Ke Mana Partai Pendukung Prabowo-Sandi Berlabuh?
Pascapemilu, sejumlah partai politik pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno di Pemilu Presiden 2019 mulai bimbang. Ada yang memunculkan sinyal merapat ke koalisi Joko Widodo-Ma\'ruf Amin. Ada yang masih belum memutuskan.
Pascapemilu, sejumlah partai politik mulai bimbang. Sebagian bahkan telah mengeluarkan sinyal untuk merapat ke pemerintahan terpilih. Masuk ke pemerintahan disinyalir menjadi pilihan sebagai jalan untuk merebut kekuasaan di Pemilu 2024. Opsi menjadi oposisi pun menjadi barang langka.
Saat pemungutan suara Pemilu 2019 tuntas digelar dan hitung cepat sejumlah lembaga survei menunjukkan keunggulan calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin, kebimbangan sejumlah partai sebenarnya sudah tampak.
Ini terutama terlihat pada partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Adil Makmur, koalisi pendukung calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno. Seperti diketahui, partai pendukung Prabowo-Sandi di Pemilu Presiden 2019 adalah Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Berkarya.
Salah satu yang paling kentara, Partai Amanat Nasional (PAN). Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan dalam beberapa kali kesempatan menyatakan, secara de facto, keterlibatan PAN dalam koalisi pendukung Prabowo-Sandi telah berakhir saat pemungutan suara Pemilu 2019, 17 April lalu.
”Tujuan utama PAN selanjutnya adalah menyembuhkan luka yang muncul pascapemilu. Apabila upaya menghilangkan perbedaan dan rekonsiliasi itu bermanifestasi dalam sikap dan posisi mendukung pemerintahan, ya, itu akan kami lakukan,” kata Bara.
Terlebih, jika dilihat dari sejarah PAN dan tradisi yang selama ini ada, posisi politik PAN selalu berada di pemerintahan. Ini disebutnya, telah menjadi sikap partai sejak terbentuk di tengah gejolak reformasi, Agustus 1998. ”Ini sudah menjadi pola dan tradisi PAN untuk berada di dalam pemerintahan,” katanya.
Berangkat dari hal tersebut, dia yakin sikap resmi PAN yang akan diambil saat rapat kerja nasional PAN, akhir Juli 2019, adalah bergabung dengan pemerintahan hasil Pemilu 2019, yaitu pemerintahan Jokowi-Amin.
Selain PAN, sinyal Demokrat merapat ke pemerintahan Jokowi-Amin juga menguat pascapemilu. Sinyal ini tampak dari semakin dekatnya hubungan keluarga Yudhoyono dengan Jokowi dan Ketua Umum PDI-P, salah satu partai pengusung Jokowi-Amin, Megawati Soekarnoputri.
Berulang kali, misalnya, Agus Harimurti Yudhoyono, putra sulung Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, bertemu Jokowi pasca-17 April. Kemudian, dalam suasana Idul Fitri, Agus bersilaturahmi ke kediaman Megawati. Agus yang datang bersama adiknya, Edhie Baskoro Yudhoyono, ditemui oleh Megawati yang didampingi kedua anaknya, Puan Maharani dan Prananda Prabowo.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan menegaskan, posisi partainya dalam mendukung Prabowo-Sandi hanya berlaku hingga putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan sengketa hasil Pemilu Presiden 2019 yang diajukan Prabowo-Sandi.
Putusan ini, seperti diketahui, telah dijatuhkan pada Kamis (27/6/2019). Dan seperti diketahui pula, MK menolak seluruh gugatan Prabowo-Sandi.
Baca juga: MK Tolak Seluruh Gugatan Prabowo-Sandi
”Kami tanda tangan di KPU itu adalah dukungan untuk calon presiden. Jadi, kalau sudah berakhir, otomatis (dukungan) kami berakhir juga,” kata Hinca.
Namun, apakah Demokrat akan merapat ke Jokowi-Amin atau akan berada di luar pemerintahan seperti di periode pemerintahan 2014-2019? Hinca mengatakan, partai masih butuh mengomunikasikannya dengan Susilo Bambang Yudhoyono.
