Aldila Sutjiadi Tinjau Ulang Karir Tenis Profesional
Oleh
Denty Piawai Nastitie
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Meski sukses merebut medali emas ganda campuran Asian Games 2018, petenis putri Aldila Sutjiadi tetap kesulitan mendapatkan sponsor untuk mengikuti turnamen internasional. Situasi ini memaksa Aldila harus meninjau ulang karier tenis profesionalnya pada 2020.
”Kalau masih tidak mendapat sponsor, berat juga. Saya belum tahu mau ke mana. Kemungkinan bekerja, melanjutkan kuliah S2, atau tetap bermain tenis,” tutur Aldila, usai memenangi laga babak pertama turnamen tenis Pelti Indonesia W15 Jakarta di lapangan tenis Elite Club Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (26/6/2019).
Menjadi unggulan kedua, Aldila (24) mengalahkan petenis Jepang, Ai Yamaguchi, 6-4, 6-0. Selain Aldila, Indonesia meloloskan dua petenis putri ke babak kedua, yaitu Fadona Titalyana Kusumawati dan Rifanty Kahfiani. Fadona mengalahkan rekan senegara, Oxi Gravitas Putri, 6-3, 3-6, 6-1. Rifanty menang atas Zeba Jamal (Amerika Serikat), 6-0, 6-0.
Di awal laga, Aldila sempat keteteran menghadapi Ai Yamaguchi yang bermain kidal dan tertinggal 3-0. Setelah menyamakan kedudukan menjadi 4-4, dia berhasil menguasai pertandingan dan unggul 6-4. Pada set kedua, Aldila bermain lebih konsisten. Aldila mengaku merasa gugup menjadi unggulan kedua. “Rasa nervous pasti ada, tetapi tidak berlebihan. Saya berusaha tampil tenang saja,” katanya.
Tahun ini, Aldila menargetkan bisa menembus peringkat dunia tunggal ke-300. Secara bertahap, dia ingin memperbaiki rangking dunia hinga masuk 200 bear. ”Mimpi besar saya adalah tampil di Grand Slam,” tutur petenis yang kini berperingkat tunggal ke-451 dan ganda ke-225 itu.
Aldila mengatakan, untuk memperbaiki peringkat dunia dia perlu mengikuti banyak turnamen internasional dengan biaya tidak murah. Petenis yang saat meraih emas Asian Games berpasangan dengan Christopher Rungkat ini harus merogoh kocek pribadi sebanyak 75.000 dollar AS (Rp 1,063 miliar) per tahun untuk membiayai kebutuhan turnamen. Dalam setahun, Aldila mengikuti setidaknya 25 turnamen di Asia, Eropa, dan AS.
”Kalau hanya di Asia, biaya yang dibutuhkan bisa ditekan menjadi sekitar 60.000 dollar AS per tahun. Tetapi, saya tidak bisa meningkatkan pengalaman dan permainan. Saya harus bermain di Eropa dan AS,” ujar petenis yang bulan lalu menapak di babak final ITF W25 di Singapura.
Untuk mengatasi minimnya dukungan sponsor, Aldila melakukan berbagai siasat. Saat mengikuti turnamen di Australia, misalnya, dia tidak menggunakan pesawat terbang melainkan menyewa mobil dan mengemudikannya sendiri dari satu kota ke kota lain. Dia juga menyewa penginapan murahdan terpaksa mengikuti kejuaraan tanpa pendampingan pelatih untuk memangkas biaya.
Beruntung, Aldila masih mendapat dukungan dari Provinsi Jawa Timur. Sebagai timbal baliknya, Aldila akan memperkuat Jatim pada PON Papua 2020. ”Setelah PON 2020, saya harus harus mulai dari nol lagi. Karena itu, tahun depan berat,” ujarnya.
Kurang diminati
Keberhasilan Aldila/Christo meraih medali emas di Asian Games tidak cukup membuat sponsor melirik prestasi petenis putri itu. Padahal, kedua petenis ini mengukir sejarah meraih emas tenis yang terakhir kali diraih Indonesia pada Asian Games Busan 2002. Tampil sebagai pasangan nonunggulan, Aldila/Christo merebut emas setelah mengalahkan pasangan Thailand Luksika Kumkhum/Sonchat Ratiwatana, 6-4, 5-7, 10-7 di final.
Aldila mengatakan, berbeda dengan cabang lain seperti bulu tangkis atau sepak bola, tenis tidak terlalu diminati oleh perusahaan swasta di dalam negeri. Hal ini berbeda China dan Jepang yang mendapatkan dukungan penuh dari perusahaan asal negara mereka. Dukungan sponsor membuat petenis dari kedua negara itu bisa menapak panggung tenis dunia.
“Dukungan untuk Christo mulai muncul karena namanya cukup besar. Untuk saya, atau petenis-petenis lain yang sedang meniti karier, ini tidak mudah,” katanya.
Ketua Umum PP Pelti Rildo Ananda mengatakan, untuk pemain nasional mendapat dukungan dari daerah untuk persiapan PON. Pemerintah juga memberi dukungan untuk persiapan SEA Games. ”Jadi, ada alokasi anggaran untuk uji coba kejuaraan ke luar negeri dan dalam negeri,” katanya.
Adapun untuk menggelar turnamen, PB Pelti terus berusaha mencari sponsor. “Khusus untuk kejuaraan yunior, Alhamdulillah sudah lebih dari cukup. Tetapi, kejuaraan umum memang tidak semudah mendapatkan sponsor yunior,” ujarnya. Namun, menurutnya, ada beberapa perusahaan yang berminat, seperti Pertamina dan Aman Energi.
Adapun mantan Ketua Pelti Wibowo Suseno Wirjawan mengatakan, mencari dukungan sponsor tenis memang tidak mudah. ”Tenis belum mempunyai dampak komersial. Kalau mendukung Rafael Nadal, mungkin ada dampak komersialnya. Bahkan, meminta dukungan untuk Christopher Rungkat yang sekarang sudah punya peringkat dunia ganda ke-69 saja, tidak mudah,” ujarnya.
Dia menjelaskan, jangankan untuk mendapatkan sponsor, untuk memastikan pertandingan tenis ramai penonton pun sulit. Hal ini berbeda dengan bulu tangkis yang selalu ramai penonton. Dengan minimnya penonton, perusahaan swasta enggan mendukung karir petenis Indonesia. “Inilah tantangan semua pengurus cabang olahraga yang kurang populer,” kata dia. Wibowo berharap, ada bapak asuh tenis dari BUMN untuk mendukung kebutuhan petenis Indonesia.