Berdasarkan data OAG Flightview, Garuda Indonesia meraih capaian tingkat ketepatan waktu (OTP) tahunan tertinggi di dunia, yakni 91,6 persen untuk periode Juni 2018-Mei 2019 dan jadi satu-satunya maskapai asal Asia Tenggara dengan OTP tahunan di atas 90 persen.
Oleh
Maria Clara Wresti
·4 menit baca
Maskapai nasional Garuda Indonesia berhasil meraih rating 5-Star On Time Performance Rating dari OAG Flightview yang merupakan lembaga pemeringkatan kinerja ketepatan waktu (On Time Performance/OTP) independen yang berkedudukan di Inggris. Garuda Indonesia meraih capaian OTP tahunan tertinggi di dunia, yakni 91,6 persen untuk periode Juni 2018-Mei 2019, dan jadi satu-satunya maskapai Asia Tenggara dengan capaian OTP tahunan di atas 90 persen.
Maskapai nasional lain, yakni Lion Air, juga menorehkan kinerja yang cukup baik. Kinerja tingkat ketepatan waktu (OTP) 85,80 persen pada semester 1-2019 (Januari-Juni) dari total 2.562 penerbangan atau rata-rata 427 per hari. Perolehan OTP ini meningkat dibandingkan periode sama pada 2018, yaitu 77,4 persen, dan di tahun 2017 yang tercatat 72,90 persen.
Data OTP merupakan hasil penghitungan konkret sesuai laporan Integrated Operation Control Center (IOCC) secara tepat waktu dan bersamaan (real time). Angka dihitung menurut ketepatan pesawat saat keberangkatan dan kedatangan berdasarkan waktu kurang dari 15 menit dari jadwal yang ditentukan.
Lion Air yang sudah beroperasi selama 19 tahun (30 Juni 2000-30 Juni 2019) ini, telah menerbangkan sekitar 600 juta penumpang. Penerbangan perdananya dilakukan dari Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang (CGK) ke Bandar Udara Internasional Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat (PNK).
Prestasi yang ditorehkan Garuda Indonesia dan Lion Air seolah jadi penyejuk di tengah masalah yang menimpa keduanya.
Saat ini jaringan Lion Air berkembang melayani 42 kota tujuan domestik serta 25 internasional meliputi Singapura, Malaysia, Tiongkok dan Saudi Arabia. Dengan jumlah tersebut, Lion Air dinilai sudah mewujudkan sebagian besar mimpi masyarakat bisa berkunjung dan melihat banyak kota tujuan sesuai semboyan We Make People Fly.
Prestasi yang ditorehkan kedua maskapai besar tersebut seolah jadi penyejuk di tengah tantangan dan masalah yang dialami keduanya. Di antaranya adalah soal harga avtur yang dinilai masih stabil tinggi, nilai tukar rupiah, turunnya jumlah penumpang, kewajiban membayar utang jangka pendek, dan sebagainya.
Persoalan itu belum termasuk tekanan dari masyarakat terkait kenaikan harga tiket pesawat yang dinilai memberatkan dan terlalu tinggi. Maskapai menggunakan tarif batas atas sebagai harga jual tiket sejak akhir tahun lalu.
Keluhan masyarakat dan pelaku usaha pariwisata mendorong pemerintah menurunkan tarif batas atas. Potensi penerimaan maskapai pun berkurang karena tarif batas atas diturunkan rata-rata 15 persen.
Dengan penurunan itu, Garuda menyatakan tidak lagi bisa mempertahankan posisi sebagai maskapai bintang lima menurut lembaga pemeringkat Skytrax. Awak pesawatnya pun tidak lagi mendapat penghargaan sebagai Cabin Crew terbaik dunia. Padahal, penghargaan awak kabin terbaik menjadi kebanggaan bangsa selama bertahun-tahun.
Padahal, penghargaan awak kabin terbaik ini sudah menjadi kebanggaan bangsa selama bertahun-tahun. Kalau mau mendapatkan pelayanan terbaik di maskapai penerbangan, terbangah dengan maskapai dari Asia Tenggara. Jika mau yang paling baik dari yang terbaik, terbanglah dengan Garuda Indonesia.
Rasanya, jika naik Garuda, tidak akan terjadi ada penumpang yang tertinggal di dalam pesawat karena tertidur, seperti di Air Canada bulan Juni lalu. Penumpang bernama Tiffani Adams terbangun dengan kondisi menggigil kedinginan di dalam pesawat gelap yang terparkir di bandara Toronto. Tiffani akhirnya ditolong oleh seorang pekerja yang mendengar teriakan minta tolongnya.
Layanan awak kabin Garuda selama ini sudah banyak yang memuji. Tidak sedikit warganet menuliskan pujian bagi Garuda, termasuk ketika ada seorang pramugari Garuda yang menggendong seorang nenek yang tidak bisa berjalan keluar dari pesawat.
Masalah tuntutan penurunan tiket, sekarang bukan lagi satu-satunya masalah yang dihadapi maskapai. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) saat ini sedang menyelidiki, apakah kedua grup maskapai ini melakukan kartel. Dengan indikasi harga tiket yang terus tinggi secara bersamaan, sehingga masyarakat tidak mempunyai alternatif pilihan maskapai.
Sebelumnya, KPPU telah membuat direksi Garuda Indonesia mundur sebagai komisaris PT Sriwijaya Air karena dianggap bisa mengendalikan Sriwijaya Air. Menurut KPPU, seharusnya Garuda Indonesia bersaing dengan Sriwijaya Air, bukan mengendalikan.
Tekanan terus datang bertubi-tubi. Namun begitu, kinerja baik terus ditorehkan. OTP yang tinggi tentu akan mengurangi biaya-biaya yang tidak perlu. Perusahaan akan semakin efisien, sehingga arus kas bisa terus dijaga positif.
Semoga tekanan-tekanan yang dihadapi maskapai bisa diatasi dengan baik. Bisa membuat maskapai semakin menjalankan tata kelola perusahaan dengan baik, semakin pruden, dan menjadi kebanggaan bangsa. Tidak ada satupun warga masyarakat yang ingin kehilangan maskapainya. Maskapai harus terus mengudara…