trem berkuda yang kemudian berkembang menjadi trem uap.
Jalur jalan tersebut, diceritakan dalam buku Jakarta Sejarah 400 Tahun (Blackburn, 2002), diibaratkan sebagai penghubung barbel, sisi utara adalah Batavia (kota lama) dan sisi selatan merupakan Weltevreden (sekarang sekitar Lapangan Banteng). Setiap hari, khususnya di pagi dan sore hari, ramai oleh lalu lintas para komuter yang tinggal di Weltevreden dan bekerja di Batavia.
Diceritakan pula dalam buku tersebut, di sepanjang jalur jalan tersebut pada abad ke-19 menunjukkan gradasi ekonomi dari masyarakat kelas bawah hingga kelas atas. Masyarakat kelas bawah tinggal di Batavia hingga di bagian luarnya kemudian menyebar sepanjang jalur Molenvliet. Sampai batas Weltevreden akan dijumpai bangunan mewah hotel, kantor, dan permukiman warga Eropa.
Monas
Sampailah perjalanan Transjakarta ke Halte Monas. Halte yang berlokasi tepat di seberang Museum Gajah ini ramai dipenuhi orang karena menjadi perhentian beberapa rute Transjakarta. Diantaranya rute 2C (Monas-JIExpo Kemayoran) dan 1F (PIK-Balai kota). Akses menuju halte ini dihubungkan dengan penyeberangan pelican crossing sehingga terkadang membuat arus lalu lintas terhambat dengan orang yang menyeberang.
Menengok di seberang kiri halte terdapat Tugu Monas dan ruang terbuka hijau yang mengelilinginya. Monas dibangun pada 17 Agustus 1961 atas perintah Presiden Soekarno.
Area Monas dibuka untuk umum pada 1972. Area Monas dibuat hijau, teduh, dan asri dengan rencana penghijauan pada 1973. Kolam dengan diameter 30 meter dibangun mengelilingi air mancur setinggi 13 meter. Selain kolam ini, terdapat kolam berukuran 45 meter dan 80 meter yang dihiasi air mancur yang dapat bergerak-gerak mengikuti alunan nada.
Sekitar 3 kilometer ke arah barat terdapat Lapangan Banteng. Ruang publik yang baru selesai direnovasi 2018 lalu tersebut dulu merupakan bagian dari kompleks istana baru Daendels yang bernama Waterlooplein. Kawasan ini menjadi pusat pemerintahan baru pemerintahan Hindia Belanda setelah Batavia (kawasan Kota Lama) tidak layak huni yang disebut Weltevreden.
Sejak Kemerdekaan Indonesia, namanya diubah menjadi Lapangan Banteng. Tempat ini pernah menjadi terminal di pemerintahan Gubernur Ali Sadikin pada 1967. Namun pada 1985, terminal dipindahkan dan Lapangan Banteng kembali digunakan sebagai tuang terbuka hijau (RTH).
Kini, masyarakat dapat menikmati lapangan basket, sepak bola, atau hanya sekitar berjalan-jalan di Lapangan Banteng. Pada akhir minggu, pengunjung dapat menikmati pertunjukan air mancur menari di sana.
Ruas Thamrin-Sudirman
Setelah berhenti sekitar 27 detik di Halte Monas untuk menaik-turunkan penumpang, perjalanan Transjakarta dilanjutkan melalui ruas jalan Thamrin-Sudirman sepanjang 9 kilometer. Ini merupakan ruas jalan etalase Jakarta yang direncanakan sebagai poros kebanggaan warga Jakarta.
Di sepanjang jalan ini, penumpang Transjakarta akan melihat deretan bangunan gedung tinggi dengan berbagai desain arsitektur yang menarik. Kawasan ini diatur dalam RTRW sebagai kawasan perkantoran dengan beberapa fungsi komersial (pusat perbelanjaan) di dalamnya.
Ruas jalan ini juga daerah rawan macet hingga selalu menjadi ruas jalan yang terkena kebijakan penanganan macet. Berawal dari kebijakan pembatasan kendaraan 3 in 1 (1993-2016), kemudian dilanjutkan kebijakan Ganjil Genap. Bahkan pernah pada 2014 diberlakukan pembatasan sepeda motor yang akhirnya aturan tersebut dicabut pada 2017.
Pada pemerintahan Gubernur Sutiyoso (2004), ruas jalan etalase ini yang dipilih sebagai koridor pertama bus Transjakarta. Tujuannya saat itu supaya kemacetan berkurang dan masyarakat mau beralih naik bus Transjakarta Koridor 1. Namun, membutuhkan waktu lama hingga akhirnya kemacetan berkurang dan masyarakat mau naik bus Transjakarta.
Ada 10 halte di ruas jalan tersebut. Halte itu adalah Bank Indonesia, Sarinah, Bundaran HI, Tosari, Dukuh Atas, Karet Sudirman, Bendungan Hilir, Polda Metro Jaya, Gelora Bung Karno, dan Bundaran Senayan. Beberapa halte telah mengalami renovasi terkait dengan pembangunan MRT dan pemeliharaan struktur halte.
Akses menuju halte pun telah diperbaiki, tak melulu semua menggunakan JPO. Namun, ada juga halte yang aksesnya menggunakan pelintasan sebidang jalan, seperti zebra cross dan pelican crossing. Halte Sarinah, misalnya. Akses menuju halte ini tak hanya menggunakan JPO, tapi juga penyeberangan zebra cross yang memudahkan penyandang disabilitas menggunakan Transjakarta.
