logo Kompas.id
UtamaBubak Kawah
Iklan

Bubak Kawah

Oleh
Akhmad Ulul Albab
· 8 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/ih7mFQBEcuEQUcWBfRrye07kKV8=/1024x1242/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F07%2FBubak-Kawah_1562823521.jpg

Kenyataan ini tepat di saat aku sudah benar-benar siap untuk melepas masa lajang, setelah menunggu proses yang cukup ribet. Begitulah aku mengenalnya. Dinda. Gadis dari tetangga desa yang kutemui 6 bulan lalu. Sengaja aku tak berlama-lama. Selain karena usia yang sudah cukup, serta kemauan bersama-sama untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan.

Dalam tradisi desaku, dikenal sebuah istilah mbabat dalan: yaitu proses di mana seorang keluarga mengutus perwakilan orang yang tak sedarah untuk menanyakan apakah keluarga saling menyetujui untuk hubungan sepasang kekasih. Selang beberapa hari kemudian setelah memilih hari yang pas, akan dilangsungkan prosesi Nako’no: di mana keluarga pria datang untuk menemui keluarga wanita dan melamar anak dari keluarga tersebut dengan membawa cincin, dan beberapa kue yang wajib dibawa; wajik, tetelan, gula dan kopi.

Baru kemudian dilaksanakan sebuah pertemuan mempelai putri yang membalas lamaran. Tentu saja dengan saling berembug tentang hari pernikahan, prosesi, dan lain-lain. Hal itu biasa disebut dengan Anjangsana.

Sebenarnya aku memiliki keberatan dengan kegiatan yang dilakukan. Mengapa tak segera saja. Ide tentang pertemuan keluarga yang dilakukan memang benar. Tapi tak perlu bertele-tele dengan hal yang menurutku buang-buang waktu. Toh, aku dan calon istriku sudah saling mencintai, saling menyayangi. Untuk apa dipersulit dan diperumit dengan hal seperti itu? Apalagi ketika mendengar bapak dan ibuku sewaktu aku memberitahukan kekasihku sebelumnya. Mereka bertanya tentang hari lahir kekasihku. Kemudian dicocokkan dengan tanggal lahirku. Baru menemukan neptu, pasaran dan entahlah, seolah mereka berkomat-kamit mengenai hal tersebut; runtut, dino telu, tumbuk, dino papat, tibo gotong, tibo drajat. Ah, aku tak begitu mengerti dengan istilah seperti itu, bahkan untuk menyebutnya.

Karena aku pernah menjabat di beberapa organisasi semasa mahasiswa, sebuah masa di mana aku belajar untuk lebih berpikir rasional dan obyektif. Maka, pertanyaan kritis tiba-tiba muncul di kepala. Langsung saja kulontarkan kepada Bapak. “Pak apa itu semua? Maksudnya apa? Tujuannya apa? Apa manfaatnya?” Namun Bapak tak mampu menjawab pertanyaanku. Bapak hanya mengucap ”Ben slamet”. Entahlah! Apakah keselamatan diukur dari adat yang bahkan seseorang tak mengerti tujuan dari adat tersebut.

Tapi semua proses itu sudah aku jalani. Tak apalah, yang terjadi biarlah terjadi, walaupun di pikiranku masih menyimpan segudang pertanyaan yang mungkin tak mampu terjawab oleh seseorang yang bahkan melaksanakan adat yang sama. Barangkali hanya takut tidak selamat karena tak mengikuti adat. Sebuah argumen dan doktrin yang sangat lucu tentang sebuah keselamatan. Yang terpenting persiapan untuk menikah mulai dari undangan dan memohon kepada tetangga beserta kerabat untuk membantu prosesi sudah kulakukan.

Lantas, keluargaku dan keluarga Dinda sepakat membuat acara bubak kawah. Yakni mempelai putra menyiapkan ayam jago palsu, beberapa parabot rumah tangga yang terbuat dari tanah dan harus dipikul, cok bakal, jodang atau sebuah wadah yang nantinya juga dipikul, serta dua kembang mayang yang terbuat dari janur, dua batang pisang setinggi 2 meter dan dua kayu beringin yang kelak akan dibuang di atas atap rumah mempelai wanita.

“Pak untuk apa acara seperti ini? Buang-buang waktu, tujuan tak jelas, buang-buang biaya. Lagian barang seperti itu teramat langka dan mahal.”

