Tiga tahun terakhir, gaung e-sport atau wahana gim video menggema ke penjuru negeri. Kompetisi e-sport lokal bermunculan di sejumlah kota. Skala kompetisinya beragam, mulai dari tingkat kota hingga provinsi.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
Tiga tahun terakhir, gaung e-sport atau wahana gim video menggema ke penjuru negeri. Kompetisi e-sport lokal bermunculan di sejumlah kota. Skala kompetisinya beragam, mulai dari tingkat kota hingga provinsi. Sebutlah Battle of Fridays yang diselenggarakan oleh Tokopedia, Piala Presiden 2019 yang didukung oleh Blibli.com, dan Dunia Games League yang digagas oleh Telkomsel.
Dukungan sponsor yang semakin banyak memengaruhi kualitas turnamen e-sport. Jauh sebelum operator telekomunikasi seluler atau perusahaan e-dagang, pelaku industri gawai sudah lebih dulu mendukung. Pada 2017, misalnya, Lenovo kembali menggelar kompetisi regional bertajuk Legion of Champions yang disertai pertunjukan keliling (roadshow) produk pendukung e-sport, seperti Legion Y720. Roadshow menyasar tiga universitas swasta terkemuka di Indonesia.
Mengutip hasil riset Newzoo ”The Indonesian Gamer 2017”, pada tahun 2017 diperkirakan ada 43,7 juta pemain gim di Indonesia yang mengeluarkan sekitar 880 juta dollar AS. Ini menjadikan Indonesia sebagai negara ke-16 terbesar di dunia dalam hal pendapatan gim. Tahun lalu, pengeluaran belanja gim di pasar Indonesia diperkirakan telah mencapai sekitar 1 miliar dollar AS. Belanja gim di pasar Indonesia diduga sebagian lari ke mobile game.
Kontras dengan gema serta gemerlap mobile game berikut e-sport, Asosiasi Game Indonesia (AGI) memperkirakan, hanya sekitar 1 persen dari ukuran pasar Indonesia yang diisi oleh produk gim buatan lokal. Situasi ini sebenarnya sudah sejak lama sering diserukan, bahkan jauh sebelum gaung e-sport menggema.
Tak ada data pasti soal jumlah usaha gim di Indonesia. AGI memperkirakan, ada sekitar 200 studio gim dengan produktivitas yang tak merata. Penyebabnya antara lain tak semua studio punya tim produksi besar atau hanya perorangan, butuh waktu 2-3 tahun untuk mengembangkan sebuah gim, sementara kucuran dana untuk studio gim lokal sangat minim.
Hanya sekitar 1 persen dari sekitar 1 miliar dollar AS belanja di pasar gim Indonesia yang diisi oleh produk buatan lokal.
Tiga hal itu bergerak bak lingkaran yang saling memengaruhi. Monetisasi bisnis gim cuma dapat ditempuh melalui akuisisi pengguna atau pemain gim, sementara jumlah besar pengguna/pemain yang berhasil diakuisisi terjadi jika studio gim produktif menghasilkan produk berkualitas. Produktivitas tercipta jika sebuah studio diisi talenta kompeten dan tentunya punya anggota banyak.
Pemerintah melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) aktif mematangkan ekosistem industri gim sejak empat tahun lalu. Salah satunya melalui Bekraf Developer Day (BDD) di sejumlah kota, tidak hanya fokus di kota tier pertama, tetapi juga tier kedua atau ketiga.
Tiga persoalan itu masih relevan sampai sekarang. Terlepas dari kegundahan menyikapi makro kondisi produktivitas usaha gim lokal, alangkah baiknya mengapresiasi sambil terus menyebarluaskan cerita mereka yang sukses. Sebutlah Agung Subagiyo dan Rachmad Imron. Agung Subagiyo adalah Co-Founder Minimo Studio, studio gim lokal di balik mobile game Mini Racing Adventures yang sudah diunduh lebih dari 18 juta kali. Sementara Rachmad Imron merupakan pria di balik gim dan film Dreadout. Dengan demikian, semakin banyak usaha gim lokal terpacu semakin maju.