Ketika Nelayan Kembali Berjaya
Senyum para nelayan di seantero negeri makin merekah. Nelayan Morotai Maluku Utara, dengan hanya menggunakan kapal berukuran 3 Gross Tonage (GT) bisa menangkap tuna seberat 87 kg pada Juni lalu.
Tak hanya di pesisir Morotai, tuna sirip kuning ukuran puluhan ton pun kini mulai memasuki Teluk Tomini Sulawesi sehingga mudah ditangkap nelayan-nelayan setempat.
Di Tapak Tuan Aceh Selatan, berpuluh-puluh ton ikan dengan mudah ditangkap hanya dengan menggunakan jaring dari pinggir pantai.
Fenomena-fenomena itu hanya sebagian kecil dari banyak kejadian yang menggembirakan nelayan di seluruh Nusantara sejak Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memerangi illegal fishing dan mereformasi total sektor perikanan Indonesia dalam 4,5 tahun terakhir.
Sebelum-sebelumnya, jangan harap nelayan-nelayan kecil bisa mendapatkan ikan-ikan besar, apalagi tuna, di pesisir pantai.
Sebelum Susi menjadi menteri, laut ibarat rumah yang tidak memberi kedamaian dan penghidupan bagi pemiliknya, yakni para nelayan Nusantara. Nelayan tidak menjadi tuan rumah di lautnya sendiri.
Perairan Indonesia dikuasai oleh kapal-kapal ikan asing atau eks asing baik yang berizin maupun yang ilegal. Sekitar 10.000 kapal asing dan eks asing berukuran raksasa berpesta pora mengeruk kekayaan laut Indonesia dari perairan Natuna hingga Arafura.
Sementara tuan rumahnya yakni nelayan-nelayan lokal yang menggunakan kapal-kapal kecil, tak berdaya dan hanya menjadi penonton pesta pora panen tuna, cakalang, tongkol oleh kapal-kapal besar berbendera Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Tak heran, berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) periode 2003 - 2013, jumlah rumah tangga nelayan turun dari 1,6 juta menjadi hanya sekitar 800.000. Itu terjadi karena nelayan lokal yang menggunakan kapal-kapal kecil tak mampu bersaing dengan kapal illegal fishing yang umumnya berukuran raksasa.
Selain itu, sebanyak 115 perusahaan pengolahan ikan nasional gulung tikar akibat tak mendapat pasokan ikan mengingat kapal-kapal illegal fishing langsung membawa ikan curiannya ke luar negeri.
Namun kini, cerita nestapa nelayan itu berakhir sudah. Nelayan telah menemukan lautnya kembali. Pemberantasan illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing dan penertiban penangkapan ikan telah membuat laut Indonesia kembali subur dan melimpah ikan.
Stok ikan lestari di perairan Indonesia meningkat dari 6,52 juta ton pada 2011 menjadi 12,54 juta ton pada 2016. Inilah yang membuat ikan besar mudah ditemukan, di pesisir sekalipun.
Dampaknya, pendapatan rata-rata nelayan melonjak dari hanya 1,97 juta per bulan pada tahun 2014 menjadi 3,88 juta per bulan pada 2018, atau meningkat hampir dua kali lipat.
Meningkatnya pendapatan membuat nelayan bisa meningkatkan kualitas hidup keluarga dan pendidikan anak-anaknya. Naiknya pendapatan nelayan juga berkontribusi menurunkan angka kemiskinan nasional.
Seiring meningkatnya pendapatan nelayan, nilai tukar nelayan (NTN) juga terus meninggi. Nilai tukar nelayan naik dari 104,63 pada 2014 menjadi 113,28 pada 2018. NTN menunjukkan tingkat kesejahteraan nelayan. Semakin tinggi angkanya, semakin sejahtera nelayan.
Afirmatif
Tak hanya mendorong kesejahteraan nelayan, kebijakan afirmatif Susi juga terbukti memeratakan kekayaan di sektor perikanan tangkap. Jika sebelumnya perolehan kekayaan dari hasil laut terkonsentrasi berat pada perusahaan dan pemilik kapal-kapal besar di atas 30 GT, kini tidak lagi demikian.
Kapal-kapal nelayan berukuran di bawah 30 GT dan kapal-kapal kecil sekarang sudah mendapatkan porsi yang signifikan dari kekayaan laut Nusantara.
Kebijakan afirmatif merupakan kebijakan yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Kebijakan afirmatif ini menjadi kebijakan nasional yang diusung pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Susi mengatakan, tanpa kebijakan afirmatif, sumber daya alam cenderung dikuasai oligarki, yakni pengusaha yang berkongkalikong dengan penguasa.