“Sudahlah Nak. Terima saja. Namanya juga adat.”

“Adat lagi. Ben slamet. Aduh. Kalau yang lainnya aku masih terima. Kalau yang ini maaf Pak. Terlalu sulit.”

“Keluarga kita sepakat. Mau bagaimana lagi?” Aku terdiam sejenak. Mencoba untuk mencari cara agar tak melaksanakan adat yang tak begitu penting.

“Le, sekarang kamu pergi ke rumah Mbah Mo. Jemput sekalian. Keputusan sudah bulat. Kesepakatan antar keluarga sudah. Jangan bikin malu.” Aku terdiam, tak menemukan kalimat untuk menyanggah keputusan keluarga. Ya karena memang sudah terkena istilah adat, maka aku hanya bisa pasrah menerimanya.

“Inggih Pak.”

Mbah Mo. Kakek yang masih ada sampai sekarang. Kira-kira usianya 90 tahun. Entahlah, bagaimana bisa usia sampai panjang. Orang Jawa kuna memang banyak yang memiliki usia yang bisa dikatakan panjang. Mbah Mo tinggal bersama adik ayahku serta menantunya di ujung desa. Berjarak sekitar 10 km dari rumahku sendiri.

Kira-kira 38 menit kemudian aku sampai di sebuah rumah yang sederhana. Tak jauh dengan zaman dahulu ketika aku masih kecil dan menginap di rumah Mbah Mo. Mungkin hanya renovasi sedikit tanpa meninggalkan ciri khas adat rumah.

“Mlebet nak.” Sambut Mbah Mo dengan suara sengau dan berbahasa Jawa.

“Inggih Mbah. Saya diperintah untuk menjemput Mbah.”

“Mbah di sini saja. Mbah tidak kuat nak. Sudah capek. Pingin istirahat di rumah.” Mbah Mo menjawab dengan terbata-bata. Lantas ia mengeluarkan rokok yang dibungkus kulit luar jagung kobot. Mbah Mo menyulut dengan korek kuno. Bara api menyala, mulut Mbah Mo mengepulkan asap yang menguar. Aku heran dengan cara hidup Mbah Mo yang merupakan perokok berat, tapi tetap memiliki usia panjang. Tak ada yang mengerti soal usia memang.

“Calon istrimu lahirnya apa Le?”

“Jum’at Wage.”

“Kamu Jum’at Pon. ‘Tumbuk’ Mongso ‘Kapitu’, Wuku ‘Kuruwelut’, Punyamu Mongso ‘karo’, Wuku ‘Mandasyio’. Kamu masih unggul naptunya. Boleh. Mbah setuju.”

“Inggih Mbah Mo.”

“Bubak kawah ada Le? Orang orang sudah banyak yang lupa soalnya sekarang.”

“Inggih Mbah. Soalnya Dinda anak pertama. Itulah kata bapak.”

Iklan

Mbah Mo menyulut rokok yang mati. Ia mengepulkan asap lagi. Dengan tersenyum dan merasa puas.

“Le. Prosesi orang Jawa ribet. Tapi kamu harus tetap setuju, aku tahu kamu sama sekali tidak menyetujuinya. Tapi percayalah kalau hal itu bagus.”

“Inggih Mbah.”

“Bubak maknanya mbukak. Kawah dimaksud adalah air yang bakal keluar calon bayimu. Anggaplah upacara adalah serangkaian doa yang dilaksanakan dengan cara perbuatan, bukan sekadar ucapan. Upacara ini dilakukan untuk anak pertama perempuan. Ya harapannya adalah agar kelak kau cepat mempunyai keturunan.”

“Sendiko dawuh.”

“Orang Jawa tak boleh melupakan wajik, tetelan. Karena simbol dari ketan yang lengket. Simbol untuk mempererat silaturrahim. Seperti ketan yang sangat lengket. Untuk jodang bertujuan untuk membawa makanan. Nanti makanan itu akan dibagi warga sekitar. Itu sebagai amal dari hajatan yang berlangsung nak.”

“Cok baakal itu sesajenkah Mbah?”

