Setiap kali kabinet hendak disusun oleh Presiden, polemik kerap muncul. Apakah kabinet lebih baik diisi oleh kader partai politik atau nonpartai? Atau diisi politisi atau profesional? Atau kabinet sebatas untuk bagi-bagi kekuasaan?
Oleh
PRADIPTA PANDU dan SHARON PATRICIA
·4 menit baca
Mahkamah Konstitusi telah menolak seluruh gugatan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno. Maka, otomatis Joko Widodo-Ma’ruf Amin ditetapkan sebagai Presiden-Wakil Presiden terpilih untuk periode 2019-2024. Lalu, bagaimana kira-kira kabinet Jokowi-Amin dalam memimpin Indonesia lima tahun ke depan?
Setiap kali kabinet hendak disusun oleh Presiden, polemik klasik kerap muncul. Apakah kabinet lebih baik diisi oleh kader partai politik atau lebih banyak nonpartai? Atau akan diisi oleh politisi atau profesional?
Jika kita ingat, polemik ini muncul pula saat Presiden Joko Widodo menyusun kabinetnya, di 2014. Dan kita tahu, Jokowi akhirnya memutuskan, dari total 34 menteri di Kabinet Kerja, 13 di antaranya dari partai politik dan 21 menteri lainnya dari kalangan profesional.
Tak sebatas itu, untuk menjaga menteri dari partai betul-betul profesional menjalankan tugasnya, mereka diminta untuk menanggalkan jabatannya di partai. Satu per satu mengikuti instruksi itu sekalipun belakangan menteri yang masih menjabat jabatan struktural di partai tidak diharuskan mundur. Ini seperti Airlangga Hartarto yang menjabat Ketua Umum Partai Golkar.
Bagaimana dengan kabinet Jokowi-Amin?
Pengamat politik Centre for Strategic and International Studies, Arya Fernandes, memprediksi, kabinet Jokowi-Amin akan banyak diisi oleh orang-orang dari partai koalisi pendukung ataupun partai yang berseberangan saat Pilpres 2019 lalu. Hal ini terlihat dari adanya isu bahwa sejumlah partai, seperti Gerindra, PAN, dan Demokrat, akan merapat ke pemerintahan.
”Kalaupun ada akomodasi untuk partai, menurut saya, orang-orang yang dipilih dalam kabinet harus melakukan saringan yang ketat dengan melihat track record, latar belakang, kapasitas, dan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi,” katanya.
”Jadi, memang pekerjaan rumahnya adalah mencari menteri yang punya platform dalam hal kebijakan terhadap pemerintahan yang bersih,” lanjutnya.
Namun, khusus untuk menteri-menteri di sektor-sektor penting, seperti kesehatan, pendidikan, dan ekonomi, Jokowi hendaknya mempertimbangkan orang-orang yang memiliki kapasitas dan bebas dari politik.
Ini karena tiga sektor itu menjadi fokus utama dari visi dan misi Jokowi-Amin dan sangat penting bagi Indonesia lima tahun ke depan.
”Orang yang mengisi sektor tersebut sebaiknya memiliki latar belakang yang kuat dari sisi pengalaman dan kemampuan serta bebas dari politik internal. Sebab, menteri di sektor itu akan fokus ke kebijakan jangka panjang. Ditambah lagi tantangan ekonomi ke depan dan ketidakpastian ekonomi global akibat perang dagang,” ujarnya.
Besarnya kemungkinan kader-kader partai dipilih masuk dalam kabinet dinilai oleh Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana sebagai sebuah keuntungan.
Sebab, pemerintah akan memperoleh dukungan mayoritas di DPR. Imbasnya, Jokowi-Amin akan lebih mudah menjalankan program pemerintahan sesuai visi-misinya.
Namun, dia mengingatkan, Jokowi bakal mendapat persoalan serius jika partai politik yang baru bergabung tidak memiliki pandangan yang sama.
”Maka, irama kerja harus terus dijaga sehingga ketika bersikap di parlemen atau DPR, posisi dan pandangannya sudah sejalan. Jangan sampai ngomong A dalam kabinet, tetapi kemudian berbeda ketika di dalam DPR,” tuturnya.
Profesionalitas para menteri dalam kabinet juga menjadi poin penting yang disorotinya. Seseorang bisa dikatakan profesional jika dapat mengatur dan mengatasi berbagai persoalan sejalan dengan visi dan misi presiden. Tidak penting sosok menteri itu berlatar belakang kader partai atau bukan. Hal ini penting agar jabatan menteri bukan sekadar bagi-bagi kekuasaan.
Tidak perlu dikotomi
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani sepakat dengan hal itu.
”Tidak perlu dikotomi tajam antara partai politik dan nonpartai politik atau politisi dengan profesional. Sebab, ini mengasumsikan bahwa yang ada di partai politik itu bukan orang yang profesional atau yang bisa kerja dan yang profesional itu hanya yang tidak ’main’ politik,” katanya.
Daripada meributkan hal tersebut, Arsul melihat akan lebih baik jika Presiden memilih para pembantunya berdasarkan kapasitas dan rekam jejaknya. Kemudian, orang itu ditempatkan di posisi menteri yang sesuai dengan kapasitas dan pengalamannya.
Faktor lain yang juga penting, figur menteri tersebut harus mau bekerja di lapangan, terjun langsung ke masyarakat, dan tipe pekerja keras. Ini penting untuk bisa menyerap kehendak rakyat dan bekerja seoptimal mungkin untuk mewujudkannya.
Harapan serupa disampaikan oleh Sekjen Partai Nasdem Johnny G Plate. Selain itu, yang juga penting, menurut dia, para pembantu Presiden harus memiliki visi, pandangan, dan mampu beradaptasi dengan cara bekerja Jokowi yang cepat.
”Sementara kriteria soal manajemen dan leadership style, kami serahkan kepada Pak Jokowi karena dia sangat berpengalaman pada pemerintahan secara berjenjang, dari wali kota, gubernur, hingga presiden. Yang paling penting, orang di kabinet nanti harus bisa menunjang atau mempercepat dalam mengambil keputusan dan mengimplementasikan program itu dengan baik,” ujarnya.
Jika kelak ada partai politik baru yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja, koalisi pendukung Jokowi-Amin di Pilpres 2019, dan kader dari partai itu dibuka peluangnya untuk masuk dalam kabinet, Johnny berharap figur yang dipilih tidak merusak soliditas KIK.
”Dia juga harus memastikan koalisinya solid untuk jangka panjang dan bukan menjadi koalisi yang semu. Selain orang itu harus loyal, dia juga harus memahami visi-misi bukan hanya kulitnya saja, tetapi substansinya juga,” ucapnya.
Dengan waktu sekitar tiga bulan yang tersedia hingga pelantikan Jokowi-Amin, 20 Oktober mendatang, cukup waktu bagi Jokowi memilah-milah orang yang tepat. Figur yang kompeten dan profesional tentunya. Jangan justru kabinet hanya menjadi alat bagi-bagi kekuasaan.