WAINGAPU, KOMPAS — Praktik pengastaan berdasarkan keturunan di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, menyebabkan sebagian masyarakat belum mendapatkan hak-hak dasar sebagai warga negara. Fenomena ini mulai berubah seiring dengan keterbukaan dan kesadaran para tokoh tingkat lokal. Pemerintah daerah diharapkan bisa berperan untuk mempercepat perubahan.
Berdasarkan pantauan Kompas, masyarakat Sumba Timur secara garis besar terbagi menjadi tiga kasta berdasarkan keturunannya, dan hingga kini masih menjadi praktik budaya. Ketiga golongan ini meliputi kaum maramba atau bangsawan, kalangan kabihu atau orang bebas, dan ata atau golongan terbawah. Kalangan ata ini secara sosial ekonomi menjadi hamba bagi kalangan maramba.
”Jumlah hamba ini di desa kami mencapai 30 persen. Di desa-desa lain sekitar sini juga rata-rata seperti itu, bisa lebih. Satu keluarga maramba bisa punya hamba puluhan orang,” kata Kepala Desa Meurumba, Kecamatan Kahaungu Eti, Sumba Timur, Balla Nggiku (60), Senin (24/6/2019).
Para hamba ini, kata Balla Nggiku, umumnya tinggal di sekitar kediaman maramba untuk melakukan pekerjaan sehari-hari di dalam rumah, ladang, dan menjaga ternak, umumnya tanpa diupah. Mereka juga kerap mendapatkan kekerasan fisik hingga verbal.
Para hamba umumnya tinggal di sekitar kediaman maramba untuk melakukan pekerjaan sehari-hari di dalam rumah, ladang, dan menjaga ternak, umumnya tanpa diupah.
”Seorang hamba tidak bisa membuat keputusan apa pun tanpa izin tuannya. Karena itu, jika tidak ada perubahan, ini akan menjadi hambatan besar pembangunan manusia di Sumba,” katanya.
Dia mencontohkan, banyak maramba membatasi anak-anak hambanya sekolah tinggi. ”Umumnya hanya boleh sekolah dasar. Kebanyakan mereka khawatir akan melebihi tuannya kalau sekolah tinggi,” katanya.
Perubahan
Balla, yang mendapat warisan 30 hamba dari orangtuanya, kemudian menginisiasi perubahan di desanya. Dia memulainya dari keluarganya sendiri.
”Khusus orang-orang dalam rumah (hamba) di keluarga saya sekarang bebas sekolah setinggi-tingginya. Mereka juga boleh bekerja apa saja di luar. Salah satunya sekarang sudah menjadi pendeta. Salah seorang sekarang sudah menjadi pegawai desa. Justru dengan memberdayakan hamba, akan meringankan para maramba,” katanya.
Khusus untuk orang-orang dalam rumah (hamba) di keluarga saya sekarang bebas sekolah setinggi-tingginya. Mereka juga boleh bekerja apa saja di luar.
Menggunakan dana desa, Desa Meurumba juga menyalurkan bantuan ternak dan rumah dengan prioritas kalangan termiskin dari kalangan hamba, terutama para kepala keluarga perempuan. Sebelumnya, dilakukan pendataan dan juga pemberian identitas kepada seluruh warga.
”Sudah ada tujuh kepala keluarga perempuan yang mendapat bantuan ternak kuda induk. Semua warga desa harus mendapat hak yang sama,” katanya.
Kahumbu Nganji, salah seorang hamba di keluarga Balla Nggiku yang kini menjadi staf umum Desa Meurumba, mengatakan, saat ini sudah mulai ada perubahan. ”Saya bangga akhirnya bisa memakai seragam pegawai walaupun hanya jadi pesuruh desa. Tetapi, lebih terutama anak-anak saya juga bisa sekolah semua. Dua orang sudah SMA dan satu SMP,” katanya.
Manajer Program Peduli Kemitraan Yasir Sani mengapresiasi perubahan yang terjadi di Desa Meurumba. Desa ini merupakan salah satu dampingan kemitraan bersama Yayasan Masyarakat Nusa Tenggara (Samanta) sejak tahun 2015 untuk mewujudkan inklusi sosial di masyarakat adat dan terpencil.
”Ini kemajuan besar yang bisa menjadi contoh desa-desa lain di Sumba Timur. Kami harap pemerintah daerah bisa turut berperan. Seperti kita ketahui, praktik kasta sosial ini jelas bertentangan dengan hak asasi manusia,” katanya.
Selain itu, hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28, yang menegaskan setiap warga negara berhak hidup, tidak mendapatkan penyiksaan, dan bebas dalam hati dan pikiran. Praktik ini juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Stepanus L Paranggi, pendamping lokal dari Samanta, mengatakan yakin transformasi sosial terkait praktik perhambaan bisa dilakukan jika ada keterbukaan dan kerja sama banyak pihak, terutama dari kalangan maramba.
”Banyak dari kalangan maramba juga berpendidikan tinggi dan menempati posisi penting. Kalau mereka mau bergerak untuk kemajuan seluruh masyarakat Sumba Timur, perubahan akan terjadi lebih cepat,” katanya.