Seberapa Siap Indonesia dengan Mobil Listrik?
Pengembangan mobil listrik di Indonesia sudah dalam tahap uji coba. Aturan pengembangan dan penggunaan kendaraan listrik ini harus dipersiapkan matang agar dapat berdampak signifikan pada perbaikan moda transportasi dan kualitas lingkungan.
Dunia, termasuk juga Indonesia peduli pada kelestarian alam. Untuk menjaga kualitas lingkungan, masyarakat perlu beralih menggunakan kendaraan yang ramah lingkungan, seperti kendaraan listrik. Kendaraan listrik tidak saja mengurangi polusi udara namun juga polusi suara, karena suaranya tidak berisik.
Indonesia pernah menggagas pemakaian kendaraan listrik. Setidaknya mobil listrik pernah dikembangkan pada 2012 lalu dan diprakarsai langsung oleh menteri BUMN Dahlan Iskan. Seorang ahli motor listrik Ricky Elson diminta untuk membidani kendaraan listrik buatan Indonesia itu. Namun proses riset mobil listrik ini pun harus terhenti setelah disinyalir merugikan negara dan mobil yang dibuat tidak lolos uji emisi.
Baca juga: Mobil Listrik Masih Setengah Hati
Ada pula Gesits, motor listrik hasil riset Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) di tahun 2015. Pada bulan November 2016, lima unit motor listrik Gesits melakukan uji jalan. Pengujian itu melakukan perjalanan dari Jakarta hingga Bali (Tour de Jawa – Bali) oleh tim Garansindo dan ITS.
Penggunaan mobil listrik di Indonesia perlahan juga dilirik pangsa penyedia jasa transportasi umum. Belum lama ini, sekitar April 2019 lalu perusahaan besar taksi di Indonesia Blue Bird secara resmi mengumumkan pembelian 30 unit mobil listrik. Blue Bird memborong mobil listrik pabrikan asal Amerika Serikat Tesla model x 75D A/T dan BYD Tipe e6 A/T buatan negara China.
Tidak main-main, Blue Bird menggelontorkan anggaran sekitar Rp 40 miliar untuk investasi armada barunya ini. Nilai itu sudah termasuk pembangunan infrastruktur 12 Stasiun Pengisian Listrik (SPL) yang terpasang di Kantor Pusat Blue Bird Group.
Dalam kesempatan itu dipaparkan pula komitmen perusahaan yang identik dengan logo burung berwarna biru ini untuk terus menambah pembelian mobil listrik hingga 200 unit pada tahun depan. Target Blue Bird dalam lima tahun berikutnya sudah dapat mengoperasikan 2.000 unit armada taksi listrik atau e taxi.
Investasi mobil listrik inipun berdampak positif pada pasar modal perusahaan taksi ini ditengah gempuran moda taksi daring yang berkembang sangat pesat. Lebih dari itu, taksi listrik menjadi bukti nyata dari kepedulian akan kualitas kesehatan lingkungan dan kampanye udara sehat.
Baca juga: Mencoba Bus Bebas Polusi di Monas
Rencana penggunaan bus listrik juga pernah diungkapkan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada awal Juni 2019 lalu. Bus listrik akan dioperasikan sebagai armada Bus Transjakarta.
Sebelumnya Gubernur Anies juga pernah menjajal unit bus listrik uji coba di lalu lintas Ibukota. Menurut Pemprov, setiap harinya ada 18 juta kendaraan bermotor yan berjejal dalam kemacetan Jakarta yang sudah semakin parah. Asap buangan kendaraan ini pula yang menjadi penyumbang besar bagi pencemaran udara.
Dukungan regulasi
Pemerintah memang semakin serius mengembangkan industri mobil listri Kementerian Perindustrian menargetkan investasi pengembangan mobil listrik Indonesia pada 2025 nanti dapat mencapai 400 ribu unit. Pengembangan industri inipun akan terus berlanjut dengan target produksi yang terus meningkat hingga 2030.
Peneliti dari Wood Mackenzie memprediksikan pertumbuhan penggunaan mobil listrik di Indonesia tidak akan sangat signifikan. Hingga tahun 2019 ini, populasi mobil listrik hanya sekitar 5.000 hingga 10.000 unit.
