Relasi desa dan kota selama ini lebih bersifat predatorik, ketika kota lebih banyak mendapat manfaat dari desa. Untuk mengubah keadaan itu, modal sosial desa harus diubah menjadi kekuatan.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Relasi desa dan kota selama ini lebih bersifat predatorik, ketika kota lebih banyak mendapat manfaat dari desa. Untuk mengubah keadaan itu, modal sosial desa harus diubah menjadi kekuatan dengan andil peran banyak pihak.
Hal itu menjadi salah satu bahasan dalam diskusi Sinau Desa bertema ”Proklamasi Desa dan Realita di Lapangan”, Sabtu (6/7/2019). Diskusi itu digelar harian Kompas bekerja sama dengan Forum Sinau Desa, di Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Narasumber dalam diskusi tersebut adalah Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika, yang baru saja menerbitkan buku berjudul Proklamasi Desa. ”Aktivasi modal sosial bisa menjadi sumber kekuatan desa. Butuh kesadaran semua pihak untuk mengaktivasi modal sosial desa,” katanya.
Erani mengatakan, aktivasi modal sosial desa bisa dilakukan dengan beragam instrumen, antara lain instrumen ekonomi, budaya, dan politik. ”Misalnya, jika menggunakan instrumen ekonomi, kebiasaan gotong royong bisa diarahkan menjadi kebiasaan swadaya membangun desa,” ujarnya.
Ia menambahkan, jika menggunakan instrumen budaya, desa tidak perlu mendatangkan kelompok seni budaya dari luar desa untuk kegiatan-kegiatan di desa. ”Kesadaran soal tentang dimilikinya modal sosial itulah yang harus terus dikuatkan di kalangan masyarakat desa sendiri,” ucap Erani.
Modal sosial desa itu, menurut dia, akan mendatangkan insentif moral di masyarakat sehingga segala sesuatu diselesaikan dengan standar nilai-nilai moral.
Sayangnya, Erani mencatat, modal sosial desa itu mulai tergerus oleh insentif material masyarakat perkotaan. Hal itu membuat nilai-nilai moral mulai terkalahkan dengan material.
”Tak heran jika kemudian Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, yang menjadi titik proklamasi desa, kemudian hanya dinilai sebatas dana desa semata. Bahwa pekerjaan utama pemerintah desa adalah untuk perayaan penyerapan anggaran semata. Padahal, sejatinya tidaklah seperti itu,” tuturnya.
Oleh karena itu, Erani mengajak seluruh masyarakat desa untuk menyadari besarnya kewenangan desa sebagaimana tertuang dalam UU No 6/2014 tersebut. Dengan kewenangan itu, desa menjadi semacam ”negara kecil” yang memiliki kemerdekaan menentukan arah masa depan mereka.
Kesadaran
Tenaga Ahli Desa Pandanlandung, Iman Suwongso, selaku moderator acara, mengatakan, salah satu tugas penting membangun peradaban desa adalah dengan membangun kesadaran tentang kewenangan desa. ”Bahwa UU Desa tidak dimaknai hanya sebagai dana desa dan bahwa lebih jauh lagi amanat UU Desa bukan hanya membangun infrastruktur/fisik, tapi juga memberdayakan masyarakat desa,” ujarnya.
Banyak orang berpikir, untuk membangun desa harus menjadi perangkat, padahal tidak seperti itu.
Iman menambahkan, lima tahun pelaksanaan UU Desa mungkin memang masih diwarnai dengan pembangunan fisik/infrastruktur. Namun, ke depan, harapannya, fokus pembangunan desa harus mengarah pada pemberdayaan masyarakat (pembangunan sumber daya manusia).
Abdul Wahab, peserta diskusi asal Singosari, mengatakan, selama ini banyak orang ingin berpartisipasi membangun desa, tapi mereka bingung harus memulai dari mana.
”Banyak orang berpikir, untuk membangun desa harus menjadi perangkat, padahal tidak seperti itu. Bisa dimulai dengan aktif ikut musyawarah dusun dan kegiatan-kegiatan lain,” lanjutnya.
Diskusi diakhiri dengan sebuah benang merah, untuk membangun desa dibutuhkan kesadaran dan pemahaman bahwa pembangunan desa bukan hanya tentang bangunan fisik, melainkan juga mentalitas (sumber daya manusia). Oleh karena itu, program pemberdayaan masyarakat harus selalu dikuatkan.