Selanjutnya Halte Sarinah dan Bundaran HI yang menggunakan penyeberangan pelican (pedestrian light control) crossing untuk menuju halte di tengah badan jalan. Pelican crossing ini merupakan terobosan baru pemda DKI untuk menyediakan fasilitas penyeberangan ramah bagi semua warga, termasuk orang tua dan kaum disabilitas.
JPO di dua lokasi tersebut digantikan fasilitas penyeberangan yang menggunakan lampu lalu lintas khusus. Pejalan kaki tinggal menekan tombol untuk mengubah warna lampu menjadi merah atau kuning berkedip sebagai tanda bagi setiap kendaraan bermotor berhenti.
Selanjutnya, wajah baru Jakarta lainnya adalah JPO baru. Empat JPO, yaitu Dukuh Atas, Polda Metro Jaya, GBK, dan Bundaran Senayan, telah direvitalisasi dengan desain segi empat warna putih yang dipasang secara spiral. JPO tersebut dipasang lampu warna-warni sehingga menjadi instagrammable saat malam hari.
Trotoar
Sebelum JPO instagrammable, wajah baru lainnya yang sempat bikin ramai adalah trotoar. Ajang Asian Games 2018-lah yang telah mengubah wajah trotoar Thamrin-Sudirman. Revitalisasi trotoar dilakukan untuk mendukung pergerakan pejalan kaki dan penumpang MRT.
Rencana awal, trotoar yang ada saat ini akan diubah hingga menjadi selebar 9 meter. Pelebaran dilakukan dengan menutup jalur lambat untuk dijadikan trotoar. Namun, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meminta desain diubah agar bisa mengakomodasi pengendara sepeda motor.
Meski terlambat, pembangunan trotoar selesai tepat sesaat sebelum Asian Games 2018 dimulai. Trotoar dibangun selebar 9-12 meter dan sepanjang 7 kilometer. Jalur hijau ditata sebagai pembatas jalan dengan trotoar, sedangkan jalur kuning melengkapi trotoar untuk membantu penyandang disabilitas.
Penataan trotoar di kawasan ini juga sempat menuai kontra. Desain trotoar yang dilengkapi jalur hijau untuk membatasi jalan dengan trotoar dirasa menyulitkan pengguna bus. Penumpang bus yang akan naik atau turun bus harus menginjak rumput karena jalur khusus untuk pejalan kaki menuju halte terlambat dibuat.
Sebenarnya, masih banyak trotoar lain yang perlu diperbaiki. Misalnya, trotoar di sekitar stasiun MRT belum semuanya seragam dengan bentuk trotoar di Sudirman-Senayan.
Selain itu, PKL yang masih berjualan di trotoar perlu diatur lebih ketat. Tidak hanya di pusat-pusat keramaian, kini PKL sudah banyak yang kembali berjualan di trotoar, seperti di Ruas Sudirman-MH Thamrin.
Integrasi moda
Perjalanan menggunakan bus Transjakarta berakhir di Halte Masjid Agung. Sebenarnya, halte Koridor 1 terakhir adalah Terminal Blok M. Namun, supaya integrasinya cepat dan praktis, dilakukan di halte Masjid Agung. Total waktu perjalanan menumpang bus Transjakarta dari Halte Kota hingga Masjid Agung sekitar 1 jam.
Akses halte yang berlokasi di depan Sekolah Al Azhar tersebut adalah penyeberangan zebra cross. Harus melangkah sekitar 6 menit untuk mencapai Stasiun ASEAN yang berlokasi di sisi utaranya. Tidak terlalu jauh dan tidak melelahkan karena ada tangga eskalator menuju stasiun MRT tersebut. Ini merupakan contoh integrasi moda yang baik. Hanya saja, saat musim hujan menjadi kendala tersendiri.
Menyusuri Ibu Kota dari balik kaca Transjakarta dari ujung utara di Halte Kota hingga Masjid Agung Al Azhar menjadi refleksi kemajuan Jakarta. Perjalanan di Jakarta dapat dinikmati dengan transportasi massal yang nyaman.
Tantangan ke depan adalah integrasi antarmoda transportasi agar menarik semakin banyak warga menggunakan transportasi umum. Pembangunan moda transportasi yang tidak direncanakan dengan baik membuat antarmoda tidak terhubung dalam satu tempat perhentian (halte/stasiun).
Perjalanan menggunakan Transjakarta Koridor 1 (Kota-Blok M) yang membelah wilayah tengah Jakarta bisa dilanjutkan hingga Lebak Bulus di titik selatan.
Salah satu contohnya adalah halte Velbak di Koridor 13 (Ciledug-Tendean), Halte Pasar Kebayoran Lama di Koridor 8 (Lebak Bulus-Harmoni) dengan Stasiun Kebayoran Lama. Penumpang dari Koridor 13 yang ingin berpindah jalur ke Koridor 8 harus jalan sekitar 0,5 kilometer dengan kondisi tanpa trotoar dan harus menyeberang ruas jalan Kebayoran Baru dan Sultan Iskandar Muda.
Belum lagi jika penumpang harus ke Stasiun Kebayoran Lama. Langkahnya semakin banyak dan penuh risiko karena lebih banyak ruas jalan yang harus diseberangi.
Contoh lain, Halte Tirtayasa di Koridor 13 di sebelah Stasiun ASEAN. Dari struktur bangunan, halte ini sudah cukup tinggi, lebih tinggi dari struktur stasiun MRT. Penumpang yang ingin turun di halte ini berpikir dua kali untuk transit dan berganti moda MRT. Faktor kenyamanan penumpang menjadi celah perbaikan pada masa mendatang agar publik makin antusias menggunakan transportasi massal Ibu Kota. (LITBANG KOMPAS)