Kesimpulan ini tentulah dapat diterima jika melihat jumlah tersebut yang sangat jauh dibandingkan dengan mobil bermesin konvensional. Kondisi ini diperkirakan terus berlanjut hingga 2027.
Setelah itu, sampai pada tahun 2040 diperkirakan jumlah mobil listrik Indonesia akan meningkat signifikan mencapai 3,5 juta unit. Namun hal tersebut sepertinya juga akan terus beriringan dengan pertumbuhan mobil konvensional yang terus membengkak.
Namun berbeda dengan itu, BPPT justru beranggapan mobil listrik memiliki prospek yang bagus di Indonesia. Bahkan lembaga pengkajian teknologi tersebut memperkirakan jumlah mobil listrik di Indonesia dapat tumbuh mencapai 1,2 dan juta unit 4,5 juta untuk motor listrik di 2035 nanti.
Sehingga dengan demikian diharapkan dapat menekan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dan juga semakin memperkuat kemandirian energi karena menggunakan bahan bakar non minyak. Selain itu, pemerintah juga memperkirakan pengurangan konsumsi BBM juga berpotensi menghemat Rp 789 Triliun devisa negara karena mengurangi ketergantungan impor minyak.
Terkait pengembangan industri mobil listrik di dalam negeri pemerintah memang bukan hanya perlu menyiapkan investasi namun juga regulasi. Dalam hal ini, beberapa investor asing pun siap melakukan proyek pengembangan mobil listrik di Indonesia.
Namun tentulah hal ini juga memerlukan persiapan panjang. Bukan hanya soal produksi unit mobilnya, namun juga penyiapan infrastruktur pendukung seperti tempat pengisian batere listrik dan perawatan kendaraan.
Kementerian Perindustrian saat ini tengah mematangkan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukum kendaraan listrik. Termasuk pula di dalamnya direncanakan akan mengatur pajak penjualan dan lain sebagainya. Seperti yang diketahui, mobil listrik yang banyak beredar di pasaran memiliki harga yang cukup mahal dibandung mobil konvensional.
Misalnya juga pemberlakukan bea masuk nol persen dan penurunan pajak penjualan untuk kendaraan listrik. Semua itu dilakukan untuk menghidupkan industri kendaraan listrik di dalam negeri dan dapat semakin dijangkau masyarakat secara luas.
Bahan Bakar
Langkah serius pemerintah untuk menata kejelasan konsep pengembangan kendaraan listrik di dalam negeri patut diapresiasi. Kemunculan mobil listrik memang harus dapat menjadi alternatif solusi dalam mewujudkan moda transportasi yang nyaman dan ramah lingkungan. Kerugian yang ditimbulkan akibat persoalan pelik kemacetan dan pencemaran lingkungan tidaklah sedikit.
Selain gangguan kesehatan, kerugian materil dari bahan bakar kendaraan yang terjebak kemacetan pun jumlahnya tidak sedikit. Hasil temuan kajian dari Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), kendaraan darat memang menjadi penyumbang emisi karbon terbesar yaitu mencapai dari 73,9 persen. Populasi kendaraan bermotor terus terus tumbuh tidak terkendali.
Mengutip laman teknologi.kompas.com, dalam rumusan otomotif untuk perhitungan mesin kendaraan mobil dengan kapasitas 1500 cc, pada kecepatan rata-rata 50 km per jam mobil tersebut membutuhkan satu liter Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk menempuh 10 km dalam waktu 12 menit.
Konsumsi BBM mesin untuk menggerakan kendaraan berpindah dari satu titik ke titik lain hanya sekitar 40 persen. Besaran porsi tersebut dibutuhkan sistem pergerakan mesin mulai dari transmisi hingga memutar roda. Selebihnya sekitar 60 persen konsumsi BBM justru habis untuk menyalakan mesin kendaraan. Semakin besar volume silender mesin, maka semakin besar pula kebutuhan BBM-nya.
Badan Pusat Statistik pernah melansir data kecepatan kendaraan di Jakarta pada pagi hari setiap hari kerja hanya berkisar 5 km hingga 8 km per jam. Kondisi ini sudah berlangsung sejak tahun 2011 lalu.
