Dalam penelitian ini, dia menemukan modul pelatihan konseling intensif bagi tenaga kesehatan terkait metode kontrasepsi jangka panjang. Modul tersebut terdiri dari buku acuan, buku pegangan pelatihan, buku panduan peserta, serta alat bantu lembar balik.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang di Indonesia masih rendah. Konseling yang belum sesuai dengan prosedur serta cara penyampaian tenaga kesehatan yang kurang baik dinilai menjadi penyebabnya. Untuk itu, metode pelatihan yang tepat bagi tenaga kesehatan dibutuhkan agar pemberian konseling penggunaan kontrasepsi ini bisa lebih intensif.
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017, penggunaan metode kontrasepsi dalam program Keluarga Berencana (KB) pada perempuan sebesar 49.627 orang. Dari jumlah itu, hanya 9,7 persen yang menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang (MJKP). Padahal, metode ini dinilai lebih aman dan efektif, baik dalam pemanfaatan maupun pembiayaan dibandingkan dengan metode selain MJKP.
”Modul pelatihan konseling dibutuhkan untuk meningkatkan kompetensi keterampilan tenaga kesehatan dalam memberikan konseling KB MKJP. Melalui modul ini, konseling yang diberikan tenaga kesehatan bisa lebih intensif sehingga kesertaan calon akseptor (pengguna) bisa meningkat,” ujar Arietta Pusponegoro saat mempertahankan disertasinya dalam promosi doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), Jakarta, Rabu (3/7/2019).
Ia lulus dengan predikat sangat memuaskan dan menjadi Doktor Ilmu Kedokteran ke-36 di FKUI pada 2019. Arietta merupakan dokter spesialis obsteri dan ginekologi konsultan obsteri ginekologi sosial FKUI/RSCM.
Dalam penelitian ini, dia menemukan modul pelatihan konseling intensif bagi tenaga kesehatan terkait dengan metode kontrasepsi jangka panjang. Modul tersebut terdiri dari buku acuan, buku pegangan pelatihan, buku panduan peserta, serta alat bantu lembar balik.
Melalui perangkat ini, konseling yang diberikan kepada calon pengguna MJKP tidak hanya secara lisan, tetapi juga disertai alat bantu. Alat kontrasepsi jangka panjang yang saat ini bisa diakses masyarakat, misalnya alat kontrasepsi dalam rahim dengan IUD/KB spiral; dan alat kontrasepsi bawah kulit, seperti implan dan susuk, tubektomi, serta vasektomi.
”Bidan yang memberikan konseling menjadi lebih mudah mempelajari dan melakukan konseling secara intensif dengan adanya penuntun belajar. Dengan modul pelatihan ini, keterampilan tenaga kesehatan tujuh kali lebih baik dibandingkan dengan yang tidak dilatih. Minat kesertaan calon akseptor pun meningkat sampai 80 persen,” ujar Arietta.
Idealnya, pelatihan konseling tersebut dilakukan secara intensif selama dua hari kepada tenaga kesehatan. Selama ini, waktu pelatihan keterampilan kontrasepsi yang diberikan masih minim dalam program CTU (contraceptive technology update) yang telah dijalankan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Materi dan praktik konseling penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim hanya diberikan sekitar 5 persen dari waktu keseluruhan.
Diaplikasikan
Promotor Arietta, yang juga Lektor Kepala Ilmu Obsteri dan Ginekologi FKUI Dwiana Ocvyanti, menilai, modul yang dihasilkan dalam penelitian ini harus didorong agar bisa diaplikasikan secara luas. Untuk itu, penelitian lebih lanjut dengan melibatkan pemangku kepentingan, seperti Kementerian Kesehatan dan BKKBN, perlu dilakukan.
Menurut dia, kurangnya pengetahuan dan keterampilan tenaga kesehatan dalam memberikan konsultasi penggunaan metode kontrasepsi ini perlu diperbaiki agar penggunaan kontrasepsi jangka panjang bisa ditingkatkan. ”KB MKJP lebih efektif dibandingkan dengan KB non-MJKP dalam mengurangi risiko kehamilan yang tidak direncanakan dan diinginkan. KB non-MJKP lebih berisiko, misalnya penggunaan pil yang selama ini sering lupa dikonsumsi,” katanya.