Sejumlah adat dan tradisi di Indonesia masih melanggengkan praktik sunat terhadap perempuan. Praktik tersebut mendapat tentangan atas dasar prinsip kesetaraan dan hak asasi manusia yang juga menjadi landasan hukum negara.
Oleh
YOHANES MEGA HENDARTO
·6 menit baca
Sejumlah adat dan tradisi di Indonesia masih melanggengkan praktik sunat terhadap perempuan. Praktik tersebut mendapat tentangan atas dasar prinsip kesetaraan dan hak asasi manusia yang juga menjadi landasan hukum negara. Dialektika antara pandangan tradisional dan modern terkait hal itu masih menyisakan ruang abu-abu.
Akhir 2018, Komnas Perempuan merilis riset tentang pemotongan/pelukaan genitalia perempuan (P2GP) atau yang dikenal juga dengan sunat perempuan. Riset ini dilakukan di 10 provinsi di Indonesia yang masih memiliki prevalensi tinggi terhadap praktik sunat perempuan dengan alasan mengikuti tradisi ataupun ajaran agama. Ke-10 provinsi itu ialah Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Banten, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, dan Sulawesi Barat.
Penolakan keras terhadap praktik sunat perempuan didasarkan pada pertimbangan medis dan hak asasi manusia (HAM). Dari sudut pandang medis, P2GP menyebabkan perubahan permanen yang tidak bisa diperbaiki pada organ eksternal genitalia perempuan. Komnas Perempuan menemukan, para perempuan yang sewaktu kecil pernah disunat seiring dengan waktu ada yang mengalami komplikasi kesehatan, termasuk rasa sakit di area genital, perdarahan, kesulitan buang air kecil dan besar, serta infeksi.
Dari sudut pandang HAM, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara tegas menyatakan, P2GP merupakan diskriminasi berbasis jender dan membahayakan stereotip jender terkait peran perempuan dan anak perempuan di masyarakat. Pernyataan tersebut termuat dalam General Assembly of Human Rights Council 2015 yang disepakati 28 negara, termasuk Indonesia.
Penolakan keras terhadap praktik sunat perempuan didasarkan pada pertimbangan medis dan hak asasi manusia.
Selain itu, di kancah internasional, Indonesia pun berkomitmen untuk melaksanakan hasil Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Woman, 1980) yang melawan segala bentuk diskriminasi perempuan. Lalu, juga ada Convention on the Rights of the Child (1989) yang turut disepakati Indonesia tentang penghilangan seluruh praktik tradisional yang membahayakan kesehatan perempuan dan anak-anak.
Praktik sunat perempuan dianggap cukup membahayakan karena korbannya adalah anak perempuan di bawah usia 3 tahun. Dalam temuan Komnas Perempuan, tiap daerah yang melanggengkan praktik ini pun memiliki perbedaan dalam penentuan usia anak yang akan disunat. Di Kepulauan Bangka Belitung, misalnya, usia anak perempuan yang disunat berada pada rentang 7-44 hari. Sementara Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, Banten, dan Jawa Barat menetapkan usia maksimal hingga 3 tahun untuk disunat.
Uniknya, dibandingkan dengan hasil riset sebelumnya pada 2013, Komnas Perempuan juga menemukan, terjadi pergeseran usia ke semakin muda untuk kriteria umur anak yang disunat. Alasannya, sebagian besar orangtua lebih memilih anaknya disunat sedini mungkin agar tidak terlalu sakit dibandingkan dengan usia lebih tua yang dapat menimbulkan trauma bagi si anak. Selain itu, sunat perempuan kini juga sudah ditawarkan dilakukan pasca-persalinan yang sesuai dengan marhabah dan akikah (tradisi Islam).
Pandangan terhadap sunat pada anak perempuan dapat dibedakan dengan sunat pada anak laki-laki atas dasar kesehatan. Sunat bagi laki-laki juga bermanfaat secara seksual karena daerah sensitif rangsangan seksual laki-laki tidak lagi tertutup oleh kulit yang sudah dibuang. Berbeda dengan anatomi kelamin perempuan yang tidak memiliki kulit yang menutupi lubang kencing sehingga tanpa disunat pun perempuan bisa bersuci dan tidak memengaruhi kesehatan reproduksi perempuan.
Motif kepercayaan dan tradisi
Agama, tradisi, atau budaya masyarakat menjadi alasan yang dipilih responden dalam pertanyaan multirespons oleh Komnas Perempuan. Alasan agama mendapat 91,6 persen jawaban responden dan menempatkannya di posisi pertama. Sementara alasan lain juga diungkap responden, seperti tradisi keluarga (72,1 persen), kesehatan (49,8 persen), sanksi sosial (25,5 persen), meningkatkan dorongan seks bagi calon suami si anak kelak (17,5 persen), serta mengurangi dorongan seksual perempuan saat ia menjadi istri (16,7 persen).