Apabila mobil yang merayap di jalanan dengan kecepatan 8 km, berarti mobil akan menempuh jarak 5 km dengan waktu 37,5 menit. Dengan proporsi hitung konsumsi BBM, mobil dengan kondisi kecepatan laju dan jarak tersebut menghabiskan sekitar 2,1 liter. Sebanyak 1,9 liter habis hanya untuk nyala mesin, sementara 0,2 liter untuk menggerakkan roda perpindahan.
Dari penjabaran ini dapat didapat selisih konsumsi BBM pada kondisi normal dan jalanan yang macet hingga 1,4 liter. Bayangkan jika aktivitas kemacetan ini terjadi pada saat perjalanan pulang dan pergi, maka konsumsi BBM menjadi dua kali lipat yaitu 2,8 liter.
Kendaraan darat memang menjadi penyumbang emisi karbon terbesar yaitu mencapai dari 73,9 persen.
Jika dilakukan perhitungan yang lebih luas, saat ini harga bahan bakar jenis pertalite Rp 7.800 per liter. Dalam sehari sebuah mobil yang terjebak perjalanan di 5 km kemacetan jalan Jakarta telah melakukan pemborosan Rp 21.840 per hari. Asumsikan saja sebulan ada 22 hari kerja, setidaknya ada Rp 480.480 yang menguap sia-sia dari knalpot mobil.
Bayangkan saja setiap hari, ada 18 juta kendaraan bermotor yang berjejal di jalan Jakarta. Jumlah tersebut memang didominasi kendaraan roda dua. Tidak mengherankan jika tahun lalu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan kerugian materi sebagai dampak dari kemacetan di Jakarta mencapai Rp 67 triliun. Sementara untuk wilayah Jabodetabek kerugian mencapai Rp 100 triliun.
Transportasi massal
Selain mengembangkan transportasi ramah lingkungan seperti kendaraan listrik, menyiapkan sistem transportasi massal yang nyaman juga menjadi alternatif mengurangi polusi udara. Oleh karenanya penggunaan kendaraan bermotor harus terus dikurangi dan mulai beralih ke transportasi publik.
Data Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) pada 2016 lalu mengungkap setidaknya terdapat lebih dari 47,5 juta perjalanan orang setiap harinya di Jabodetabek. Dari total tersebut, sebanyak 23,42 juta merupakan di dalam kota DKI Jakarta dan lebih dari 1,4 juta merupakan jumlah perjalanan dari Bodetabek menuju ke Jakarta.
Dalam hal ini, BPTJ juga mencatat bahwa 18,4 juta (74 persen) perjalanan dilakukan oleh pengguna sepeda motor dan 5,9 Juta (24 persen) pengguna mobil. Tercatat hanya 2 persen perjalanan yang dilakukan dengan angkutan umum.
Dari data tersebut tergambarkan bahwa sepeda motor merupakan kendaraan yang paling dominan jumlahnya. Padahal, merujuk pada data hasil temuan kajian ITDP, partikel emisi pencemaran yang dihasilkan sepeda motor lebih besar dibandingkan dengan mobil.
Sebuah mobil berbahan bakar minyak, hanya menghasilkan 0,002 g PM/km. Sementara sepeda motor 4-stroke (4 tak) dapat menghasilkan partikel emisi hingga 0,1 g PM/km.
Kita semua sepakat jika udara yang kita hirup harus terbebas dari selubungan polutan berbahaya. Hal tentunya menjadi tanggung jawab semua orang. Kesadaran untuk merawat lingkungan dan udara bersih bukan hanya milik pemerintah.
Pada awal tahun 2018 lalu, Kementerian Perhubungan menyatakan pengguna angkutan publik di Jakarta baru mencapai 40 persen atau sekitar 4,2 juta orang. Di harapkan dengan dibangunnya proyek MRT dan LRT pada 2029 nanti pengguna angkutan publik di Jakarta bisa mencapai 60 persen.
Memang tidak mudah untuk begitu saja menggantungkan kebutuhan mobilitas pada transportasi publik yang masih belum optimal pelayanannya. Perlahan perbaikan kualitas armada, penambahan trayek hingga mengintegrasikan angkutan umum terus dilakukan untuk menjawab keluhan kenyamanan agar semakin banyak warga meninggalkan kendaraan pribadi dengan potensi polusi yang menyertainya. (LITBANG KOMPAS)