Lacak Jejak Banjir Terparah di Bumi Anoa
Bergemuruh! Banjir bandang menerjang. Rumah hanyut. Jembatan amblas. Pohon bertumbangan. Air melintas cepat melewati hutan yang rusak dan daerah aliran sungai yang kritis, lalu menghantam permukiman. Inilah banjir terparah yang melanda sedikitnya lima wilayah di Sulawesi Tenggara.
Bergemuruh! Banjir bandang menerjang. Rumah hanyut. Jembatan amblas. Pohon bertumbangan. Air melintas cepat melewati hutan yang rusak dan daerah aliran sungai yang kritis, lalu menghantam permukiman. Owose iwoi, inilah banjir besar terparah yang melanda sedikitnya lima wilayah di Sulawesi Tenggara.
”Toati-ati, sa kinulisino oosu, mbuito tetonroano o iwoi.”
Menengadah, Aminuddin (60) melafalkan kalimat yang rutin diucapkan tetuanya dulu. Buyut, kakek, hingga ayahnya yang merupakan orang Tolaki, salah satu suku tertua di Sultra, sering menyampaikan kalimat yang sama. Utamanya ketika terjadi sesuatu dengan lingkungan. Tatapannya nanar.
”Hati-hati. Kalau sudah dikupas itu gunung, tidak alami tempat tinggalnya air. Begitu artinya,” tambah kakek lima cucu ini, Minggu (23/6/2019).
Kalimat itu tetiba diingatnya lekat-lekat beberapa hari terakhir. Banjir setinggi lebih dari 3 meter menyapu kampungnya, di Desa Puuwanggudu, Kecamatan Asera, Kabupaten Konawe.
Pagi itu, bersama ratusan warga kampung lainnya, Aminuddin mulai merapikan rumahnya yang tersapu banjir. Sebuah kunci inggris dipegangnya. Berjalan gontai, ia menuju rumahnya yang hancur berantakan. Bagian dapurnya hilang. Barang-barang yang tidak sempat dibawa keluar rerata berwarna coklat. Penuh lumpur.
Baca Juga: 135 Ibu Hamil di Pengungsian Konawe
Sebuah parabola telah hilang jaring-jaringnya. Rangkanya tinggal setengah. Tiga lembar seng berserakan di halaman rumah yang penuh lumpur. Lemari, kursi, dijejernya satu-satu, mulai dibersihkan dan dirapihkan. Selain beberapa lembar surat-surat dan sejumlah helai pakaian, ia hampir tidak sempat menyelamatkan barang-barang di dalam rumahnya yang berjarak sekitar 200 meter dari Sungai Lasolo itu.
Ayah tiga anak ini mengenang, rendaman air berubah menjadi mimpi buruk yang tidak pernah terbayangkan. Selama 60 tahun hidup, ia mengingat tiga banjir besar yang pernah melanda. Banjir pada 1977, 1996, dan 2013 adalah yang terburuk yang pernah diingatnya, tetapi kali ini berbeda.
Sejak Senin (3/6) air telah meluber dan menggenangi perkampungan. Rendaman air bercampur lumpur mencapai setinggi lutut di dalam rumahnya.
”Kami mengungsi di depan sana,” katanya sembari menunjuk lokasi pengungsian sementara.
”Ini baru hujan dua hari, tetapi air sudah tinggi begini. Biasanya seminggu hujan baru banjir. Makanya, kami mengungsi, sampai kami Lebaran di pengungsian.” katanya.
Memasuki hari keempat, banjir perlahan surut. Bersama istrinya, Maswah (55) ia kembali ke rumah untuk membersihkan sisa-sisa lumpur. Air masih menggenang halaman dan beberapa bagian rumah yang rendah.
Kursi-kursi mulai diturunkan dari penyangga. Kasur juga sama. Perabotan yang terendam lumpur mulai dibersihkan. Peralatan dapur dibersihkan, bersiap untuk memasak.
Hanya saja, hujan tidak kunjung berhenti. Awan gelap membubung dan menutupi langit. Gelap hingga jauh ke hulu. Aminuddin mulai merasa waswas. Ia khawatir air akan datang kembali.
