Pasokan Jatigede Terbatas, Petani Diminta Segera Menanam
Petani di Kabupaten Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat, diminta segera menanam padi jika ingin mengairi sawahnya. Alasannya, pasokan air dari Waduk Jatigede hanya cukup sampai Agustus mendatang.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS – Petani di Kabupaten Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat, diminta segera menanam padi jika ingin mengairi sawahnya. Alasannya, pasokan air dari Waduk Jatigede hanya cukup sampai Agustus mendatang.
“Petani harus tanam paling lambat pertengahan Juli jika ingin mendapatkan air. Lebih dari itu, kami tidak bisa jamin pasokan air lagi,” ujar Kepala Bidang Operasi Pengelolaan Sumber Daya Air Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk-Cisanggarung Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Harya Muldianto, Jumat (28/6/2019), kepada Kompas.
BBWS Cimanuk Cisanggarung mengelola Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang yang memasok air irigasi untuk wilayah Cirebon dan Indramayu. Dengan menanam sebelum pertengahan Juli, pihaknya memastikan pengairan 40 hari ke depan bakal tercukupi.
Alasannya, hingga Agustus, Waduk Jatigede masih menyalurkan air dengan debit sekitar 70 meter kubik per detik. Pasokan air tersebut, lanjutnya, sudah sesuai dengan Rencana Tata Tanam Global (RTTG). RTTG merupakan panduan pemerintah daerah untuk menyusun pola tanam tahunan, termasuk pasokan irigasi.
Menurut Harya, debit tersebut juga sudah sesuai kapasitas Bendung Rentang di Majalengka. Bendung Rentang mengairi 87.803 hektar sawah di Majalengka, Indramayu, dan Cirebon. Air tersebut melalui dua saluran induk (SI), yakni SI Cipelang dan SI Sindupraja.
SI Sindupraja menyalurkan air dengan kapasitas maksimal 35 meter kubik per detik, antara lain ke timur Indramayu dan utara Cirebon. Sementara SI Cipelang antara lain mengairi wilayah barat Indramayu, seperti Losarang dan Kandanghaur, dengan debit 25 meter kubik per detik.
“Setelah Agustus, debit air Jatigede turun menjadi 20 meter kubik per detik. Kalau dipaksakan menyalurkan 70 meter kubik per detik, elevasi waduk akan di bawah batas minimal, yakni 230 meter di atas permukaan laut,” ujar Harya. Kalau dipaksakan, waduk tidak bisa beroperasi optimal. Kemungkinan besar tidak sampai ke Indramayu barat dan Cirebon utara, yang jauh dari saluran irigasi.
Saat ini, volume air di Jatigede mencapai 592,7 juta meter kubik atau 60 persen dari total volume Jatigede. Adapun batas minimal volume air Jatigede berkisar 200 juta meter kubik. Sementara pasokan air ke Jatigede dari hulu Sungai Cimanuk saat ini hanya sekitar 7,7 meter kubik per detik. Saat musim hujan, debit air yang masuk ke Jatigede bisa mencapai 400 meter kubik per detik-600 meter kubik per detik.
Kalau dipaksakan menyalurkan 70 meter kubik per detik, elevasi waduk akan di bawah batas minimal, yakni 230 meter di atas permukaan laut
Jatigede belum mampu beroperasi maksimal karena proses penggenangannya masih terkendala pembangunan jalan lingkar di sekitar waduk. “Diprediksi, penggenangan total waduk rampung tahun 2020,” ujarnya.
Menurut Harya, pemerintah daerah dan petani yang berada di daerah irigasi Rentang seharusnya menanam padi sesuai dengan RTTG. “Kenyataannya, petani tidak konsisten, terlambat tanam. Pemerintah daerah harus merevisi RTTG jika ingin debit air yang disalurkan bertambah. Tetapi, ini musim kemarau. Pasokan air berkurang ke Jatigede,” ujarnya.
Saat ini, berdasarkan data Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon, dari sasaran tanam April-September 42.980 ha, baru sekitar 43 persen areal yang telah ditanami padi. Sementara di Indramayu, diperkirakan masih ada 11.000 ha sawah yang belum ditanami padi.
Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon Herman Hidayat mengatakan, pihaknya telah mengirim surat kepada BBWS Cimanuk-Cisanggarung agar memasok air bagi sawah yang belum ditanami padi.
“Keterlambatan tanam ini dampak dari musim tanam pertama (Oktober-Maret) yang terlambat. Seharusnya, petani tanam Desember. Tetapi, banyak yang menanam Januari karena menunggu hujan. Kami sudah mengimbau petani yang belum tanam agar beralih menanam palawija yang membutuhkan sedikit air,” ujar Herman.
Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon mencatat, areal yang terdampak kekeringan mencapai 846 ha dengan 200 hektar kategori berat atau terancam gagal panen. Adapun 4.459 ha lainnya termasuk dalam kategori terancam kekeringan. Padahal, dalam setahun, Cirebon mampu memproduksi sekitar 560.000 ton gabah kering giling.
Ketua Himpunan Kelompok Tani Indonesia Kabupaten Cirebon Tasrip Abubakar mengatakan, pemerintah daerah dan BBWS Cimanuk-Cisanggarung seharusnya fokus mengantisipasi kekeringan dengan mengairkan air secara maksimal. “Kalau tidak, ribuan hektar sawah puso,” ucapnya.