Di antara masyarakat yang mempraktikkan P2GP, secara simbolik praktik ini digunakan untuk pembacaan ramalan nasib, keuntungan dan kesialan. Sebagai contoh, di Kabupaten Pandeglang, Banten, banyaknya darah yang keluar saat disunat menandakan bahwa anak tersebut memiliki bakat yang bagus dalam bidang ilmu pengetahuan dan perdagangan saat dewasa kelak.
Lain lagi di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, perdarahan berat saat sunat menyimbolkan setan jahat dan anak perempuan akan tumbuh dengan dorongan seksual tinggi. Di Bone Bolango, anak perempuan diramalkan mendapat keberuntungan ketika muncul cahaya yang terlihat saat darah memancar keluar dari daerah luka sunat. Jika daerah luka akibat sunat bersinar saat dipotong, berarti anak tersebut akan mendapatkan keuntungan besar dalam perdagangan.
Lain lagi di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, perdarahan berat saat sunat menyimbolkan setan jahat dan anak perempuan akan tumbuh dengan dorongan seksual tinggi.
Selain kuatnya peran agama dan tradisi setempat, ditemukan pula bahwa eksekutor praktik sunat perempuan lebih didominasi dukun atau ahli setempat dibandingkan dengan tenaga medis seperti dokter dan bidan. Sebanyak 61,4 persen responden mengatakan menyunatkan anaknya ke dukun, sedangkan sisanya 38,5 persen di tenaga medis. Bahkan, di Gorontalo, masyarakat setempat hanya memperbolehkan dukun untuk melakukan sunat dan melarang tenaga medis turun tangan.
Lantas, apakah tidak ada penolakan dari orangtua anak perempuan yang akan disunat? Komnas Perempuan melihat, jikapun ada orangtua yang menolak anak perempuannya disunat, penolakan tersebut dibayangi oleh sanksi sosial masyarakat setempat, baik berupa pengucilan maupun diragukan dasar kepercayaannya. Akhirnya, praktik tetap dilanggengkan tanpa mempertanyakan kembali manfaat dan dampaknya bagi anak perempuan.
Hukum Belum Kuat
Kementerian Kesehatan sebenarnya pernah menetapkan larangan terhadap petugas kesehatan untuk melakukan praktik P2GP. Larangan itu termuat dalam Surat Edaran Nomor HK.00.07.1.3.1047a tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan.
Namun, surat edaran tersebut dicabut pada 2008 setelah mendapat penolakan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan fatwa (nomor 9A tentang hukum larangan penyunatan wanita) karena dianggap bertentangan dengan syiar Islam.
Perbedaan pandangan ini pun kemudian ditindaklanjuti Kementerian Kesehatan dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1636/ MENKES/ PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan. Peraturan tersebut secara eksplisit ”hanya” memastikan praktik P2GP dilaksanakan dengan aman dan higienis. Artinya, kebijakan ini mengakomodasi fatwa dari MUI tanpa posisi perlawanan terhadap praktik P2GP.
Kementerian Kesehatan mengeluarkan Permenkes Nomor 6/2014 yang menyatakan tidak adanya manfaat kesehatan dari dilakukannya P2GP, bahkan justru memicu risiko kesehatan yang berbahaya.
Meski demikian, pada 2014 Kementerian Kesehatan mengeluarkan Permenkes Nomor 6/2014 yang menyatakan tidak adanya manfaat kesehatan dari dilakukannya P2GP, bahkan justru memicu risiko kesehatan yang berbahaya. Keputusan ini dinilai oleh para aktivis sebagai langkah yang tidak jelas dalam menentukan pelarangan ataupun perizinan praktik P2GP.
Selanjutnya, pada 2016, muncul kembali upaya pelarangan P2GP oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Namun, lagi-lagi, aksi tersebut tidak didukung oleh Kementerian Agama dan MUI hingga saat ini.
Kendati fenomena praktik P2GP masih menyisakan ruang abu-abu bagi perempuan, berbagai elemen masyarakat yang peduli HAM dan kesetaraan jender terus mengupayakan perubahan dengan berbagai cara. Sasarannya jelas karena turut termuat dalam Tujuan Pembangunan Keberlanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) poin kelima, yakni mencapai kesetaraan jender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. (LITBANG KOMPAS)