“Oligarki cenderung menguras sumber daya alam secara ekstraktif. Jika dibiarkan sumber daya alam akan habis tanpa memberi kemakmuran bagi rakyat banyak,” katanya.
Susi tak ingin sumber daya ikan juga dikuras secara ekstraktif seperti halnya tambang dan hutan. Susi ingin sumber daya ikan di Tanah Air bisa dinikmati secara berkelanjutan oleh anak cucu.
Selain memberantas IUU fishing, kebijakan afirmatif yang dilakukan Susi adalah menertibkan perizinan kapal-kapal besar yang tidak taat aturan.
Berdasarkan pendataan kapal nasional yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), jumlah kapal di atas 30 GT, baik yang izinnya aktif maupun tidak aktif sebanyak 7.987 kapal.
“Banyak dari kapal-kapal itu yang tidak jujur melaporkan hasil tangkapannya. Yang dilaporkan hanya sebagian, padahal tangkapan sebenarnya bisa 5-6 kali lipat dari yang dilaporkan,” kata Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP M Zulficar Mochtar.
Menurut Zulficar, bila mereka tak jujur melaporkan hasil tangkapan, maka izinnya tidak akan dikeluarkan.
Oligarki cenderung menguras sumber daya alam secara ekstraktif. Jika dibiarkan sumber daya alam akan habis tanpa memberi kemakmuran bagi rakyat banyak -- Susi Pudjiastuti
Berdasarkan pengaturan tersebut, saat ini terdapat 4.890 kapal ikan di atas 30 GT yang memiliki izin aktif. Adapun kapal yang izinnya tidak aktif sebanyak 3.097 kapal dengan rincian 223 kapal tidak memperpanjang izin selama 3 tahun lebih dan 2.874 tidak memperpanjang izin antara 1 bulan – 3 tahun.
Kapal-kapal yang izinnya mati akan kembali diberikan izin sepanjang mematuhi aturan yang berlaku seperti tidak terafiliasi dengan asing, melaporkan hasil tangkapan secara jujur, sudah membayar pajak dengan benar, dan tidak menggunakan alat tangkap yang dilarang.
Kapasitas usaha
Di sisi lain, Susi memperkuat kapasitas usaha nelayan agar bisa meningkatkan produktivitasnya. Dalam kurun 2015 – 2019, KKP telah memberikan bantuan kapal sebanyak 2.215 kapal, sebagian besar berukuran di bawah 5 GT.
Dalam kurun waktu yang sama, KKP menyalurkan bantuan sebanyak 18.124 paket alat tangkap ikan ramah lingkungan seperti jaring insang (gillnet), pancing, dan bubu.
Agar nelayan terlindungi dari risiko selama melaut, KKP juga memberikan bantuan premi asuransi untuk nelayan kecil dan tradisional. Tiap tahun, bantuan premi asuransi diberikan kepada sekitar 500 nelayan.
Zulficar mengatakan, dengan jumlah armada kapal ikan besar, menengah, dan kecil yang ada saat ini, Indonesia mampu memproduksi tangkapan laut sebesar 6,72 ton pada 2018, meningkat 4,5 persen dibandingkan tahun 2017 yang sebesar 6,42 juta ton.
Dengan estimasi hasil tangkapan yang tidak tercatat sebesar 40 persen, maka tangkapan laut sebenarnya sudah setara dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) berdasarkan stok lestari atau maximum sustainability yield (MSY) saat ini sebesar 12,54 juta ton per tahun.
Jumlah armada kapal ikan berukuran besar (di atas 30 GT) bisa saja ditambah sepanjang stok ikan juga meningkat sehingga produksi dan daya dukung lingkungan selalu seimbang.
Mewujudkan kemakmuran nelayan tidak hanya dengan mendorong peningkatan volume hasil tangkapan, tetapi juga menaikkan nilai jual ikan.
Hal itu dilakukan KKP dengan memberdayakan nelayan menerapkan Cara Penanganan Ikan yang Baik (CPIB), pembangunan dan operasionalisasi TPI higienis di pelabuhan perikanan.
Strategi ini menunjukkan hasil signifikan selama periode 2015 – 2018. Dalam kurun tersebut, volume produksi perikanan tangkap tumbuh rata-rata 3 persen per tahun, namun nilai produksi perikanan tangkap bisa tumbuh rata-rata 23,2 persen per tahun. Pada 2018, nilai produksi perikanan tangkap mencapai Rp 196,1 triliun.
Jadi, kini dan selamanya, nelayan Nusantara akan menjadi tuan rumah di negeri bahari Indonesia.