Tidak semua desa di negeri ini diidentikkan sebagai kawasan yang serba tertinggal. Berdasarkan kajian BPS, terungkap 5.559 dari total 73.670 desa yang dikaji tergolong ”desa mandiri”. Wilayah mana yang paling berhasil memandirikan desa-desanya?
Oleh
Bestian Nainggolan
·4 menit baca
Tidak semua desa di negeri ini diidentikkan sebagai kawasan yang serba tertinggal. Berdasarkan kajian Badan Pusat Statistik, terungkap 5.559 dari total 73.670 desa yang dikaji tergolong ”desa mandiri”. Wilayah mana yang paling berhasil memandirikan desa-desanya?
Proporsi jumlah desa yang tergolong mandiri relatif kecil dibandingkan dengan kategori kondisi desa lainnya. Jumlah sebanyak itu hanya merangkum 7,6 persen dari keseluruhan desa. Maklum, mayoritas desa di negeri ini tergolong ”desa berkembang”, yang meliputi hampir tiga perempat bagian dari seluruh desa. Sisanya masuk dalam kategori ”desa tertinggal” dengan proporsi 17,9 persen.
Pengelompokan desa-desa menjadi tiga kategori kualitas tersebut tersusun dalam suatu Indeks Pembangunan Desa (IPD) yang dirangkum oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Indeks yang baru saja dipublikasikan itu (Mei 2019) dibangun dari 42 indikator yang menggambarkan ketersediaan dan aksesibilitas pelayanan pada masyarakat desa. Semua indikator dikelompokkan dalam lima dimensi pengukuran, yaitu pelayanan dasar, infrastruktur, aksesibilitas transportasi, pelayanan umum, dan penyelenggaraan pemerintahan.
Menariknya, publikasi indeks mengindikasikan pula adanya peningkatan kualitas pembangunan desa sejak tahun 2014. Dengan mengacu pada hasil IPD 2014, terjadi peningkatan desa mandiri dan sebaliknya penurunan desa tertinggal yang cukup signifikan.
Sebagai gambaran, jika pada tahun 2014 teridentifikasi masih sebanyak 2.894 desa berkategori desa mandiri, pada tahun 2018 jumlahnya menjadi 5.559 desa. Artinya, terjadi peningkatan hampir dua kali lipat dari jumlah semula. Sebaliknya, jika pada tahun 2014 masih terdapat 19.750 desa berkategori desa tertinggal, kini tersisa 13.232 desa. Dengan demikian, desa tertinggal susut sepertiga dari jumlah semula.
Semakin menarik mencermati kondisi-kondisi di balik peningkatan kualitas pembangunan desa tersebut. Fakta menunjukkan, tidak semua daerah menikmati peningkatan kualitas yang sama. Besar kecilnya proporsi kemandirian suatu desa tidak merata. Hanya pada wilayah administratif kabupaten ataupun kota tertentu saja yang tercatat berhasil memandirikan desa-desanya.
Dari 33 provinsi (kecuali DKI Jakarta) dan lebih 400 kabupaten/kota yang dikaji, hanya terdapat sedikit wilayah yang mampu menempatkan desa-desanya sebagai desa mandiri. Pada skala provinsi, misalnya, dari 34 provinsi di negeri ini, hanya di Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terbebaskan dari desa berkategori desa tertinggal. Tidak sedikit pula desa-desa pada kedua provinsi tersebut berstatus desa mandiri.
Berdasarkan kajian BPS, Provinsi DI Yogyakarta menjadi wilayah provinsi dengan IPD yang tertinggi. Dari semua indikator yang dikaji, skor Yogyakarta sebesar 73,32. Indeks tersebut ditopang oleh skor dimensi penyelenggaraan pemerintahan yang paling tinggi di negeri ini (86,73). Di samping itu, faktor aksesibilitas/transportasi dan layanan dasar dalam pendidikan dan kesehatan juga menjadi penopang besarnya indeks provinsi ini.
Pada urutan kedua, Provinsi Bali meraih skor IPD sebesar 70,97. Namun, agak berbeda dengan Yogyakarta, Provinsi Bali mengandalkan dimensi aksesibilitas/transportasi yang menjadi terbesar penopang indeks. Dari sisi proporsi kemandirian desa, provinsi ini pun masih di bawah proporsi desa mandiri di Yogyakarta.
Sekalipun Yogyakarta mengungguli Bali, jika ditelusuri hingga kabupaten ataupun kota, justru beberapa wilayah di Bali merupakan daerah dengan proporsi desa mandiri yang paling banyak di bandingkan kabupaten ataupun kota lainnya.
Hasil pendataan terhadap semua kabupaten dan kota menempatkan Denpasar sebagai wilayah dengan proporsi kemandirian desa yang terbesar. Sebagai gambaran, dari 27 desa yang berada di Denpasar, mayoritas (88,9 persen) berkategori desa mandiri. Tidak satu pun desa di Denpasar berkategori desa tertinggal. Begitu pula, hanya 11,1 persen desa di Denpasar yang masuk kategori desa berkembang.
Telisik lebih jauh terhadap desa-desa di Denpasar, selain kelengkapan aksesibilitas/transportasi, desa-desa dilengkapi pula dengan fasilitas pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan yang jauh di atas rata-rata wilayah di negeri ini. Selain itu, faktor kelengkapan infrastruktur pun membuat desa-desa di wilayah ini tergolong maju dan jauh dari bayangan desa umumnya. Secara keseluruhan IPD di Denpasar sebesar 80.26, menjadi yang paling tinggi di negeri ini.
Selain Denpasar, desa-desa di Kabupaten Badung dan Gianyar, Bali, juga tergolong paling tinggi. Di Kabupaten Badung, misalnya, tingkat kemandirian desa di kabupaten yang bersinggungan dengan Denpasar ini meliputi 60,9 persen dari 46 desa yang ada di sana. Selebihnya (39,1 persen) tergolong desa berkembang. Dengan capaian besaran proporsi kemandirian desa tersebut, Badung berada pada peringkat kedua.
Begitu pula Kabupaten Gianyar. Dari total 64 desa di kabupaten ini, 37,5 persen tergolong mandiri. Sebagian besar (62,5 persen) menjadi desa berkembang. Dengan proporsi sebesar itu, Gianyar berada pada urutan ke-9.
Dari keseluruhan desa yang terdata di setiap kabupaten dan kota, tampaknya desa-desa di Jawa dan Bali masih relatif lebih tinggi tingkat kemandiriannya. Sekalipun demikian, dari 10 besar kabupaten dan kota, tercatat juga dua kabupaten/kota dengan desa mandiri yang relatif besar. Di Banda Aceh, misalnya, dari total 90 desa di sana, 41,1 persen tergolong desa mandiri. Begitu juga dengan Ambon, dari total 30 desa, sebanyak 40 persen tergolong mandiri. Pada kedua wilayah tersebut, baik Banda Aceh maupun Ambon, tidak ada satu pun desa yang tergolong desa tertinggal.
Menjadi pertanyaan, bagaimana dengan wilayah kabupaten dan kota lain? Apakah sedemikian peliknya pergulatan pembangunan perdesaan yang berlangsung sehingga lima tahun terakhir belum juga mampu melepaskan status ketertinggalannya? (Bersambung) (LITBANG KOMPAS)