Tidak hanya PAN dan Demokrat, partai utama pengusung Prabowo-Sandi, yaitu Gerindra, juga belum jelas posisi politiknya. Hingga kini belum ada satu pun elite Gerindra yang dengan tegas menyatakan Gerindra akan kembali menjadi oposisi di periode pemerintahan 2019-2024.
Wakil Ketua Umum Gerindra Sufmi Dasco Ahmad saat ditanya masalah itu, misalnya, menyatakan bahwa posisi politik Gerindra masih menunggu sikap Prabowo sebagai Ketua Umum Gerindra.
”Semua tergantung Pak Prabowo,” katanya.
Sekalipun posisi politik Gerindra belum jelas, Ketua DPP Gerindra Supratman Andi Agtas mengatakan, komunikasi dengan partai-partai pendukung Jokowi-Amin di legislatif mulai intens dibangun. Ini terutama didorong perebutan kursi MPR periode 2019-2024.
Baca juga: Koalisi Prabowo-Sandi Resmi Dibubarkan
Tidak seperti kursi pimpinan DPR yang akan diberikan ke lima partai dengan kursi terbanyak hasil Pemilu 2019, lima kursi pemimpin MPR akan diisi dengan cara pemilihan di MPR. ”Kami, Gerindra, juga berkeinginan (untuk mendapat pimpinan MPR),” kata Supratman.
Tetap oposisi
Partai yang tampaknya akan tetap menjadi oposisi hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dalam rapat-rapat Koalisi Indonesia Adil Makmur, PKS bahkan mendorong agar koalisi dibuat permanen dan menjadi oposisi bagi pemerintah.
”Kami melihat checks and balances itu penting. Maka, kami akan tetap pada posisi menjadi oposisi,” ujar Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera.
Dia memandang, komunikasi yang coba dibangun kubu Jokowi-Amin dengan partai pengusung Prabowo-Sandi atau sebaliknya merupakan bagian dari kultur Indonesia. Ini karena masyarakat dipandangnya tak begitu berkenan dengan konflik.
”Sikap itu baik sekali. Tetapi, kami memilih sikap yang lebih baik, yakni dengan menjadi partai yang memandang perlunya checks and balances,” katanya.
Resistensi
Lantas, bagaimana sikap Koalisi Indonesia Kerja (KIK), koalisi pendukung Jokowi-Amin, jika memang ada partai dari koalisi lawan yang mau bergabung?
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai salah satu partai pengusung Jokowi-Amin menilai saat ini KIK sudah cukup kuat. Tak hanya itu, menurut Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, KIK sudah ”gemuk”.
”Contohnya, dari sisi jumlah di DPR sudah berlebih-lebih sehingga stabilitas sudah cukup,” ujarnya saat ditemui dalam acara halalbihalal DPP PKB, beberapa waktu lalu.
Namun, Cak Imin, panggilan akrab Muhaimin, mempersilakan kubu 02 merapat apabila tujuannya hanya untuk rekonsiliasi.
Wakil Sekretaris Jenderal PKB Jazilul Fawaid menambahkan, kalaupun ada partai baru yang bergabung, pembagian kekuasaan harus proporsional. Partai dari luar koalisi dinilai Jazilul tidak perlu mendapat kursi menteri, tetapi jabatan di lembaga pemerintahan lainnya. Jazilul berharap jatah kursi menteri diberikan kepada partai di KIK.
”Kalau mau di pemerintahan, jangan di posisi kementerian. Ada lembaga lain, ada duta besar, badan usaha milik negara. Masa tamu yang datang duluan disamakan dengan yang datang belakangan,” ujarnya (Kompas, 21 Juni 2019).
Partai Nasdem lebih resisten. Ketua Bidang Hukum, Advokasi, dan HAM Partai Nasdem Taufik Basari menilai, sebaiknya tetap ada partai yang menjadi oposisi. Sebab, memegang posisi sebagai oposisi dinilainya sebagai posisi politik yang terhormat. Dalam sebuah demokrasi, katanya, pemerintah juga butuh kritik dan kontrol.