Jumat sore, tepat saat ia beristirahat, air kembali meninggi. Air berwarna coklat pekat itu kembali masuk ke dalam rumah. Kali ini arusnya berbeda. Ia melihat ke sungai yang bisa dilihat dari rumahnya. Air terlihat semakin deras.
Mengepak sejumlah barang, ia berburu dengan air yang cepat meninggi. Sebuah sampan disiapkan di depan rumah. Barang-barang penting yang tertinggal dinaikkan ke atas sampan. Jelang gelap, air telah setinggi pinggang di dalam rumahnya.
”Baku kejar dengan air. Itu derasnya kayak mau dibawa hanyut ini kampung,” ujar Aminuddin.
Tengah malam, banjir bandang tuntas menyapu kampung. Sedikitnya 20 rumah hanyut dan ratusan rumah lainnya rusak. Semua warga selamat karena memutuskan cepat meninggalkan rumah dan barang-barang.
Pada saat yang sama, berjarak sekitar 10 kilometer, banjir bandang lebih dulu menyapu Desa Topuwatu. Desa yang terdiri dari 85 rumah ini terlihat kosong. Dari jalan menurun menuju desa, lahan luas terhampar hingga ke tepi sungai.
Hanya ada tujuh bangunan tersisa, termasuk sebuah masjid. Bentuk bangunan tersisa ini tidak keruan. Tembok masjid bolong sekitar 5 meter. Lumpur lebih dari 1 meter menutup ubin. Bekas air terlihat melewati plafon yang setinggi lebih dari 4 meter. Rumah-rumah doyong atau kehilangan sebagian bagian.
Berjarak 50 meter dari masjid, Endang (29) mengais lumpur di antara timbunan kayu. Sebuah pohon kelapa tumbang menutupi jalan, lalu ikut menutupi reruntuhan. Membuat ia semakin sulit untuk mengais.
Ayah satu anak ini berdiri di sebuah fondasi berukuran 1 x 1 meter. ”Ini dulu fondasi tangga rumahku,” katanya tersenyum getir.
Rumahnya adalah sebuah rumah tinggi, sebutan orang wilayah sini untuk rumah kayu. Tangganya setinggi 2,5 meter. Bagian bawah rumah dipakai untuk menyimpan berbagai perlengkapan berkebun dan sebagian adalah kandang ayam.
Saat banjir pertama datang, ia bersama Roslian (22), istrinya, dan Alfatir Saputra, anaknya berusia 1 tahun, masih berada di dalam rumah. Air bercampur lumpur datang dengan cepat. Tidak butuh berapa lama, air telah sampai di tangga rumahnya, lalu masuk ke dalam rumah.
Sebuah hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya sebab biasanya banjir hanya menutupi tangga. Tidak pernah masuk ke dalam rumah.
”Owose iwoi,” ucap Endang menirukan teriakan tetangganya. Kalimat dalam bahasa Tolaki itu berarti banjir besar.
Ia lalu mengambil sampan yang memang telah ditambatkan di depan rumah. Di bawah hujan yang masih turun, anak istrinya dinaikkan ke sampan, lalu dikayuhnya dengan cepat menuju gunung. Jaraknya sekitar 300 meter. Bersama ratusan warga desa lainnya, mereka mengungsi ke tempat yang memang rutin menjadi pengungsian kala banjir datang.
Owose iwoi,” ucap Endang menirukan teriakan tetangganya. Kalimat dalam Bahasa Tolaki itu berarti banjir besar.
Esoknya ia bernapas lega. Rumahnya masih utuh. Lima rumah tetangganya hanyut. Empat hari mereka berdiam di pengungsian. Mereka terpaksa pindah ke tempat lebih tinggi karena longsor juga terjadi dekat tempat mereka. Saat air berangsur surut, ia mengira semuanya kembali normal.
Akan tetapi, bencana lebih dahsyat menunggu. Air kembali datang jelang Jumat malam. Ketinggian air menutupi rumah-rumah, menyapu pohon, dan apa saja yang dilaluinya. Ketinggian air diprediksi paling rendah 7 meter.
