logo Kompas.id
Utama”Kang Uwis, Ya Uwis…”
Iklan

”Kang Uwis, Ya Uwis…”

Bisa saja dia membunuh sekutu Belanda. Namun, kalau itu dilakukan, Cirebon akan rata dengan tanah. Sebab, saat itu, kapal perang penjajah sudah berjejer di pelabuhan.

Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
· 5 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/JhZ8EX8lTL6g8bC8_88xIEafzco=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2Fkompas_tark_27949348_37_1.jpeg
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Pengunjung berfoto di gerbang Keraton Kasepuhan Cirebon di Kota Cirebon, Jawa barat, Juli lalu. Saat akhir pekan atau liburan, keraton peninggalan salah satu Wali Songo, yakni Sunan Gunung Jati, tersebut ramai dikunjungi wisatawan Nusantara.

Sultan Muhammad Shafiudin Matangaji memilih menanggalkan jubah ”kebangsawanannya” ketika penjajah Belanda bekerja sama dengan elite Keraton Cirebon pada abad ke-17. Sebagai Sultan Sepuh V, Matangaji memilih keluar dari keraton ketimbang melawan kerabatnya yang menyingkirkannya demi kekuasaan. Jalan damai dipilih ketimbang menuruti nafsu berkuasa.

”Beliau menjadi warga biasa dan mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat. Matangaji juga membangun pesantren di sebuah desa,” ujar pemerhati sejarah sekaligus Ketua Dewan Kesenian Cirebon Kota Akbarudin Sucipto dalam perbincangan bersama Kompas, Kamis (27/6/2019), di sela-sela Festival Budaya Sunyaragi, di Cirebon.

Editor:
Gregorius Magnus Finesso
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000