JAKARTA, KOMPAS — Majelis pengajian bulanan Muhammadiyah mengajak umat untuk kembali mempererat hubungan pasca-Pemilu 2019. Hal ini menjadi bagian dari konsolidasi sosial politik di tubuh Muhammadiyah.
”Ayo move on. Kita tata dan perkuat hubungan internal perserikatan setelah hiruk-pikuk politik,” demikian seruan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti saat membuka pengajian bulanan Muhammadiyah, Jumat (5/7/2019) malam, di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta.
Mu’ti menuturkan, Muhammadiyah harus terus bersinergi dan melihat masa depan Indonesia sebagai bagian dari agenda keumatan dan kebangsaan. Suasana Pemilu 2019 cukup menjadi pengalaman agar Muhammadiyah menjadi lebih baik.
Ia menyitir ungkapan seorang revolusioner antiapartheid Afrika Selatan, Nelson Mandela. ”Luka masa lalu harus disembuhkan untuk menatap masa depan yang lebih baik.”
Sedianya pengajian bulanan itu dihadiri oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Namun, yang bersangkutan berhalangan hadir. Haedar menyapa peserta pengajian dengan risalah berjudul ”Muhammadiyah Pasca-Pemilu 2019”.
Dalam tulisannya, Haedar menekankan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi masyarakat yang bergerak di bidang dakwah dan pembaruan. Kendati demikian, dalam batas tertentu, dinamika pemilu berpengaruh pada suasana kehidupan komponen bangsa, termasuk Muhammadiyah.
Kontestasi politik, katanya, sering melibatkan kekuatan masyarakat yang memiliki basis massa kuat dan luas. Namun, dinamika pemilu, sekeras apa pun, tidak serta-merta memengaruhi karakter dan orientasi Muhammadiyah.
”Muhammadiyah menjalankan peran kebangsaan dalam mewujudkan perdamaian, persatuan, moralitas, dan kesejahteraan bangsa di seluruh pelosok Tanah Air tanpa membedakan-bedakan agama, suku bangsa, kedaerahan, dan golongan,” katanya.
Pengajian bertajuk ”Konsolidasi Sosial Politik untuk Kemajuan Umat dan Bangsa” itu juga dihadiri oleh Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Anwar Abbas, Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia Asep Saefudin, dan Rektor Universitas Islam Negeri Salatiga, Jawa Tengah, Zakiyuddin Baedhowi.
Zakiyuddin menyebut, Indonesia pasca-Reformasi ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, runtuhnya rezim Orde Baru telah memberi ruang bagi kemerdekaan berpikir, berkumpul, dan menyuarakan pendapat. Akan tetapi, kebebasan itu akan menjadi liar jika tidak dilakukan dengan cara beradab.
Adalah mustahil, katanya, semua elemen bangsa akan mencapai persatuan dan kesatuan yang sama sekali bulat. Untuk mengatasi hal itu, dialog menjadi kunci agar bangsa Indonesia menjadi dewasa.
”Sebab, keterbelahan sosial politik di tubuh bangsa tidak berasal dari akidah, tetapi oleh politik. Kita tidak boleh terlalu lama terbenam dalam keterbelahan,” katanya.
Asep Saefudin menyatakan, politik hanyalah alat. Salah kaprah orang yang menjadikan politik sebagai tujuan. Sebab, politik adalah alat untuk mencapai sesuatu yang lebih besar: kemaslahatan umat dan bangsa.
”Dinamika antara pendukung pasangan 01 dan 02 pada pemilu kemarin tidak perlu dilihat sebagai sesuatu yang dikotomis karena politik hanyalah siasah,” katanya.
Anwar Abbas menyoroti iklim politik praktis di Tanah Air yang terkesan sangat transaksional. Dari sejumlah ahli strategi yang memberi corak dan warna kehidupan bangsa—agamawan, politisi, cendekiawan, pengusaha, jurnalis, birokrat, kelompok profesional, pendidik, pekerja sosial, budayawan, TNI, dan Polri—ternyata pengusaha yang paling berpengaruh.
Pendapat itu dia sandarkan pada pandangan Noam Chomsky dalam Who Rules the World. Oleh sebab itu, Abbas meminta umat untuk berpacu dalam berusaha, kemudian berlomba-lomba dalam membuat kebajikan.