”Waktu banjir kedua datang, rumah ini yang kelihatan cuma atapnya. Dari pengungsian, kami melihat rumah hanyut sambil menangis saja. Mau apa lagi,” ucap pekerja kasar di perusahaan kelapa sawit ini.
Mereka sempat terisolasi beberapa hari karena jalan keluar dari kampung terendam banjir lebih dari 2 meter. Beruntung tim dari Basarnas, kepolisian, TNI, dan sejumlah instansi lain sigap memberikan bantuan.
Endang kehilangan rumah yang dibangunnya sedikit demi sedikit. Tidak hanya itu, ia juga didera trauma banjir akan datang kembali, menghanyutkan seisi kampung. Meski kehilangan tempat tinggal, ia cukup bersyukur semua keluarga dan tetangganya selamat. Hanya saja, ia merasa tidak sanggup lagi membangun rumah di tempat yang sama.
Jauh dari itu, pria lulusan SMA ini penasaran dari mana air bercampur lumpur itu datang. Sebab, baru pertama kali hal seperti ini terjadi. Satu yang pasti, ia tahu, pembukaan lahan di gunung dan hutan terus terjadi, termasuk pembukaan perkebunan tebu di Lawali dan Oheo. Daerah tersebut dulu adalah hutan dan merupakan hulu dari beberapa anak sungai.
Terkurung banjir
Banjir bandang tidak hanya menimpa kampung Aminuddin dan Endang. Sedikitnya puluhan desa di enam kecamatan di Konawe Utara terdampak. Sebanyak 370 rumah hanyut dan lebih dari 2.000 rumah lainnya terendam atau rusak.
Tepat saat banjir bandang di kabupaten ini datang, banjir juga menimpa Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka Timur, termasuk Kota Kendari. Limpasan air dari Sungai Lasolo dan Sungai Konaweha, dua sungai besar di Sultra, membuat sekitar 80 Kecamatan terdampak. Sedikitnya 10.000 keluarga merasakan banjir terparah yang pernah melanda ”bumi anoa” ini.
Dua buah jembatan utama yang menjadi penghubung provinsi amblas. Transportasi lumpuh. Ratusan hektar sawah yang sebentar lagi panen tergenang berhari-hari, membuat petani hanya mampu meratapi nasib.
Untuk Kabupaten Konawe saja, kerugian di bidang pertanian dan peternakan akibat banjir mencapai Rp 226 miliar. Di Kabupaten Konawe Utara, banjir membuat 7.574 hektar sawah gagal panen dan 766.343 ternak hilang. Kerugian ditaksir Rp 309 miliar. Kerugian ini belum termasuk infrastruktur dan bidang lainnya.
Pemerintah Provinsi Sultra mencatat, biaya penanganan pascabencana mencapai Rp 704 miliar. Angka ini hanya untuk menangani berbagai bidang yang menjadi kewenangan tingkat provinsi. Biaya penanganan di tingkat kabupaten/kota, juga nasional, belum dimasukkan. Dari tiga wilayah ini saja, kerugian sementara di atas Rp 1 triliun.
Gubernur Sultra Ali Mazi mengatakan, banjir terjadi karena hujan deras yang turun sehingga dua sungai besar meluap. Ia menolak anggapan penyebab banjir terparah ini karena rusaknya kawasan hutan ataupun kritisnya daerah aliran sungai, seperti analisis sejumlah pihak.
Meski begitu, ia akan mengikuti saran sejumlah pihak untuk melakukan penelitian mendalam terkait dengan penyebab banjir ini. Penelitian lintas sektor dan instansi akan dilakukan untuk mencari penyebab utama bencana dahsyat ini.
”Tidak baik menuding sebelum ada kejelasan. Saya akan membentuk tim untuk melakukan penelitian penyebab banjir ini,” kata Ali Mazi, Kamis (20/6), saat menemani Menteri PUPR Basuki Hadimuljono meninjau dampak banjir di Konawe. Hingga pekan terakhir Juni, tim itu belum terdengar kembali kabar beritanya.