“Kamu harus paham Nak, agar budaya tak mati. Telur merupakan simbol dari manusia yang terbentuk dari sel telur. Kembang pitung rupo bermakna sebagai keaneka-ragaman dalam hidup, jambe soroh lambing cinta dan kasih sayang seorang, bentuknya kan mirip hati, numpang sama pohon lain tapi tak mengganggu, selain itu malah bikin teduh. Jenang sengkala jangan sampai lupa. Itu adalah simbol perwatakan bersih dan jahat. Perwatakan jahat harus dihilangkan, itu sudah tradisi apa pun. Perabot dari tanah yang akan diperebutkan warga nanti, selain menjadi amal juga sebagai tanda bahwa manusia berasal dari tanah, dan kembali ke tanah.”

“Terus Mbah...” Aku mulai terkesima mendengar penjelasan Mbah Mo.

Bagaimana mungkin ingatan itu masih tajam di usia yang sangat tua? Entahlah.

“Jajan pasar supaya kita tak melupakan tempat yang kita gunakan belanja. Bisa jadi sebagai kerukunan. Kita manusia tak boleh lupa dengan pasar tempat saling bersosialisasi jual beli Nak. Marang berisi pisang raja, gula dari kelapa, kelapa, kendhil berisi buah, kendhil berisi beras merah putih, ketan dan beras merah melambangkan rezeki, kendhil berisi kelapa muda yang akan diserahkan kepada ibu mertua sebagai pertanda bahwa ia dewasa.”

“Nanti ada pemberian kembang mayang. Dari pengantin pria akan memberikan tebusan berupa hiasan dari janur kuning. Janur disebut sejatine nur atau cahaya sejati Nak. Ada beringin sebagai doa agar pengantin saling mengayomi, daun beringin dirangkai dengan daun puring, maksudnya adalah harapan agar mempelai tak uring-uringan dalam bahtera rumah tangga.”

“Inggih Mbah”

“Nanti ada juga yang membawa tombak dan keris sebagai tanda ksatria. Nanti ada juga penyerahan pitik-pitikan sebagai simbol ayam jantan yang telah menemukan pasangan. Mengeluarkan uang yang direbut warga, sebagai amal. Di prosesi pernikahan, kamu akan menginjak telur, lalu dibasuh oleh istrimu, setelah sungkem kamu akan dituntun oleh bapakmu dengan membentangkan kain merah putih. Maknanya adalah keberanian dan kesucian kedua mempelai.”

“Sendiko dawuh Mbah Mo.”

Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasan yang baru kali ini kudengar, walaupun sulit untuk kupahami semuanya. Ternyata sebegitu luasnya nilai filosofis dari sebuah pernikahan dalam tradisi Jawa. Ternyata aku sudah salah dengan hal-hal yang aku bayangkan tentang adat. Barangkali bapak juga salah karena hanya menyuruh tanpa memberi tahu filosofi dari adat istiadat. Atau kesalahan manusia yang tak mau mengenalkan makna di balik adat istiadat. Atau mungkin juga manusia tak mengerti tentang makna dibalik adat dan istiadat.

Mbah Mo menuju kamar mengambilkan pusaka untukku. Ia memberikan sebuah cincin batu merah rekah. Mbah Mo bilang merah delima. Aku tak tahu maksud pemberian Mbah Mo. Yang jelas, Mbah Mo hanya berpesan untuk menjaganya, jangan sampai digunakan ketika menuju kamar mandi.

Mbah Mo tetap tak mau menuju rumah, sekalipun kubujuk berkali-kali. Akhirnya aku pulang dengan kepuasan tentang pertanyaan adat istiadat yang selama ini aku pertanyakan.

“Cincinmu bagus Le.”

“Mbah Mo tadi ngasih Pak. Ayo Pak, segera cari jodang sama parabot tanah liat.”

“Kamu ndak papa Le?”

“Ndak papa Pak. Ayolah.”

Beberapa saat kemudian kabar dari adik bapak. Ia mengabarkan bahwa Mbah Mo baru saja menghembuskan napas terakhirnya.

Aku masih perlu belajar banyak hal Mbah...

___________________________

Akhmad Ulul Albab, anak seorang petani yang tinggal di Dsn Krajan II, Desa Andonosari Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Menyukai hal yang berhubungan dengan dunia sastra

Jejaknya di dunia kepenulisan antara lain: Antologi cerpen Reank dalam Dunia Pesantren (Azizah Publishing; 2018) , salah satu penulis antologi Anomali Pancaindra (Penerbit Embrio; 2019), ketua komunitas Omah Karya Indonesia bidang fiksi, anggota komunitas Sastra Padi.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000