Baca juga: Menerawang Kabinet Jokowi-Amin
Pandangan yang sama juga disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto. Menurut dia, sistem demokrasi yang sehat membutuhkan kekuatan oposisi. ”Tugas sebagai oposisi pun adalah tugas yang patriotik,” kata Hasto (Kompas, 25/6/2019).
Munculnya resistensi tersebut disinyalir pula karena partai-partai yang selama ini sudah mendukung Jokowi menuntut jumlah kursi menteri lebih banyak. Partai Golkar, misalnya. Dewan Pakar Partai Golkar beberapa waktu lalu terang-terangan berharap jatah kursi menteri lebih banyak di kabinet Jokowi-Amin.
Jika di kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla Golkar mendapat dua kursi menteri, di kabinet selanjutnya mereka berharap ada tambahan dua hingga tiga menteri untuk Golkar. Mereka bahkan telah mengusulkan nama-nama kader Golkar yang dinilai tepat menjadi menteri.
”Saya yakin Golkar bisa turut berkontribusi (dalam pemerintahan),” kata Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono.
Baca juga: Partai Pengusung Jokowi Ingin Lebih Banyak Menteri
Demi anggaran
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, tidak heran jika banyak yang antre untuk masuk ke dalam pemerintahan.
Salah satunya dengan masuk ke lingkar kekuasaan akan membuka akses pada perancangan anggaran dan program kementerian, yang akhirnya dapat bermanfaat untuk kepentingan operasional mesin partai.
”Jadi, mereka harus punya simpanan dana yang cukup untuk memastikan bahwa partai tetap kuat untuk bertarung di pemilu selanjutnya. Dan, pihak yang memiliki akses terhadap dana yang nyata adalah pemerintah,” kata Lucius.
Baca juga: Tugas Berat Menanti Pemerintahan Jokowi
Ditambah lagi, di Pemilu 2024, Jokowi tak akan bisa lagi menjabat Presiden. Dengan demikian, menjabat posisi menteri atau posisi strategis di legislatif akan membuka peluang untuk maju sebagai capres atau cawapres pada 2024. Mereka setidaknya bisa membangun citra diri dengan jabatan strategis yang melekat pada dirinya sebagai modal maju di tahun 2024.
Padahal, fungsi oposisi dalam berjalannya pemerintah sangat krusial. Peneliti Departemen Politik Centre for Strategic and International Studies, Arya Fernandes, mengatakan, tanpa adanya oposisi, DPR seakan menjadi tidak ada artinya.
Selain itu, memaksakan berkoalisi dengan partai-partai yang sejak awal memiliki program yang berbeda pada akhirnya akan berjalan tidak sehat.
”Bagaimana pihak yang berbeda secara platform kebijakan di aspek ekonomi, politik, dan kesejahteraan sosial ini diajak berkoalisi? Ini akan membentuk pemerintah seperti apa? Kalau anggota koalisi ini memiliki arah kebijakan yang berbeda ini, kan, jadi sulit merancang program,” kata Arya.
Legitimasi pemerintahan
Menurut profesor ilmu politik Universitas Twente, Belanda, Ronald Holzhacker, dalam penelitiannya yang dimuat dalam Journal of Legislative Studies berjudul ”The Power of Opposition Parliamentary Party Groups in European Scrutiny” pada 2005, keberadaan oposisi yang aktif dan beragam juga dapat meningkatkan legitimasi pemerintahan.
Apabila oposisi mengambil peran aktif dan juga konstruktif, masyarakat akan melihat setiap kebijakan pemerintah sebagai sebuah hasil kajian yang adil dan inklusif.
”Masyarakat juga akan merasakan kepuasan terhadap proses demokrasi yang berjalan,” tulis Holzhacker.
Baca juga: Joko Widodo Presiden 2019-2024
Holzhacker berargumen, keberadaan oposisi juga dapat menjadi saluran konflik jalanan ke dalam parlemen. Apabila konflik dan perbedaan di masyarakat dapat dibawa ke parlemen, ia menilai, ketegangan sosial di akar rumput dapat berkurang.
Dengan demikian, keberadaan oposisi yang kuat serta memiliki beragam latar belakang platform politik menjadi penting dalam berjalannya suatu demokrasi. Tanpa adanya oposisi, negara akan berjalan pincang.