Baca Juga: Dua Bendungan di Sulawesi Tenggara Jadi Prioritas
Bupati Konawe Utara Ruksamin sependapat dengan Gubernur. Ia ingin agar ada penelitian holistik terkait dengan penyebab banjir kali ini. Mengutip riset awal dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, banjir diduga terjadi karena curah hujan tinggi, sistem drainase yang buruk, pendangkalan sungai, dan aktivitas di hutan. Berdasarkan kondisi topografi, lokasi banjir merupakan daratan yang dikelilingi perbukitan terjal.
”Ini bukan saya yang bilang, ya, dari kementerian. Sebaiknya memang ada penelitian biar semuanya jelas. Kita tidak saling tuding. Saya siap buka-bukaan data,” katanya, Sabtu (22/6/2019), di Konawe Utara.
Pemerintah pusat turun tangan terkait dengan bencana banjir ini. Kementerian PUPR segera bertindak memperbaiki jalan, jembatan, dan tanggul. Basuki mengatakan, pemerintah akan membangun dua waduk sebagai antisipasi jangka panjang. Satu waduk dibangun tahun ini dan satu waduk tahun depan.
Pihak kepolisian membentuk tim khusus untuk membantu penyelidikan. Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian menyebutkan, pemberian bantuan dan penanganan pascabencana merupakan hal yang baik, tetapi inti permasalahan harus tetap ditemukan. Ia menugaskan tim dari Direktorat Tindak Pidana Tertentu yang biasa menangani permasalahan lingkungan untuk melakukan penyelidikan.
”Kami memberi bantuan sosial dan perbaikan infrastruktur, tapi itu hanya memotong puncak gunung es. Akan terjadi lagi kalau akar masalah tidak diketahui,” kata Tito di Konawe Utara, Sultra, Sabtu (22/6).
Tudingan kerusakan alam besar kemungkinan bukan omong kosong. Konawe Utara adalah daerah dengan luas izin tambang terbanyak di wilayah Sultra. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mencatat, luas izin usaha pertambangan (IUP) mencapai 200.000 hektar. Sementara luas wilayah ini adalah 500.000 hektar. Hampir setengah wilayah Konawe Utara masuk dalam IUP. Belum lagi, empat perusahaan sawit yang beroperasi di sejumlah wilayah.
Laode M Syarif, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, mengingatkan agar pemerintah memperhatikan betul kondisi lingkungan saat ini. Dibukanya hutan untuk kawasan tambang membuat hilangnya daerah resapan air.
Pertambangan, tambah Syarif, merupakan industri tidak berkelanjutan yang hanya dinikmati sesaat. Itu pun selama ini hanya segelintir orang yang merasakan manfaatnya. Sementara dampak buruknya membuat puluhan ribu jiwa terancam.
”Kami dengar juga, pemasukan dari tambang hanya Rp 99 miliar. Itu kecil sekali, sementara dampak lingkungannya triliunan rupiah. Karena itu, saya mengharapkan agar izin-izin tambang ditertibkan. Pengelolaan diperbaiki,” kata Syarif setelah melakukan koordinasi dan supervisi bersama jajaran pemerintah se-Sultra, Senin (24/6), di Kendari.
Data dari KPK, ada 393 perusahaan pemegang IUP di Sultra. Dari jumlah itu, hanya ada dua perusahaan yang benar-benar melaksanakan semua kewajibannya dengan tuntas. Sementara itu ratusan perusahaan lainnya seperti bermain kucing-kucingan.
Di satu sisi, permasalahan data yang amburadul membuat evaluasi tambang menyeluruh sulit dilakukan. Data dari pemerintah kabupaten yang dulu berwenang penuh belum diserahkan semuanya ke tingkat provinsi sebagai pihak yang kini memegang tanggung jawab.
Pembukaan hutan
Pembukaan areal hutan besar-besaran juga terus terjadi di kawasan Sultra. Sejak awal 2000-an, perkebunan sawit marak. Memasuki pertengahan tahun 2000-an, giliran usaha tambang yang mendominasi. Tanah di Sultra memang kaya mineral, khususnya nikel, aspal, dan emas.
