Sepak bola tidak mengenal logika. Martin Samuel, jurnalis Daily Mail, bahkan berkata, tiada pena ataupun naskah—sekalipun itu rekaan Hollywood—yang bisa menandingi drama di sepak bola, salah satunya di perempat final Copa America 2019.
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
Copa America 2019 kembali memperlihatkan anomalinya. Uruguay, yang diperkuat barisan predator gol menakutkan, seperti Luis Suarez, disingkirkan Peru, salah satu tim paling lemah di perempat final.
SALVADOR, MINGGU — Sepak bola tidak mengenal logika. Martin Samuel, jurnalis Daily Mail, bahkan berkata, tiada pena ataupun naskah—sekalipun itu rekaan Hollywood—yang bisa menandingi drama di sepak bola, salah satunya di perempat final Copa America 2019.
Drama itu terlihat jelas di wajah Luis Suarez, ujung tombak timnas Uruguay, seusai laga kontra Peru di Arena Fonta Nova, Salvador, Brasil, Minggu (30/6/2019) dini hari WIB. Striker yang terkenal garang, bahkan pernah menggigit bek timnas Italia, Giorgio Chiellini, di Piala Dunia Brasil 2014 itu membasahi lapangan Salvador dengan air mata setelah timnya tersingkir lewat adu penalti.
Suarez menjadi megabintang paling disorot di Copa America 2019, terutama setelah absennya Neymar Jr, penyerang tuan rumah. Reputasinya sangat menakutkan. Ia adalah ”raja” gol Uruguay dengan koleksi 58 gol. Sepanjang musim lalu, ia menyumbang 25 gol untuk klubnya, Barcelona.
Namun, reputasinya itu tidak terlihat di Brasil. Suarez sempat mencetak gol ke gawang Peru. Namun, gol itu dianulir wasit asal Brasil, Wilton Pereira, dengan bantuan teknologi video wasit (VAR). Suarez kedapatan offside sebelum gol itu tercipta.
Situasi kian buruk bagi Suarez ketika laga itu harus diselesaikan dengan adu penalti setelah berakhir imbang 0-0 di waktu normal. Suarez ditunjuk sebagai algojo penalti pertama karena dianggap kaya pengalaman di ”La Celeste”, julukan timnas Uruguay. Nyatanya pengalaman itu tidak berarti. Bola tendangan Suarez ditepis kiper Peru, Pedro Gallese.
Hal yang membuat Suarez kian terpukul adalah fakta bahwa dirinya satu-satunya penendang, dari total sepuluh eksekutor, yang gagal di drama adu penalti itu. ”Suarez sangat sedih. Tendangannya meleset di momen yang sangat menentukan. Namun, itulah sepak bola dan kehidupan. Terkadang kamu menang, terkadang kalah. Kami harus menerima kenyataan tersingkir di Copa,” ujar Edinson Cavani, rekan setim Suarez.
Bagi Suarez, perjalanannya di tahun 2019 ini tidak ubahnya drama berseri ala Korea. Ia sempat membayangkan mengangkat setidaknya tiga trofi semusim alias treble. Ia bahkan menertawai bek sayap Liverpool, Andrew Robertson, ketika timnya melumat 3-0 klub Inggris itu di semifinal pertama Liga Champions Eropa 2019.
Nasibnya langsung terbalik sepekan berselang. Barca dipukul balik Liverpool 0-4 dan gagal ke final Liga Champions. Situasi pun menjadi kian buruk ketika Barca kehilangan trofi Copa del Rey di tangan Valencia, akhir Mei lalu. Suarez lantas bertekad menebus kegagalan beruntun itu dengan berjaya di Copa America 2019 bersama Uruguay.
Demi ambisi itu, ia rela berdiet dan menurunkan berat badan hingga 3 kilogram agar bisa lebih prima dan berlari lebih kencang pasca-operasi lutut. Namun, itu semua tidak dapat mengantarkan Uruguay lolos ke semifinal turnamen ini. Mereka tidak mampu membongkar pertahanan Peru, tim yang bermain spartan dalam bertahan, meskipun La Celeste memiliki duet Suarez dan Cavani.
Adu keberuntungan
Seperti tim-tim non-unggulan lain, macam Paraguay, Peru memang mengejar adu penalti sejak laga belum dimulai. Mereka yakin berpeluang lolos ke semifinal jika memaksakan adu keberuntungan itu. Drama adu penalti itu sebelumnya telah merenggut Kolombia, salah satu tim unggulan, dan nyaris membinasakan Brasil di perempat final.
”Satu-satunya yang kurang dari kami adalah gol dan keberuntungan,” ujar Diego Godin, bek Uruguay.
Kegagalan Uruguay dan kesuksesan Peru melaju ke semifinal untuk bertemu Chile itu memperlihatkan sengitnya persaingan di Brasil. Unggulan bukan jaminan kesuksesan. ”Bagi banyak orang, Uruguay adalah unggulan. Namun, status favorit bukan apa-apa di sepak bola, apalagi di Amerika Selatan,” ujar Paolo Guerrero, striker Peru, yang larut dalam euforia.
Bagi Uruguay, kegagalan di Salvador menunjukkan pudarnya keperkasaan mereka di Amerika Selatan. Tim dengan koleksi trofi Copa America terbanyak, yaitu 15 kali, itu tidak lagi lolos ke semifinal dalam sewindu terakhir. Sebaliknya, Peru memasuki era emas tiga edisi terakhir dengan selalu lolos ke semifinal pada 2011, 2015, dan 2019. (REUTERS)