Selama ini, pelibatan kaum muda dinilai sebatas hal-hal simbolis karena mereka tidak pernah ditempatkan pada tempat yang strategis. Oleh karena itu, peran mereka dalam pembangunan bangsa pun belum bisa signifikan.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden terpilih 2019-2024 Joko Widodo merencanakan menyusun kabinet yang menjunjung prinsip efektivitas dan efisiensi kerja, salah satunya dengan cara memilih menteri-menteri berusia muda. Gagasan tersebut membutuhkan komitmen untuk menempatkan mereka pada posisi strategis.
Memasuki periode kedua kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo ingin mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien. Reformasi besar secara struktural akan dilakukan agar kebijakan pemerintah mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan yang kini kerap terjadi dalam waktu cepat.
Oleh karena itu, kabinet membutuhkan para menteri yang mampu mengeksekusi program yang tepat secara tepat atau memiliki karakter eksekutor yang kuat. Selain itu, dibutuhkan pula sejumlah menteri berusia muda, berusia 20-30 tahun (Kompas, 2/7/2019).
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor, di Jakarta, Selasa (2/7/2019), mengatakan, setiap presiden yang terpilih kembali untuk memerintah pada periode kedua memiliki keleluasaan memilih para menteri dibandingkan pada periode sebelumnya. Sebab, pada periode kedua atau masa terakhirnya dalam pemerintahan, kalkulasi politik untuk mencalonkan diri kembali sudah tidak ada.
”Sangat diharapkan ketika Joko Widodo memilih menteri sudah tidak menekankan pada political engagement, tetapi penekanan aspek profesionalisme tokoh pada bidangnya masing-masing,” kata Firman.
Menurut dia, profesionalitas menteri dibutuhkan karena sejumlah pekerjaan berat sudah menanti untuk diselesaikan. Mulai dari program-program yang belum tuntas hingga hal-hal yang diharapkan secara khusus oleh masyarakat.
Berdasarkan jajak pendapat Litbang Kompas, masyarakat berharap, presiden segera menyatukan warga yang terpolarisasi akibat pemilu. Mereka pun berharap, penguatan ideologi Pancasila dan lembaga-lembaga publik juga terus dilaksanakan.
”Dengan begitu, proporsi kalangan profesional yang mengerti dan bisa menyelesaikan persoalan seharusnya menjadi prioritas,” ujar Firman.
Dalam pemilihan menteri berusia muda, kecakapan pada suatu bidang pun semestinya menjadi syarat mutlak.
Firman melanjutkan, keterlibatan menteri berusia muda memang dibutuhkan untuk memberikan pandangan baru dalam pembangunan bangsa. Keberadaan mereka di pemerintahan juga mampu mengobati kekecewaan karena sejumlah pihak menganggap, suara anak muda tidak terwakili saat Joko Widodo memilih KH Ma’ruf Amin sebagai pasangan.
Menurut Firman, keseriusan presiden akan diuji melalui penempatan posisi anak muda di kabinet. Selama ini, pelibatan kaum muda dinilai sebatas hal-hal simbolis karena mereka tidak pernah ditempatkan pada tempat yang strategis. Oleh karena itu, peran mereka dalam pembangunan bangsa pun belum bisa signifikan.
”Jika anak muda diberikan posisi yang strategis (di kementerian), saya kira itu akan menjadi sebuah revolusi,” kata Firman.
Regenerasi
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi menyambut baik wacana Presiden Joko Widodo untuk mengikutsertakan anak muda dalam kabinet. Menurut dia, langkah tersebut merupakan cara yang baik untuk menyiapkan regenerasi pemimpin.
Meski demikian, pertimbangan utama dalam menentukan sosok menteri muda tidak bisa didasarkan pada usianya saja. Mereka harus memiliki kompetensi dan kemampuan komunikasi sehingga layak untuk menempati jabatan menteri.
”Yang terpenting, mereka juga memiliki kesamaan pola pikir dengan anak muda lainnya sehingga benar-benar bisa mewakili generasinya,” kata Baidowi.
Ia berharap, anak-anak muda yang masuk kabinet tidak memiliki pola pikir usang atau berkarakter feodal seperti generasi sebelumnya. Mereka pun harus tetap mempertahankan ciri khas anak muda, antara lain humanis dan egaliter, agar perubahan yang dicita-citakan bisa tercapai.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Arif Widodo, mengatakan, anak muda yang dipilih menjadi menteri pun harus menunjukkan kemampuan kepemimpinan yang kuat. Setidaknya, ia harus pernah memimpin organisasi yang melibatkan orang banyak dan berpengaruh kuat di kalangannya.
Sementara itu, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie mengatakan, pemilihan anak muda untuk masuk kabinet memang tidak bisa sekadar didasarkan pada usia. ”Mereka harus kompeten dan berintegritas,” ujarnya.
Grace menambahkan, saat ini bukan hanya pemerintahan yang mengikutsertakan anak muda pada posisi penting. Di dunia usaha pun semakin banyak generasi milenial, yang lahir pada periode 1980-2000, menduduki posisi strategis perusahaan. Apalagi, sekitar 40 persen dari total penduduk Indonesia adalah kaum milenial.
”Kombinasi yang senior dan yang muda akan menjawab tantangan zaman,” kata ketua umum partai politik yang sebagian besar kadernya adalah generasi milenial itu.
Semakin dibutuhkan
Firman Noor mengatakan, semakin dibutuhkannya tokoh politik dari kalangan muda yang kompeten merupakan tantangan bagi partai politik untuk menghasilkan kader-kader berkualitas. Penciptaan kader muda berkualitas selama ini terhambat budaya yang telah mengakar di partai, misalnya budaya untuk berkiblat pada salah satu mentor.
”Kadang, mentor-mentor itu membesarkan adik-adiknya dengan pendekatan pragmatis sehingga gaya itu menular dan seolah-olah menjadi (cara satu-satunya) untuk sukses berpolitik,” katanya.
Mereka cenderung memberikan contoh bahwa berpolitik praktis merupakan cara untuk mendapatkan uang dan kekuasaan. Oleh karena itu, partai politik memiliki pekerjaan rumah untuk memutus mata rantai patron tersebut agar kader muda bisa berkarya dan bekerja secara optimal.