Ratusan ribu hektar kawasan dibuka untuk pertambangan. Namun, tidak hanya kawasan terbuka, hutan juga menjadi lokasi penambangan di kabupaten ini. Data Dinas Kehutanan Provinsi Sultra, dari total 50 izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) di Sultra, ada 23 izin yang berlokasi di Konawe Utara. Luasnya mencapai 10.158 hektar dari total luas IPPKH yang mencapai 43.638 hektar.
Husna Faad Maonde masih ingat betul saat ia sedang mengambil contoh tanah untuk keperluan riset pascatambang di Kecamatan Langgikima, Konawe Utara. Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo ini saat itu menjadi ketua tim lintas kementerian untuk keperluan seminar terkait dengan tambang.
Saat melintasi kawasan itu, ia kaget karena kawasan yang dulunya sebagian hutan telah berganti menjadi perkebunan kelapa sawit. ”Tahun 2008, ke sana itu masih hutan semua. Sekarang ganti perkebunan,” tuturnya, Minggu (16/6/2019).
Sejak awal ia menduga akan terjadi bencana besar akibat kerusakan hutan ini. Sebab, hilangnya vegetasi hutan membuat air tidak bisa menetap. Hutan yang hilang mengakibatkan air dengan cepat turun dan memenuhi aliran sungai.
”Meski harus diteliti lebih lanjut, saya menduga sekitar sebagian tutupan hutan habis karena alih fungsi lahan akibat pertambangan ataupun perkebunan skala besar,” kata Husna.
Total lahan kritis di Sultra 885.000 hektar. Sebanyak 300.000 hektar berada di kawasan hutan. Luas lahan kritis ini menyumbang sepertiga dari total luas lahan kritis di Sulawesi yang mencapai 2,7 juta hektar.
Saya menduga sekitar sebagian tutupan hutan habis karena alih fungsi lahan akibat pertambangan ataupun perkebunan skala besar.
Oleh karena itu, tambah Husna, berdasarkan seminar yang dilakukan tahun 2011, ada 17 rekomendasi terkait dengan usaha pertambangan agar berjalan baik. Beberapa usulannya adalah agar perusahaan benar-benar melakukan pertambangan berdasar analisis mengenai dampak lingkungan.
Pertambangan terbuka tidak dilakukan di kawasan hutan konservasi ataupun hutan lindung. Revegetasi oleh industri pertambangan dan perkebunan harus benar-benar dilakukan. Pemerintah juga didorong untuk melakukan pengawasan terciptanya praktik pertambangan yang baik.
Akan tetapi, rekomendasi dari tim tersebut, juga sejumlah rekomendasi dari lembaga lainnya, sepertinya tidak diindahkan. Saharuddin, Direktur Eksekutif Walhi Sultra, menuding, kondisi ini dibiarkan terjadi. Begitu banyak celah dari industri ini yang menjadi permainan segelintir orang. Sejumlah kasus korupsi yang menjerat kepala daerah di Sultra karena terkait dengan izin pertambangan.
Oleh sebab itu, ia mendesak pemerintah segera merevisi izin yang dikeluarkan serta melandaskan semuanya pada analisis mengenai dampak lingkungan dan kajian lingkungan hidup strategis. ”Kalau tidak, banjir bandang besok-besok terjadi lagi. Nanti generasi kita habis karena bencana,” ucapnya.
Baca Juga: Puluhan Izin Tambang Dikeluarkan di Kawasan Hutan
Banjir memang telah memorak-porandakan ”bumi anoa” ini. Aminuddin mengingat, bagaimana leluhurnya dulu selalu berpesan untuk mengambil seadanya dari hutan dan tidak merusak lingkungan.
”Dulu kami diajarkan untuk ambil jangan banyak-banyak dari hutan. Sekarang hutan sudah dikupas, dibuat jalan, diambil tanahnya. Pohon-pohon habis, jadi begini sekarang hasilnya,” ratapnya.
Senada dengan itu, Endang hanya bisa menyimpulkan satu hal. ”Semua ini karena ulah manusia, peowai dowono toono, begitu kata orang tua dulu.”